Angin malam berhembus perlahan......
Menembus pori-pori kulit seorang wanita yang tengah terpekur lama menatap jalanan ibu kota yang cukup ramai.
Langit malam nampak gelap tertutup kabut.
Rembulan yang biasanya menyinari bagian belahan bumi, Kini nampak muram. Cahaya titik bintang yang bertaburan seperti malam-malam sebelumnya, kini tak lagi terlihat.
Menyembunyikan sinar yang sejatinya sangat terang.
Andhini Shakira........
Wanita berusia 20 tahun itu menatap nyalang langit yang demikian gelap nan bermuram durja, Sama dengan hatinya yang bergejolak penuh keraguan dan kekecewaan.
Perlahan namun pasti,
Butiran kristal cair itu tak urung jatuh jua.....
Membawa kepedihan yang mendalam, mendeklarasikan pada dunia bahwa dirinya...... tengah berduka.
Menjadi simpanan seorang pria yang cukup mapan, bukanlah pilihannya.
Ada kehidupan ibu dan adiknya di kampung yang harus ia penuhi. Belum lagi biaya sekolah yang tak bisa di katakan murah.
Ayahnya telah lama berpulang ke pangkuan ilahi. Mewariskan segudang hutang yang harus ia lunasi.
Bukan tanpa alasan....
Penyakit jantung ayahnya demikian akut, hingga membuat keluarganya harus berhutang pada koperasi setempat di kampungnya.
Jumlahnya pun jauh dari kata sedikit.
Dering ponsel demikian nyaring di telinganya.
Ia memandang ponselnya dengan tatapan nanar. Dengan gemetar, salah satu jemarinya terulur untuk mengangkat panggilan dari ibunya.
"Assalamualaikum..."
Suara ibunya mengalun lembut terdengar di telinganya.
Sayangnya, Dhini tak memungkiri bahwa ada kepedihan pada nada suara ibunya kali ini.
"Wa'alaikum salam, ibu".
Dhink terisak perlahan.
Air matanya meluruh seiring dengan tangisan sang ibu. Hening beberapa saat hingga suara ibu Dhini kembali terdengar.
"Cukup, nak. Jangan menangis lagi.
Maafkan lah ibu yang tak bisa melindungi mu dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ibu."
"Tidak, Bu. Dhini yang salah."
"Ssttt..... Jangan menangis lagi, ya.
Ibu janji akan menyusul dan menjemputmu ke kota. Kita pulang ke desa dan kita rawat anakmu bersama-sama.
Hanya satu yang ibu pinta......
Kau tak boleh putus asa.
Kau boleh terluka, tapi jangan sampai menyakiti apalagi melenyapkan darah dagingmu sendiri.
Mengerti?"
Andhini semakin terisak pilu.
"Andhini tak ingin melakukan hal bodoh, Bu.
Mana mungkin Dhini tega menyakiti darah daging Dhini sendiri?
Dan Dhini......
Harus mendatangi mas Akmal.
Bila perlu, Dhini sendiri yang akan bicara dengan istri mas Akmal.
Dhini tak mau di cerai begitu saja karena mas Akmal tak menginginkan bayi ini.
Meski Dhini seorang simpanan, tapi Dhini juga istrinya. Istri yang sah di mata agama"
"Tunggu ibu. Ibu yang akan mendampingimu untuk ke sana".
"Tidak, Bu. Bila memang kisah ini harus berakhir, Dhini sendiri yang akan mengakhirinya. Karna dulu, Dhini lah yang memulai".
Dhini memutuskan panggilan sepihak.
Maka, dengan langkah pasti, dirinya bersiap untuk pergi ke kediaman Akmal.
Biarlah.....
Biarlah hari ini ia mengambil keputusan.
Lima bulan.
Lima bulan bukan waktu yang sebentar untuk Dhini yang di abaikan Akmal.
Saat mengetahui Andhini mengandung dua bulan, Akmal memintanya untuk menggugurkan kandungannya.
Tak sampai di situ. Andhini menolak dengan tegas apa yang di minta Akmal.
Hingga membuat Akmal menjatuhkan talak saat itu juga. Meninggalkan Dhini yang sedang hamil muda. Tanpa peduli akan kehancuran hati yang selama ini mencintainya dengan sepenuh hati.
Dan yang lebih membuat harga diri seorang Andhini luruh, Akmal memberi sejumlah uang untuk biaya aborsi.
Hati wanita mana yang tak hancur?
Mematut dirinya sekali lagi di cermin, Andhini memantapkan niatnya kali ini.
Bayinya akan lahir sekitar dua setengah bulan lagi. Dan andhini tak ingin melahirkan bayi tanpa sosok ayah.
Menghembuskan nafas perlahan, ia kemudian beranjak menuju mobilnya yang terparkir rapi di garasi rumahnya yang minimalis.
Mobil melaju perlahan menuju kediaman Akmal.
Berjuta sakit, kecewa bahkan gundah gulana meneriakkan kepedihan tanpa ukuran.
Andhini harus berjuang demi keadilan yang hendak ia tuntut.
Sekuat hati dirinya untuk tetap kokoh pada pendirian agar ia mengesampingkan luka istri Akmal. Bagaimana, bayinya butuh ayah.
Bukan hanya perihal materi.
Melainkan juga kasih sayang yang tentu akan berpengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya kelak.
Sekali lagi, Dhini harus kuat.
Hingga mobilnya tiba di kediaman Akmal.
Memasuki pelataran dengan jantung yang tentu berdegub kencang.
Sekali lagi, Dhini memantapkan hatinya.
Biarlah.....
Mungkin ini adalah ujung dari perjuangannya yang melelahkan. Berjuang menunggu Akmal yang telah tega menghempaskannya ke jurang nestapa.
Kini......
Dhini tak ingin dirinya meragu apa lagi
bimbang.
"Selamat malam, maaf dengan ibu siapa dan ada keperluan apa?".
Seorang security menghampiri dan menyambut nya. Senyumnya ramah dan nampak tulus tanpa di buat-buat.
"Saya.... em saya Dhini, temannya pak Akmal. Apa pak Akmal dan istrinya ada?
Saya ada urusan pribadi dengan beliau".
Begitulah Dhini mengungkapkan.
"Tunggulah di sini sebentar, mbak.
Saya hubungi Nyonya Arini dulu"
Andhini hanya mengangguk, membiarkan dirinya menunggu di dalam mobil.
Semoga saja kedatangannya tak mendapat penolakan.
Ya......
Semoga saja.
"Silahkan, mbak. Bu Arini bersedia menemui, tetapi pak Akmal belum pulang dari kantor.
Mari, saya antar".
Suara security tiba-tiba.
Senyum lega terbit begitu saja dari dari bibir tipis Dhini.
Setelah turun dari mobil, langkah Dhini mengikuti langkah sang security.
Meski gugup melanda, nampak tekad menyala kuat di mata indahnya.
Dhini harus menyelesaikan apa yang belum selesai antar dirinya dan Akmal.
"Ini nyonya, tamu tuan".
"Ya, terima kasih.
Kembalilah ke tempat berjaga".
"Baik, nyonya.".
Sesaat, Dhini meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah.
Nyonya Akmal Sanjaya di hadapannya ini memanglah wanita yang cantik dengan lekuk tubuh yang sangat molek.
Lantas, apa kekurangan wanita ini hingga membuat Akmal berpaling padanya?
Pikiran Arini penuh tanya.
Rumahnya juga megah. Kehidupan mereka bisa di katakan sempurna.
Apalagi, Andhini sempat menangkap siluet seorang gadis yang berlarian menuju tangga.
Sepertinya itu putri Akmal.
"Selamat malam, nyonya".
Dhini menyapa dengan lembut. Senyum kaku jelas tercetak di wajahnya.
"Malam. Mari silahkan duduk.
Maaf, dengan siapa ya?".
Andhini dan Arini duduk di sofa ruang tamu.
Senyum Arini nampak cerah dan ramah.
"Saya Andhini Shakira. Ada keperluan penting dengan tuan Akmal".
"Apa anda pekerja di kantornya?".
Andhini menggeleng lemah.
"Saya ingin mengembalikan sesuatu yang tuan Akmal berikan pada saya lima bulan lalu".
Perlahan, Andhini membuka tasnya. Meraih amplop coklat yang berisikan sejumlah uang. Juga dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit dan kartu ATM.
Di letakkan nya kedua kartu dan amplop itu ke meja, hingga menimbulkan raut wajah bingung dari Arini.
"Apa maksudnya ini".
Firasat Arini nampak tak nyaman. Terlebih menatap perut buncit andhini yang menimbulkan banyak spekulasi dalam otaknya.
Andhini menghela nafasnya. Kemudian berkata dengan air mata yang mulai luruh.
"Setahun yang lalu, tuan Akmal menikahi saya. Dan lima bulan yang lalu, beliau menjatuhkan talak pada saya karna saya menolak untuk menggugurkan kandungan saya yang notabenenya adalah bayi kami.
Ini adalah uang yang tuan Akmal berikan pada saya untuk biaya aborsi yang sayangnya, tak saya gunakan sepeser pun.
Saya butuh tuan Akmal sebagai ayah dari calon bayi saya. Dan setelah bayi saya lahir, beliau boleh meninggalkan saya.
Saya hanya ingin anak ini lahir dan legalitasnya di akui negara.
Maka dari itu, saya ingin tuan Akmal menikahi saya secara resmi.
Saya berjanji tak akan menuntut lebih, saya akan pergi setelah bayi ini lahir dan kami bercerai. Jadi saya mohon, nyonya...... Saya tak akan datang kemari andai tuan Akmal tak menjatuhkan talak lima bulan lalu".
**