Episode 2

1042 Kata
Episode 2 17 tahun hidup di dunia belum pernah ada yang memberikan uang cuma-cuma untuk dalam jumlah ratusan ribu hanya untuk sehari, tapi kini seorang pria yang belum pernah dikenal olehnya dan baru menikahi dirinya selama sehari semalam sudah memberikan uang itu tanpa harus digunakan untuk kebutuhan dapur. Fira bengong melihat uang di tangannya, dalam hati ia memikirkan bayar spp dan daftar ulang sekolah tapi tentu saja uang itu kurang. "Ini kalau untuk bayar spp setahun dan daftar sekolah baru tentu saja tidak cukup." Maulana menaikkan sebelah alis mendengar ucapan sang Istri. "Ini bukan untuk biaya sekolah, biaya sekolah sudah ku lunasi, Istriku. Ini untuk mu, kau bisa gunakan untuk membeli keperluan mu. Kalau kurang kamu bisa ambil sendiri di brankas, atau kamu ingin menggunakan kartu kredit?" Fira mendongak menatap sang Suami, ia semakin curiga dengan pria tersebut. Semua orang juga tahu kalau guru honorer itu gajinya tidak terlalu besar, gadis itu menatap sang Suami curiga. "Paman, Paman bukan seorang Mafia bukan?" "Ha? Kamu mengira ada seorang Mafia hafal al Qur'an? Bahkan tahu yang namanya nafkah untuk Istri?" Maulana terheran -heran dengan pertanyaan sang Istri. "Kalau begitu Paman dapat darimana uang ini?" tanya Fira menuntut. "Kerja, Suami mu ini juga punya kerja sampingan selain menjadi seorang Guru. Sudah jangan pikir macam-macam, ayo sekarang kita sarapan. Kita akan berangkat sekolah bersama." Maulana berjalan mendahului Fira, ia tidak ingin sang Istri kembali marah kalau digandeng. "Aku tidak mau jalan sama Paman, aku masih remaja masa punya pacar sudah tua." Fira berjalan mengekori sang Suami. "Aku juga tidak mau kamu jadi pacarku," balas Maulana santai, ia melangkahkan kaki hingga tiba di depan lift. Fira memalingkan muka kesal dengan jawaban sang Suami, seakan dirinya gadis yang tidak menarik. "Kalau begitu kenapa menikahi ku?!" "Karena menikah adalah ibadah," jawab Maulana, tangannya terulur memencet tombol di lift hingga lift terbuka setelah itu masuk kedalam diikuti oleh Istrinya. "Setelah aku berhasil membayar hutang orang tuaku serta bunganya, Paman bisa menceraikan ku." Fira masih belum selesai bicara, dia terus ngomel tanpa sadar bahwa dirinyalah yang memulai menyakiti hati sang Suami. "Aku menikah karena ibadah bukan karena keluarga mu berhutang, seorang Istri tidak dapat ditukar dengan apapun apalagi hanya dengan uang. Aku sudah menikahi mu, jadi jangan berpikir untuk cerai," jelas Maulana menatap sang Istri yang cemberut. "Tapi tadi Paman bilang tidak mau jadi pacarku, bukankah Paman ingin mengatakan bahwa aku tidak menarik?" balas Fira masih tidak terima dengan ucapan sang Suami. "Ya … karena dalam Islam pacaran itu dilarang, jadi aku tidak mau jadi pacarmu tapi jadi Suamimu. Tapi …" Maulana sedikit memiringkan kepala menatap sang Istri yang masih kesal. "Kenapa kamu sangat marah saat aku bilang tidak mau jadi pacarmu, bukankah seharusnya kamu merasa bersyukur? Karena kamu juga merasa malu kalau mengatakan bahwa aku adalah Suamimu." Ucapan pria itu telah menampar ingatannya, malu dan kesal jadi satu, memang dirinyalah yang pertama sudah menyakiti hati pria tersebut. Mata kecoklatan itu beradu pandang dengan iris safir di depannya, terkesima dengan warna jernih dalam pesona mata sang Suami. "Indah sekali, warnanya biru." "Biru?" Maulana belum mengerti maksud ucapan sang Istri, ia pun mendongakkan kepalanya keatas lalu melihat sekeliling tempat itu, tidak ada warna biru dalam lift kemudian kembali memandang sang Istri. "Dimana warna biru, Istriku?" Fira memalingkan muka malu dan kesal dengan sikap sang Suami, alih-alih menjelaskan dia justru kembali bersikap jutek. "Lupakan!" Pria itu menghela nafas mencoba untuk sabar dengan sikap sang Istri. Ting… Lift terbuka, Maulana melangkahkan kaki keluar dari tempat itu lalu diikuti oleh sang Istri. Gadis itu terus mengekor di belakang sang Suami hingga mereka sampai di ruang makan, di meja makan sudah terdapat 1 orang pria dan 5 wanita dengan usia berbeda -beda. "Dasar rentenir tua, banyak sekali Istrinya," batinnya mengumpat. Pandangan mata teralihkan pada sosok pria berbaju marun yang duduk di kursi paling ujung, di samping pria itu ada kursi kosong, ia segera berjalan menuju kursi tersebut dan duduk di situ. "Sayang, kamu ingin makan apa?" tanya Maulana sambil mengambilkan nasi lalu menaruh di piring sang Istri. Seorang wanita 25 tahun menatap cemburu terhadap anak tirinya itu, ia melirik jijik sang Suami yang sudah 60 tahun. "Anak banget ya, bangun tidur tidak perlu kerja langsung makan." Ada perasaan tidak suka dalam diri gadis itu mendengar ucapan wanita tersebut, ia ingin membantah tapi tahu bahwa mereka semua pasti akan lebih membela wanita cantik dengan baju seksi warna pink itu. "Mama Nadia, apakah Mama menyindir ku? Kalau Mama ingin menyindir ku juga harus melihat, bukankah Mama di rumah ini hanya numpang?" balas Maulana tanpa memandang wanita bernama Nadia tersebut. Fira menahan diri untuk tidak tersenyum, ternyata pria itu bermulut pedas juga, ia yakin kalau seorang wanita bernama Nadia itu sebenarnya sedang menyindir dirinya. "Van, Mama bukan menyindir mu. Kamu selalu rajin bekerja hingga bisa membangun rumah ini, maksudku adalah gadis miskin yang baru datang ke rumah kita ini. Bahkan bayar hutang saja tidak mampu," jelas Nadia melirik Fira. Maulana menaruh kedua lengan di atas meja, memandang Istri ke 5 dari sang Ayah dengan sinis. "Apakah Mama tidak membaca surat perjanjian? Anaknya sudah diberikan pada keluarga kita, masih mengatakan hutang. Apakah urat malu Mama sudah putus?" "Sudah! Benar, Fira memang sudah masuk keluarga ini. Tapi dia menjadi Istrimu bukan Istri Papa, jadi tetap hutang mertuamu belum lunas," sahut Sinya Ayah Maulana. Fira mengepalkan tangan menahan emosi, ia sangat ingin menampar sang mertua tapi tiba-tiba sebuah jemari lentik menggenggam lembut tangannya. Gadis itu menoleh pada jemari itu, sebuah tangan besar milik sang Suami menggenggam tangan kecil miliknya. "Papa, kalau itu tanyakan saja pada Istri kedua Papa. Mama memintaku pulang dan menikah, Mama melakukan itu karena dorongan dari Istri -Istri Papa. Pa … apakah Papa tidak malu pada Allah? Bukankah Allah sudah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba? Kenapa Papa masih merasa pekerjaan riba itu sangat membanggakan?" balas Maulana tenang, ia juga memandang ramah sang Ayah. Sinya kehabisan kata setiap kali bicara dengan anak pertamanya itu. "Heh, sudahlah, Van. Kamu tidak perlu peduli dengan pekerjaan Papa, yang penting Papa sayang kamu dan Mama mu." "Aku hanya mengingatkan saja, Pa. Tolong jaga Istri -Istri Papa juga agar tidak membuat Istri ku merasa tidak nyaman, kalau Papa masih merasa mertua ku punyaku hutang, Papa datang saja padaku, aku yang akan melunasi beserta bunganya," jawab Maulana juga tidak ingin terus berdebat dengan sang Ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN