Bab 5 Pak Tua Sakit

1649 Kata
Sore hari Dewa dan Steven baru pulang. Hujan lebat yang mengguyur kota benar-benar tak dapat Dewa prediksi sama sekali. Cuaca yang tadinya panas seketika langsung berubah menjadi mendung. Steven yang tengah tertidur setelah lelah bermain bahkan tak mendengar bunyi suara Guntur yang sangat menggelegar. "DIORA!" panggil Dewa dengan lantang setelah masuk ke dalam rumah sambil mengangkat tubuh Steven. "DIORA!" panggil Dewa sekali lagi, namun sayangnya Diora tak menyahutnya sama sekali. "Kemana anak itu?" Gumam Dewa dengan nada kesal. "Maaf pak non Diora tadi keluar." Lapor salah satu pelayan pada Dewa. "Kemana?" Tanya Dewa. "Tidak tau pak." Balas pelayan tersebut. "Ya sudah, tolong bantu saya ke kamar Steven." Pinta Dewa. "Baik pak." Pelayan itupun lantas segera mengikuti Dewa. Diam-diam sejak tadi Anna tengah mengamati Dewa dari lantai atas. Wajah Dewa yang lebih pucat dari tadi pagi membuat Anna menjadi semakin cemas, Anna kini tengah bertarung dengan hati nuraninya, antara mau berdamai atau tetap melanjutkan aksi marahnya dengan Dewa? Setelah mendengarkan seluruh kisah Dewa, Anna kini jadi merasa amat iba, ia tak tega melihat suaminya sakit, namun ia juga masih merasa marah dengan pria tua itu. *** Setelah menidurkan Steven, Dewa segera mengganti pakaian cucunya itu dengan pakaian yang lebih nyaman. Untungnya Steven tidak bangun dan masih melanjutkan tidurnya. Dewa lalu menghembuskan nafasnya yang terasa panas, menatap wajah damai Steven dengan perasaan campur aduk. Steven yang malang, harusnya Diora tidak bersikap egois dan mengorbankan putranya seperti ini. Dewa merasa gagal menjadi seorang ayah, ia tak bisa mengarahkan putrinya ke jalan yang benar. Dewa sebenarnya sangat lelah dengan semua ini, ia butuh sandaran dan teman untuk berkeluh kesah, namun sampai detik ini belum ada orang yang bisa membuat Dewa meringankan semua beban pikirannya. Anna? Entahlah, akhir-akhir ini Dewa tak bisa berhenti untuk memikirkan istri mudanya itu. "Kenapa sangat sulit untuk tidak mempedulikannya? Aku menikahinya hanya untuk membantu Richard, aku tidak boleh menyukainya karena dia terlalu muda untukku, aku terpaksa melukainya supaya dia membenciku dan tidak berharap pada pria tua sepertiku. Tapi rupanya sekarang aku sendiri yang kena batunya. Harusnya ini yang aku mau, tapi kenapa aku malah merasa kacau seperti ini?" Gumam Dewa pada dirinya sendiri dengan nada frustasi. Tubuh Dewa kini bahkan merosot ke lantai, bersandar pada ranjang Steven dengan lengan yang menutupi kedua matanya. "Kh, dia bahkan lebih muda dari Dharia putri bungsuku." Imbuh Dewa dengan senyuman miring. Sungguh rasanya ia tidak kuat berjalan menuju kamarnya, kepalanya pusing sekali, dan Dewa mulai merasa menggigil kedinginan akibat terkena sedikit air hujan. Disaat seperti ini pria itu merasa sangat menyedihkan, punya tiga anak namun anak-anaknya sudah punya kehidupan sendiri. Ia butuh perhatian, ia butuh kasih sayang yang tulus, ingin sekali Dewa merasakannya sekali saja sebelum ia pergi meninggalkan Dunia ini. Namun ketika ada sosok Anna yang memberikannya perhatian Dewa malah menolaknya. Sebenarnya Dewa tak benar-benar menolaknya, cuma ia tak boleh terlena dengan semua perhatian Anna karena ia takut jatuh cinta pada gadis muda itu. Gadis yang bahkan lebih pantas menjadi cucunya. Masa depan Anna masih panjang, gadis cantik itu bisa mendapatkan laki-laki muda manapun yang ia sukai, dan bukan laki-laki tua seperti Dewa tentunya. Diam-diam Anna sejak tadi mendengarkan ucapan Dewa barusan. Karena pintu kamar Steven tidak di kunci jadi Anna masuk saja dengan membawa nampan berisi minuman hangat, namun saat mendengar suara Dewa, langkah Anna otomatis langsung terhenti begitu saja. Kebetulan jarak antara ranjang dan pintu Steven dihalangi oleh pembatas ruangan, oleh sebab itu Dewa sampai tak melihat kedatangan Anna. 'Jadi itu alasannya.' gumam Anna dalam hati dengan ekspresi tak terbaca. Kalau begini ceritanya lantas Anna harus bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Ucapan Dewa barusan membuat Anna benar-benar sangat terkejut, ia tak mengira jika Dewa akan melakukan itu padanya. Anna jadi makin kasihan dengan suami tuanya itu, Dewa pasti sangat tersiksa karena melakukan sesuatu yang tidak semestinya pria itu lakukan pada Anna. "Mas!" Panggil Anna seraya berjalan mendekat kearah Dewa. Mungkin karena hatinya kembali melunak makanya tanpa sadar Anna memanggil Dewa dengan sebutan itu. Saat Anna melihat suaminya hanya diam saja, hati Anna pun mulai diserang rasa panik. Cepat-cepat ia segera menaruh nampan diatas laci, lalu gadis itu segera duduk disamping Dewa, memeriksa tubuh pria itu. "Mas! Bisa dengar suara aku?" Tanya Anna seraya mengguncang-guncangkan lengan Dewa. Dewa yang masih sadar pun segera menoleh kearah Anna, menyingkirkan lengan kanannya dari kedua matanya. "Ada apa?" Tanya Dewa dengan suara yang lemah dan serak, Anna terkejut ketika melihat wajah pucat dan bibir Dewa yang sangat memerah. "Demi Tuhan ada apa kamu bilang? Udah tau lagi sakit tapi kenapa kamu masih nekad turutin kemauan Steven? Dari pagi nggak pulang-pulang, padahal katanya cuma ke Timezone doang. Kalau tambah sakit begini emang siapa yang bakalan repot? Anak-anak kamu? Mana mereka sekarang?" Omelan Anna membuat Dewa langsung menatap kearah istrinya dengan tatapan tak percaya. Tak percaya jika gadis yang sedang mengomel-ngomel dihadapannya ini adalah istrinya. Istri yang katanya sedang marah dan tak mau mempedulikannya. "Saya tidak apa-apa." Ungkap Dewa seraya berusaha duduk dengan benar dan untungnya ia masih kuat melakukannya tanpa bantuan Anna. "Kamu sakit, kamu bilang nggak apa-apa?" Nada bicara Anna kembali tak bersahabat membuat Dewa menatap Anna dengan jengah. "Lalu apa urusannya? Memang kenapa kalau saya sedang sakit? Saya sudah biasa merawat diri saya sendiri." Perkataan Dewa barusan membuat Anna tak terima. "Mas!" "Kamu sendiri yang bilang kalau kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing, lantas sekarang kenapa kamu peduli Anna? Apa mau kamu?" "Aku peduli karena rasa kemanusiaan, apa itu salah? Kamu juga nggak usah GR." Sekarang perkataan Anna malah membuat Dewa merasakan sesak yang tak nyaman di dadanya. "Kamu kasihan? Iya? Itukan maksud kamu?" "Iya, aku kasihan sama orangtua yang sombong kayak kamu, sok kuat padahal dirinya sendiri sangat lemah." Lagi-lagi Dewa merasa sesak untuk yang kesekian kalinya, apa dirinya memang terlihat begitu menyedihkan dimata Anna? "Apa saya memang semenyedihkan itu Anna?" "Sangat menyedihkan, apa kamu puas?" Kini suara Anna mulai agak meninggi, entahlah tiba-tiba saja ia merasa sangat kesal dengan Dewa. Anna juga bingung dengan perasaannya makanya ia menutupinya dengan marah-marah kepada Dewa. "Kita ke dokter sekarang, aku nggak mau kamu sakit dan nyusahin aku." Anna tiba-tiba saja menarik tangan Dewa namun Dewa segera menepisnya. "Saya tidak mau ke dokter, dan saya tidak akan menyusahkan kamu. Jika kamu merasa terganggu dengan saya yang sedang sakit, saya akan tidur di kamar lain, kamu bisa pakai kamar saya. Sakit seperti ini sudah biasa bagi saya, besok juga sembuh. Kamu tidak perlu repot-repot mempedulikan saya, meskipun kamu istri saya, saya tidak ingin melihat kamu terpaksa melakukan hal yang tidak kamu sukai." Ya Tuhan, sekarang kenapa keadaannya jadi terbalik? Sekarang Anna yang malah merasa bersalah. Mau mengalah tapi... "Ya udah terserah, aku nggak peduli lagi, urus aja diri kamu sendiri." Setelah mengatakan itu, Anna pun segera pergi meninggalkan Dewa sendirian di kamar Steven. Dewa langsung menghela nafas berat, menyandarkan kembali tubuhnya diranjang Steven. Dewa lantas memijit pelipisnya yang semakin pusing. Sesak didada yang ia rasakan membuat pria tampan itu merasa sangat terluka, padahal ini yang ia inginkan, Anna membencinya, tapi kenapa hatinya sangat sakit saat Anna meneriakinya? "Sial!" Umpat Dewa dengan nada frustasi. *** Dewa benar-benar merealisasikan perkataannya, pria itu memilih untuk tidur dikamar lain dan hal itu pun membuat Anna semakin uring-uringan. Padahal Anna sendiri yang membuat pria itu pindah kamar, namun kenapa sekarang Anna sendiri yang kelabakan? Tengah malam Anna bahkan tak bisa tidur, ia terus memikirkan keadaan Dewa, takut Dewa kenapa-kenapa namun ia gengsi untuk mengakuinya didepan pria itu. Anna sungguh bingung, tak mungkin ia seperti ini terus tanpa berbuat sesuatu. "Masa bodoh!" Ucapnya sebelum melesat meninggalkan kamar Dewa yang ia tempati. Anna langsung berjalan menuju kamar yang Dewa gunakan namun disana ia dikejutkan dengan kehadiran Sri. "Mbak!" Panggil Anna. "Eh, ibu. Bikin saya kaget aja." Sri tampak mengusap-usap dadanya. "Itu apa mbak?" Tanya Anna penasaran. "Ah ini, ini kompresan Bu, bapak demam, tadi nyuruh saya bawa ini ke kamarnya." Jawab Sri membuat Anna semakin khawatir. "Demam?" "Iya Bu." "Bapak udah minum obat?" "Saya kurang tau Bu, bapak belum makan apa-apa sejak pulang sama mas Steven." "Astaga orang itu..." Anna tampak kesal sekaligus khawatir. "Ama..." Suara itu, suara rengekan Steven, Anna dan Sri langsung menoleh kearah bocah itu. "Stev? Kenapa kamu bangun?" Tanya Anna dengan tatapan terkejut. "Ama... Aku laper, aku mau makan. Cacing-cacingku nggak mau diem." Ungkap Steven membuat Anna sedikit tersenyum geli. Ya ampun disaat seperti ini bisa-bisanya. Anna pun segera berlutut mensejajarkan dirinya dengan Steven, Steven tanpa malu langsung memeluk tubuh Anna sembari mengucek-ucek kedua matanya. "Mau makan apa? Biar mbak Sri siapin buat mas Steven." Ucap Sri pada Steven. "Mau sosis sama nugget aja mbak Sri pakai saos tomat terus pakai mayonaise." "Pakai nasi anget ya mas." "Iya." Angguk Steven membuat Sri dan Anna tersenyum lega. "Kompresannya biar saya bawa mbak, biar saya yang kompres bapak, nanti mbak antar makanan Steven ke kamar ini ya!" "Siap Bu." Angguk Sri dengan patuh, lalu iapun segera menyerahkan baskom berisi air hangat dan handuk kepada Anna. "Stev ke kamar sama Ama sama opa, nanti setelah makan kamu tidur aja di dalam ya." "Iya Ama." Angguk Steven dengan antusias, melihat wajah teduh Anna membuat bocah itu selalu bersemangat. Beberapa saat kemudian Anna pun segera masuk kedalam kamar yang ditempati oleh Dewa. Anna dengan segera langsung menghampiri ranjang suaminya dan memeriksa suhu badannya. "Badannya cukup panas, disuruh ke dokter nggak mau, aku sendiri nggak pernah ngerawat orang sakit, tapi aku juga nggak bisa biarin dia kayak gini." Gumam Anna sambil menyentuh dahi Dewa yang tengah terlelap dengan nafas yang memburu. Sedangkan Steven, bocah itu malah melanjutkan tidurnya di sofa, hal itu membuat Anna menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Steven masih belum tau jika kakeknya sedang sakit. "Semoga setelah dikompres demamnya segera turun." Ungkap Anna, lalu iapun segera mengompres dahi dan tubuh Dewa, karena Anna ingat ketika ia kecil, ibunya mengompres seluruh tubuhnya menggunakan air hangat jika ia sedang demam. "Unghhh..." Lenguh Dewa. "Ssst... It's okay." Anna segera menggenggam tangan besar Dewa dengan erat, berharap jika hal itu bisa membuat Dewa lebih tenang dalam tidurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN