Hari Sibuk Di Rumah Sakit

1127 Kata
Ketika tiba di bawah, Zoe masih melihat Maximus terbaring di atas sofa tua, masih dalam posisi yang sama seperti saat dia tinggalkan tadi. Wajahnya masih pucat, tetapi napasnya terdengar lebih stabil. "Max," Zoe memanggil pelan sambil mendekat. Pria itu membuka matanya perlahan, menatap Zoe dengan tatapan lemah namun lega. "Kau sudah kembali," gumamnya pelan. "Aku membawakan kau makanan. Tadi aku membeli sebentar di restoran kecil. Mobilku sudah menyala, karena bantuan seorang yang lewat di jalan tadi," jawab Zoe sambil duduk di sampingnya. "Ayo makanlah. Kau harus makan sesuatu agar merasa lebih baik." Maximus mencoba bangkit, dan Zoe membantunya. "Aku akan membantumu makan dulu sebelum pergi bekerja. Kau tak masalah kan jika nanti kutinggal sedikit lama? Pekerjaanku cukup banyak hari ini.” “Maaf merepotkanmu,” lirih Maximus dan duduk perlahan. Zoe membuka kantong makanan dan mengeluarkan sup hangat serta roti. Aroma kaldu ayam menguar di udara dingin ruangan itu, membuat Maximus tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya dengan suara serak. Zoe membantu Maximus makan sedikit demi sedikit, memastikan dia mendapat cukup energi. Setelah selesai makan, Maximus kembali berbaring dengan napas yang lebih tenang. Zoe menatapnya dan kemudian memberinya obat antibiotik. “Baiklah, aku akan pergi dulu. Bye.” Zoe kemudian beranjak dari sofa. “Hmm … hati-hati,” sahut Maximus. Zoe mengangguk dan tersenyum lalu melangkah pergi dari sana. * * Zoe membuka pintu apartemennya dan langsung disambut oleh keheningan yang akrab. Ruangan kecil itu tampak rapi, namun suasananya dingin, seolah mencerminkan kelelahan batin yang dia rasakan. Langsung saja dia melepaskan sepatu dan tas, berjalan lunglai menuju kamar. Di atas meja, seragam biru rumah sakit sudah tersusun rapi, menanti dia kenakan. Setelah melempar tubuhnya ke kasur sejenak, Zoe memejamkan mata. Tidak ada waktu untuk istirahat panjang. Hari ini dia harus berjaga di Unit Gawat Darurat (UGD)—bagian paling menegangkan sekaligus menguras emosi. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan energi untuk menghadapi harinya. "Baiklah, Zoe. Kau bisa melewati hari ini," gumamnya kepada diri sendiri sambil bangkit dari kasur. Setelah mandi cepat, dia mengenakan seragam birunya. Pandangan sekilas ke cermin memperlihatkan bayangan dirinya, rambutnya diikat rapi, wajahnya lelah tapi penuh keyakinan. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, dan Zoe tahu dia harus bersiap menghadapi apapun. Di dapur, Zoe menyiapkan kopi cepat. Aroma kafein sejenak memberi ketenangan, tetapi pikirannya sudah dipenuhi dengan jadwal hari ini—pasien-pasien yang datang tanpa jeda, kejadian tak terduga, dan yang paling menyebalkan, seorang senior yang selalu membuat masalah dengannya. Setiap kali Zoe berjaga di UGD, dia hampir selalu harus berhadapan dengan dr. Alerd, dokter senior yang tampaknya menikmati menguji kesabaran junior-junior seperti dirinya. Alerd bukan sekadar memberi kritik profesional—dia mencari celah sekecil apapun untuk merendahkan orang lain, terutama Zoe. "Tenang saja," Zoe bergumam pada dirinya sendiri. "Jangan terpancing dengan dokter itu." Ia meraih tas dan berjalan cepat keluar dari apartemennya. Di luar, udara pagi cukup sejuk, dan sinar matahari pagi mulai menerangi kota. Zoe masuk ke mobil dan melaju menuju rumah sakit. Meski jalanan masih lengang, di dalam pikirannya Zoe tahu bahwa di UGD nanti, segala ketenangan akan segera berakhir. * * Begitu tiba di rumah sakit, Zoe langsung menuju ruang ganti untuk menaruh tas, jaket, dan mengganti sepatu kerjanya. Suasana rumah sakit sudah terasa sibuk—dengungan percakapan dokter, perawat, dan bunyi langkah tergesa memenuhi lorong-lorong. "Zoe, kau hari ini di UGD, ya?" sapa Clara, salah satu perawat yang bertugas bersamanya hari itu. Zoe mengangguk dan tersenyum tipis. "Ya. Semoga aku tak terlalu gila hari ini." Clara tertawa kecil. "Harapan boleh saja, tapi UGD selalu penuh kejutan." Zoe hanya mendesah, lalu bergegas menuju area UGD. Begitu melewati pintu otomatis, hiruk-pikuk langsung menyambutnya, pasien dengan berbagai kondisi datang silih berganti, tim medis bergerak cepat, suara monitor dan mesin-mesin medis berbunyi di segala penjuru. Di tempat ini, setiap detik terasa berharga. Pekerjaan di UGD langsung menyerap Zoe sepenuhnya. Ia memeriksa pasien-pasien dengan cedera ringan, menangani serangan asma, dan membantu stabilisasi seorang pasien kecelakaan lalu lintas. Tubuhnya bergerak otomatis, seolah mengikuti ritme yang sudah tertanam dalam dirinya. Namun, tak lama kemudian, Zoe merasa keberadaan seseorang yang membuat suasana hatinya mendung—dr. Alerd muncul di seberang ruangan, membawa berkas-berkas dan langsung melontarkan kritik kepada perawat yang sedang sibuk dengan pasien lain. "Zoe!" panggil Alerd, suaranya terdengar jelas meski ruangan ramai. "Kau ini kerja atau jalan-jalan? Kenapa pasien di Bed 4 belum kau periksa?" Zoe menahan napas sejenak, menahan dorongan untuk membalas. Ia tahu bahwa pasien di Bed 4 baru saja datang, dan dia memang sedang menangani pasien kritis sebelum itu. "Saya baru saja menyelesaikan pasien kecelakaan tadi, Dokter," jawab Zoe dengan nada tenang. "Saya akan periksa pasien di Bed 4 sekarang." Adrian mendekat dengan langkah cepat, wajahnya tampak puas karena merasa berhasil membuat Zoe terpojok. "Kau tahu, Zoe, di tempat ini kau tak bisa pakai banyak alasan. Kalau pasien menumpuk, kau yang harus atur waktumu." Zoe menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak terpancing. Ia tahu, Alerd hanya mencari-cari kesalahan, dan meladeninya hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Baik, Dok. Saya akan segera tangani," jawabnya sambil berlalu. Di dalam hatinya, Zoe merasa marah. Ia sudah bekerja secepat dan seteliti mungkin, tetapi Alerd selalu berhasil membuatnya merasa kurang. Namun, Zoe mencoba menepis perasaan itu. Ia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya di tempat seperti ini. * Seiring berjalannya hari, UGD semakin sibuk. Seorang anak kecil dengan demam tinggi datang bersama orang tuanya, seorang pria tua dilarikan karena serangan jantung, dan pasien dengan patah tulang akibat kecelakaan sepeda motor terus berdatangan. Zoe merasa lelah, tetapi dia tetap fokus meskipun pikirannya kini tercabang pada Maximus—sang mafia tampan yang masih dalam keadaan lemah di rumah tua yang gelap itu. Di sela-sela kesibukan itu, Clara mendekat dan berbisik, "Zoe, kau hebat. Jangan pedulikan Alerd, dia memang suka cari masalah apalagi setelah kau tolak." Zoe tersenyum lemah. "Thanks, Clara. Aku cuma harus bertahan hari ini." Clara menepuk pundaknya dengan hangat sebelum bergegas kembali ke pasien lain. Zoe merasa sedikit lebih baik dengan dukungan kecil itu. Namun, masalah belum selesai. Ketika Zoe sedang mempersiapkan alat untuk membantu pemasangan infus pada seorang pasien, Alerd kembali muncul, kali ini dengan ekspresi yang lebih menyebalkan. "Infus ini telat dipasang sepuluh menit. Kau tak tahu, Zoe? Kau harus lebih cepat," katanya sambil melipat tangan di d**a. Zoe berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Pasien sebelumnya mengalami serangan jantung, dan saya harus memastikan stabilisasinya terlebih dahulu, Dokter." Alerd mendengus sinis. "Alasan lagi. Kalau ingin jadi dokter yang kompeten, Zoe, kau tak bisa terus-terusan berlindung di balik kesibukan." Kata-katanya seperti paku yang menghujam ke dalam hati Zoe. Ia ingin berteriak, membela dirinya, tapi dia tahu tidak ada gunanya. "Saya akan berusaha lebih baik," jawab Zoe dengan nada datar. Ia memilih menutup percakapan itu daripada membuang-buang energi untuk debat yang tidak ada akhirnya. * * JANGAN LUPA KOMEN YA BEESSSTT… KOMEN APA PUN GPP meskipun hanya emoticon...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN