Suhu Tubuh Kembali Normal

919 Kata
Malam semakin larut, tapi Zoe tetap tak beranjak dari dekat Maximus. Tubuhnya sendiri mulai terasa pegal dan lelah, namun dia menolak untuk menyerah. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri—dia akan menjaga pria ini dan memastikan dia tetap hidup. Itu adalah tugasnya, dan dia tidak akan mengingkari tanggung jawabnya. Hal-hal semacam ini membuatnya terpacu untuk membuat pasien yang diselamatkannya benar-benar selamat, dan ada kebahagiaan tersendiri jika dia melihat pasiennya kembali sehat seperti semula. * * Keesokan paginya, suhu tubuh Maximus sudah mulai normal. Tubuhnya tidak lagi dingin seperti semalam, dan napasnya teratur meski masih sedikit berat. Di sampingnya, Zoe terbangun dengan perlahan, tubuhnya masih melekat erat pada Maximus, memastikan pria itu tetap hangat sepanjang malam. Ia bergerak hati-hati, melepaskan diri dari dekapan pria itu. Ruangan bawah tanah itu masih gelap, dan dia harus meraba untuk menstabilkan tubuhnya. Meskipun sudah pagi, cahaya matahari tidak mampu menembus ruang gelap di bawah tanah. Sumber penerangan yang tadi malam membantu mereka hanyalah api perapian kecil di sudut ruangan. Namun, api itu sudah lama padam, menyisakan hanya abu dan arang yang mungkin masih hangat. Udara menjadi lebih dingin tanpa perapian yang menyala, membuat Zoe bergidik sedikit saat dia menjejakkan kaki di lantai batu yang dingin. Di sudut ruangan, ada celah kecil di langit-langit—pintu kayu mungil yang menjadi satu-satunya jalan bagi cahaya pagi untuk masuk. Namun, cahaya yang datang dari sana tidak cukup untuk menghangatkan ruangan atau membuatnya nyaman. Zoe tahu, jika ingin bertahan di tempat ini, dia harus segera membuat perapian lagi. Maximus masih butuh kehangatan agar kondisinya tidak memburuk. Dengan gerakan cepat dan terampil, Zoe melangkah menuju tangga kayu yang menuju ke ruangan atas. Ia membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara mencurigakan di luar. Ruangan di atas jauh lebih terang meskipun mendung masih menyelimuti pagi itu. Di ruangan atas sudah lama ada sebagian besar perabot di dalamnya mulai rusak dimakan usia. Di sudut ruangan itu, Zoe menemukan beberapa potongan kayu tua dari kursi yang patah dan sebuah meja yang sudah reyot. Ia mengambil potongan-potongan kayu itu dan membawanya kembali ke bawah. Saat tiba di ruangan bawah tanah, Zoe menyusun kayu-kayu tersebut di dalam perapian. Tangannya bekerja cepat dan terlatih, menumpuk kayu agar api bisa menyala dengan mudah. Namun, saat hendak menyalakannya, dia baru menyadari satu masalah, tidak ada korek api. Zoe menoleh pada Maximus yang kemarin menyalakan perapian. Sebelum dia sempat bertanya, suara seraknya terdengar.. “Coba periksa kantong celanaku,” Maximus berbisik, suaranya masih lemah namun cukup jelas. Zoe mendekat pada Maximus dan mendapati pria itu sudah terbangun, meskipun gerakannya masih pelan dan terbatas. Mata gelap Maximus menatapnya intens, seolah menyelami sosok Zoe lebih dalam. “Korek api ... ada di kantong celanaku,” lanjut Maximus, suaranya sedikit terputus. Zoe mengangguk cepat dan menuju ke arah celana Maximus yang tergeletak di atas lantai, lalu meraba kantong celana Maximus. Setelah beberapa saat, dia menemukan korek yang dimaksud dan menariknya keluar. Senyum tipis muncul di bibirnya saat dia menyalakan api kecil dengan cepat, menyulut kayu hingga perlahan-lahan mulai terbakar. Api itu segera menjalar di antara tumpukan kayu, memercikkan cahaya hangat yang mengisi ruangan gelap tersebut. Ruangan bawah tanah itu kini kembali bercahaya. Nyala api memantul di dinding batu dan menciptakan bayangan bergerak yang menari-nari. Hangatnya perlahan meresap, mengusir dingin yang menggantung sejak tadi malam. Zoe duduk di dekat perapian, meletakkan tangannya di depan api untuk memastikan kehangatan merata. Setelah merasa cukup, dia berbalik menuju Maximus dan mengeluarkan perban bersih dari tas dokter yang dia bawa. Luka di tubuh Maximus harus diganti perbannya sebelum infeksi muncul. Zoe bekerja dengan hati-hati, jari-jarinya bergerak lembut saat dia membuka perban lama dan memeriksa kondisi luka itu. Maximus mengamati setiap gerakan Zoe dalam diam. Semalam, kesadarannya kabur karena demam tinggi dan rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi pagi ini, pikirannya mulai jernih, dan dia bisa melihat Zoe dengan jelas. Sosok wanita itu terasa seperti mimpi—seseorang yang seharusnya hanya ada dalam imajinasi, namun kini nyata dan berada di hadapannya. Wajah Zoe terlihat lumayan jelas kali ini karena diterangi oleh kilau api yang cukup besar, memperlihatkan kulitnya yang lembut dan mata yang penuh ketulusan. Rambut panjangnya yang terikat berantakan, sebagian menutupi wajahnya saat dia bekerja merawat luka di tubuh Maximus. Ada sesuatu yang begitu menenangkan dalam setiap sentuhan dan gerakan Zoe, seolah-olah dia telah terbiasa merawat dan melindungi orang lain. Maximus menahan napas sejenak, menyadari betapa cantiknya wanita itu. Bukan hanya fisiknya, tapi juga aura yang terpancar darinya—sesuatu yang membuatnya tampak sempurna di mata siapa pun yang mengenalnya. Dia bukan hanya seseorang yang baik hati, tapi juga memiliki kekuatan dan keberanian yang jarang ditemui. Zoe menyelesaikan pekerjaannya, mengikat perban baru di sekitar luka Maximus dengan cekatan. “Sudah selesai,” ucapnya lembut, menatap wajah Maximus untuk memastikan pria itu tidak merasa kesakitan. Maximus tidak menjawab seketika. Ia hanya menatap Zoe dalam-dalam, matanya menelusuri setiap detail wajah wanita itu. Sejenak, waktu terasa berhenti. Tidak ada suara selain gemeretak kayu di perapian, dan ruangan bawah tanah itu dipenuhi oleh keheningan yang damai. Zoe merasa sedikit canggung dengan tatapan intens Maximus, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu pria itu masih lemah dan butuh waktu untuk memulihkan kekuatannya. Dengan lembut, Zoe menarik mantel usang itu dan menyelimutinya lagi. “Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Zoe akhirnya, suaranya lembut dan penuh perhatian. Maximus mengangguk perlahan. “Ya ... jauh lebih baik.” “Bagus,” jawab Zoe, tersenyum tipis. “Istirahatlah lagi. Kau masih butuh waktu untuk sembuh total. Aku akan mengambil beberapa camilan kering dan minuman dari mobilku. Aku akan kembali secepatnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN