Bab. 1
Sedikit kesusahan sebab tubuhnya yang kalah jauh dibanding sang pria, seorang gadis terlihat masih berusaha memapah tubuh pria yang tak lain adalah atasannya. Berjalan menuju tempat tidur, tenaganya kini seolah hampir habis.
Gadis itu bernama Karin Sandara dan si pria adalah Alan Tanujaya.
Karin yang menjabat sebagai sekretaris Alan, memang baru tiga bulan bekerja di perusahaan keluarga milik pria itu. Ia yang sebelumnya bertugas di bagian staf humas, kemudian dipindah tugaskan untuk mengganti Anyelir menjadi sekretaris sang direktur.
Anyelir mengundurkan diri karena akan melahirkan. Kehamilannya yang sudah besar memaksa wanita itu berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang sekretaris. Sayang, ilmu yang sudah ia miliki ketika menjabat sebagai staf wanita yang begitu mengerti dan memahami Alan —sebab masa kerjanya yang cukup lama— belum sempat ia turunkan kepada Karin, si sekretaris baru. Alhasil, gadis itu harus belajar sendiri mengenal pribadi sang direktur.
Karin memang baru mulai beradaptasi dengan atasan barunya itu. Sebab itulah ia masih belum terlalu hapal mengenai apapun yang berhubungan dengan lelaki tampan tersebut.
Seperti saat ini, di mana keduanya baru saja pulang dari acara ulang tahun salah satu kolega Alan. Siapa sangka, sifat jahil yang dimiliki para rekan sesama eksekutif muda tersebut, membuat Alan harus pulang dalam keadaan mabuk. Sehingga membuat Karin harus mengantar sang atasan dengan mengendari mobil sedan mewah milik pria itu.
Besarnya apartemen yang Alan miliki, membuat Karin harus mengeluarkan tenaga ekstra agar tubuh besar dan gagah itu terbaring di ranjangnya yang terletak di lantai dua.
"Mengapa apartemen sebesar ini tidak ada pembantu yang bekerja?" gumam Karin kesal. Masih berjalan menuntun meski mulut terus bicara.
"Anda seharusnya tidak usah minum kalau tidak kuat. Bagaimana seandainya saya tidak ikut bersama Anda? mungkin mobil yang Anda kendarai akan mengalami kecelakaan sebab supirnya yang tidak sadarkan diri." Masih saja Karin melampiaskan kekesalannya pada sang atasan.
"Itulah mengapa kamu harus ikut bersamaku kemana pun aku pergi. Karena tugas dan kewajiban sekretaris adalah itu," sela Alan meracau dengan tubuhnya yang sedikit oleng.
"Heuh! Andai saja aku masih menjadi staf humas biasa, mungkin aku tidak akan berada di situasi ini." Karin terus bergumam tanpa mempedulikan racauan yang keluar dari mulut Alan.
Setelah sekian lama, akhirnya Karin berhasil membawa Alan sampai ke kamarnya yang luas. Membaringkan tubuh itu dan kemudian pergi. Begitu rencana yang ada di pikirannya, tetapi saat ia hendak berbalik tiba-tiba Alan menahan pergelangan tangannya.
"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Alan, yang sepertinya semakin tidak sadar.
"Maaf, Tuan Alan, saya permisi pulang. Tugas saya sudah selesai sampai di sini." Karin menjawab dengan tegas.
"Kenapa buru-buru sekali, bukankah kita bisa menikmati waktu kita dengan bersenang-senang, hiks!" ucap Alan, diakhiri cegukan.
"Maaf, Tuan. Tidak bisa. Ini sudah larut malam, saya harus pulang!" Karin sudah mulai terlihat kesal. Ia mencoba melepaskan cekalan tangan Alan padanya.
Namun bukannya terlepas, tangan lelaki itu malah terasa semakin kuat mencengkram.
"Jangan begitu, kita bersenang-senanglah dulu, Thalia."
Baiklah, sang atasan benar-benar tak sadar. Laki-laki itu mengira jika gadis yang ada di kamarnya adalah, Thalia, kekasihnya.
"Tuan, lepaskan. Saya Karin bukan Thalia, kekasih Anda."
Ya, baru informasi itu yang Karin tahu kalau Alan memiliki kekasih. Karena seringnya si gadis seksi itu datang ke perusahaan.
"Hehe, kamu becanda, Sayang. Bagaimana bisa kamu berbohong padaku." Alan semakin tak jelas.
Laki-laki itu kini malah beranjak dari posisinya berbaring tadi, dan duduk menghadap sang sekretaris.
"Ayolah, kita senang-senang dulu. Mengapa kamu selalu saja menolakku? Padahal aku sering memberimu uang, tetapi sekalipun kamu tidak pernah mau kalau aku ajak bercinta. Aku bosan kalau hanya menciummu terus seperti ini!" Karin yang terdiam ketika sang atasan terus mengoceh membicarakan kekasihnya, tak menduga ketika Alan menarik tangannya dan mendaratkan bibir di atas bibirnya
Begitu sadar, gadis itu pun melawan. Tapi, tenaganya kalah oleh sang lelaki yang menempelkan bibirnya begitu rapat. Karin pun terus memberontak karena sekarang Alan berlaku semakin liar.
"Tuan, Anda sedang mabuk. Saya minta jangan lakukan hal ini!" Karin kembali memohon.
Karin gemetaran sebab lelaki itu tiba-tiba berubah sikap. Dari yang tengah mabuk tak berdaya, kini berubah menjadi sosok yang menakutkan.
Sayang, semua daya dan upaya Karin harus berakhir dengan terenggutnya kehormatan yang ia jaga selama hidupnya itu. Ia hanya bisa menangis dan terus menangis tanpa henti. Sedangkan si pria, tubuhnya ambruk seiring kesadarannya yang hilang. Karin yang sudah letih ikut terbaring dan tertidur dengan wajah yang sembab oleh air mata.
***
Karin terbangun lebih dulu. Dengan dengkuran halus yang masih terdengar dari lelaki di sebelahnya yang masih tertidur.
Jam menunjukkan pukul empat pagi ketika gadis itu memutuskan untuk bangun. Karin pun beranjak dari tempat tidur dengan kondisi tubuhnya yang seolah remuk, berusaha bangkit untuk kemudian mengambil pakaiannya yang tercecer di lantai.
Gadis itu pun memakai seluruh pakaiannya diiringi rintih kesakitan yang terasa di area dad*, terutama kewanitaannya.
Air mata sudah mengering meski rasa sakit masih nyata terasa di dalam hati dan jiwanya.
Setelah selesai, Karin beranjak pergi dari apartemen sang direktur. Keluar dari apartemen yang luas dengan hati yang tercabik bila mengingat peristiwa semalam.
Di lobi apartemen dengan diiringi tatapan dari salah seorang security yang bertugas, Karin berjalan hendak keluar area pelataran gedung tinggi tersebut.
"Mbak Karin!" sapa si petugas yang berjalan mendekat begitu langkah kaki gadis itu sudah akan meninggalkan gedung.
"I—iya, Pak Hari!" jawab Karin dengan senyumnya yang canggung.
"Pagi-pagi sekali sudah mau pergi. Apa tidak menunggu suasana terang sedikit?"
"Ehm, i—iya, Pak. Saya harus buru-buru pulang."
"Oh gitu. Baiklah. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya security itu menawarkan diri.
"Ehm, apakah Bapak bisa panggilkan saya taksi. Sepertinya ponsel saya tertinggal di apartemen Tuan Alan. Tak enak bila harus kembali lagi. Khawatir membangunkan beliau yang sedang istirahat."
"Oh, bisa, bisa. Sebentar saya carikan."
Petugas itu pun kembali ke meja resepsionis dan meraih gagang telepon untuk menghubungi agen taksi yang sudah menjadi langgan*n para penghuni apartemen.
Terlihat dari posisi Karin berdiri, lelaki itu berbicara dengan begitu serius. Tak lama, percakapan itu pun selesai dan si petugas kembali berjalan menghampirinya.
"Sudah, Mbak. Silakan ditunggu saja di lobi. Nanti kalau sudah datang saya beri tahu."
"Eh iya, Pak Hari. Terima kasih, yah?"
"Sama-sama, Mbak."
Gadis itu pun berjalan menuju area lobi dengan satu set sofa yang tersedia di sana. Mendudukkan bokongnya dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa serta menengadahkan kepala ke atas. Ia lelah, sangat lelah. Tak ingin kembali mengingat peristiwa semalam, tetapi seolah sulit sebab rasa nyeri yang masih terasa di bawah sana.
Petugas security itu masih terus memperhatikan Karin. Menyadari ada yang tidak beres dengan gadis muda di depannya, lelaki itu memang berniat ingin membantu. Entah apa yang terjadi di atas sana. Yang lelaki itu tahu, semalam Alan yang turun dari mobilnya dalam keadaan mabuk, tengah dibantu oleh sekertaris baru itu dengan sedikit kesusahan. Ia sempat menolong Karin dengan membawa Alan ke unit apartemennya. Namun, sebab panggilan tiba-tiba lelaki dewasa itu hanya membantu sampai depan pintu apartemen saja. Sisanya memang Karin yang membawa sang atasan masuk ke dalam sendirian.
Suara klakson dari sebuah taksi, mengagetkan Pak Hari. Lalu, lelaki itu pun berjalan menghampiri Karin.
"Mbak Karin, taksinya sudah datang." Pak Hari memberitahu gadis tersebut.
"Oh iya, Pak." Karin yang terkejut, kemudian beranjak dari posisinya.
Berjalan dengan diikuti petugas security di belakang langkahnya, Karin menghampiri taksi yang sudah terparkir di pelataran gedung kemudian masuk ke dalam mobil.
"Pak Hari terima kasih bantuannya. Saya pulang dulu."
"Iya, Mbak hati-hati."
Gadis itu pun mengangguk. Kemudian taksi melaju meninggalkan gedung apartemen menuju jalan raya. Meninggalkan rasa sakit yang Karin rasakan semalam. Enggan menatap ke belakang, tak kuat jika bayangan itu kembali menari di pelupuk matanya.
***
Di waktu yang berbeda, Alan terbangun ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Mengerjapkan kedua mata yang terasa berat serta tubuh yang amat letih dan terasa lengket. Selain itu, rasa pening di kepala sisa mabuk semalam pun masih terasa.
Lelaki itu menggeliatkan tangan dan tubuhnya. Menguap sebagai tanda jika rasa kantuk belum sepenuhnya hilang. Ketika tangan yang ia rentangkan ke atas itu belum kembali ke posisinya, sudut mata Alan tak sengaja menatap ke sebuah titik besar berwarna merah, tercetak nyata di sprei putih yang menutupi kasur.
"Noda apa ini?" gumamnya. Kemudian mendekat dan memperhatikan.
"Apakah ini darah?" lirihnya pelan, kemudian mengusap kain sprei itu. "Kering. Iya, ini darah. Tapi, darah apa dan siapa?"
Alan bergumam sembari mengamati seluruh tubuhnya yang ... polos!
"Apa? Bagaimana bisa aku tak berpakaian seperti ini?"
Lelaki itu pun mencoba mengingat memorinya semalam. Diawali ketika ia tengah merayakan pesta ulang tahun kawan satu profesi bersama sekertarisnya, Karin. Kemudian beberapa dari kawannya itu memaksa ia meminum minuman beralkohol.
Saat itu, Alan sudah menolak. Ia menyadari jika dirinya tak pernah kuat dalam urusan minum minuman seperti itu, dan kawan-kawannya pun tahu. Namun, atas rasa solidaritasnya yang tinggi terhadap kawan juga berusaha menghormati Juan —kawannya yang sedang berulang tahun, ia pun menenggak minuman itu. Sebenarnya ia tidak sampai meminum sampai berbotol-botol seperti kawannya yang lain. Tapi karena ia memang payah, maka tak lama mabuk itu pun menyerang.
Alan masih ingat ketika Karin membawanya pulang. Dengan kekuatannya sebagai seorang wanita, Karin berusaha memapahnya berjalan dari dalam mobil ke area gedung apartemen. Lelaki itu juga ingat ketika salah seorang petugas keamanan membantu sang sekertaris membawanya ke unit apartemen miliknya.
Namun, begitu ia sampai di dalam kamar, samar ingatannya mengenai kejadian setelah itu. Yang ia ingat, tiba-tiba sosok Thalia —sang kekasih, ada di dalam kamarnya. Lantas, rasa panas di dalam tubuhnya menyerang begitu cepat, membuat ia akhirnya menerjang secara paksa tubuh seksi itu.
"Apa?!" pekik Alan, yang seketika ingat jika semalam ia sudah bercinta dengan seorang perempuan. Mengingat tubuh yang polos dan bercak darah yang tercetak di atas sprei, lelaki itu semakin yakin.
Tapi, benarkah Thalia yang sudah ia ajak bercinta?
"Tidak mungkin! Aku semalam bersama dengan Karin, sekertarisku. Benarkah gadis itu? Lalu kemana ia sekarang?" Alan terus bicara sendiri.
Lelaki itu kemudian turun dari tempat tidur dan mengenakan celana boxernya yang ada di lantai. Begitu ia hendak mengambil celana panjang dan kemeja kerja yang tercecer berantakan, matanya melihat sebuah benda pipih tergeletak di sana.
"Handphone? Ini punya Karin."
Ya, Alan tentu tahu ponsel yang sering kali Karin gunakan ketika sedang bekerja. Apalagi ponsel itu Alan berikan ketika pertama kali gadis itu menjabat sebagai sekertarisnya.
Alan pun kemudian mengambil ponsel pintar tersebut dan hendak menyalakannya. Namun, belum juga terlaksana tiba-tiba terdengar nada dering telepon yang berasal dari ponselnya sendiri. Alan mencari ponsel miliknya yang ia ingat masih berada di saku jasnya. Jas hitam yang tergeletak di sofa, terus mengeluarkan suara berisik, sampai akhirnya Alan hentikan dengan menerima panggilan dari salah satu kawannya.
"Ya, Rik?" sapa Alan yang mengetahui jika Erik yang menghubunginya.
[ ... ]
"Ehm, ya, aku baru bangun. Kepalaku serasa mau pecah kalau kamu mau tahu. Entah minuman apa yang kalian berikan padaku semalam, sampai sekarang rasa pening ini belum hilang juga hilang."
[ ... ]
"Kenapa kamu tertawa? Bukannya simpati, kamu malah meledekku."
[ ... ]
"Apa? Jangan becanda kamu?"
[ ... ]
"Sial! Pantas saja aku bisa lepas kontrol. Para pria itu memang kurang ajar. Becanda tidak tahu aturan." Alan mengumpat setelah memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak.
"Aku telah membuatnya ternoda." Kembali Alan bergumam.
Keisengan yang kawannya lakukan telah membuat ia menjadi penjahat kelam*n.
Di tengah kegundahan hati dan pikiran yang sudah membuat seorang gadis kehilangan keperawanannya, Alan iseng menyalakan ponsel milik Karin. Berharap mendapatkan petunjuk alamat rumah atau pun identitas diri gadis itu.
Begitu terkejutnya Alan ketika membuka kotak galeri yang ada di ponsel tersebut. Banyak poto yang menampilkan kemesraan sang gadis bersama seorang lelaki yang sangat Alan kenal.
"Angga?" gumamnya.
Mengingat akan gambar yang begitu intim dan mesra antara Karin dan Angga, yang Alan lihat di ponsel itu, tiba-tiba seringai licik hadir di bibirnya.
"Sepertinya permainan seru baru saja dimulai," ucap Alan tiba-tiba.
Apakah yang ada di dalam pikiran Alan saat ini? Lantas, siapakah sosok Angga yang tampak mesra berpoto bersama Karin? Apa hubungan gadis itu dengan si pria? Lalu, bagaimana bisa Alan mengenalnya?
***