Lama Riswan memandangi nomor ponsel Viona yang baru saja dikirimkan oleh Cello. Maju mundur jarinya untuk menekan nomor tersebut .
"Tak ada salahnya mencoba, toh aku bukan menikahinya, hanya meminta bantuan dan aku pun memberikan imbalan. Mudah-mudahan wanita seperti Viona mau menolong. Ya... kalau tidak mau, berarti belum rezeki Melati," gumam Riswan dalam hati.
Riswan memberanikan diri menghubungi kontak Viona. Tentu saja dengan perasaan gugup dan salah tingkah.
Hallo, pagi Mba?
Pagi juga, Om. Siapa ya?
Saya yang tadi malam di cafe.
Pelanggan kemarin banyak Om. Yang mana ya? Maaf saya lupa. Hehehehe...
Mmhh..itu anu..saya yang bertanya apakah kita pernah bertemu di bank asi.
Ohh.. Iya yaa saya ingat, ada apa ya om?"
Mmhh anu..
Anunya siapa, Om? Hahahaha... malu ya Om. Santai aja kalau sama saya mah.
Begini, Mba. Sore ini kita bisa bertemu di cafe Ferrari tidak? Ada yang perlu saya bicarakan.
Bisa kalau hanya ngobrol. Tarif saya dua ratus lima puluh ribu untuk satu jam. Tidak pakai pegang tangan apalagi elus paha.
Huuukk...huuk...
Uhuuk... oke, jam lima sore ini di cafe Ferrari ya.
Viona menutup teleponnya sambil terkekeh. Sangat lucu rasanya mendengar suara batuk-batuk lelaki di seberang sana. Keningnya nampak berkerut memikirkan lelaki yang baru saja berbicara padanya.
"Wahh, waahh... gue kirain lelaki alim. Ternyata butuh temen ngobrol juga kayak gue." Viona menggelengkan kepalanya.
"Jangan mudah menilai seseorang dari penampilan luarnya saja," gumam Viona lagi.
****
Sore itu viona memakai dress berwarna maroon motif bunga lili yang sedikit terbuka bagian dadanya. Viona datang lebih awal karena memang jam kerjanya dimulai pukul empat sore hingga pukul dua belas malam. Untungnya hari ini dia masih bertugas di cafe menggantikan Daren. Hingga lebih santai menunggu tamunya, sambil mengecek laporan kas yang ada di layar komputer.
"Titip bentar ya, gue ada tamu," ujar Viona pada Sari yang bertugas sebagai pelayan di sana. Sambil tersenyum, kaki Viona melangkah menuju meja nomor sebelas. Diliriknya jam tangan, lima menit lagi pukul lima. Mata Viona menjelajah isi cafe yang masih sepi. Ia memutuskan membuka ponselnya untuk melihat ada pesan atau tidak dari Riswan.
"Hallo Mba," sapa Riswan sedikit gugup. Ia mengambil kursi tepat di depan Viona.
"Eh iyaa hallo, Om," jawab Viona sambil mengulurkan tangannya bersalaman.
Riswan duduk di depan Viona dengan gugup karena memperhatikan baju Viona yang tidak terkancing dengan sempurna.
"Maaf Mbak, kancing bajunya terbuka," ujar Riswan memberitahu Viona dengan suara canggung.
"Apaa?" ucap Viona setengah kaget sambil memperhatikan belahan dadanya yang sedikit terekspose.
"Lha, justru saya yang sengaja buka, Mas. Ha ha ha ..." Viona terbahak. Benar-benar polos lelaki di depannya saat ini. Sedangkan Riswan hanya bisa menyeringai kuda sambil berusaha menelan salivanya.
"Biasanya om-om yang ngobrol sama gue senang jika baju gue seperti ini, malah ada yang minta buka semuanya. Ha ha ha ...," jelas Viona lagi sambil terbahak lagi. Hingga Sari memperhatikan Viona dari kejauhan.
"Oh, gitu ya."
"Mmhhh...panggil saya Riswan saja ya, jangan Om. saya belum empat puluh tahun kok. Baru tiga puluh tujuh tahun," terang Riswan sambil menunduk. Ia belum pernah berhadapan dengan wanita seperti Viona sebelumnya. Sehingga masih merasa sedikit risih dan kaku.
"Okelah kalau begitu. Ada yang bisa saya bantu ?" tanya Viona langsung tanpa berbasa-basi.
"Kamu bisa bekerja dengan saya tidak?"
"Maksudnya? kerja dengan Mas? Wah, sorry gue ga bisa Mas Riswan, gue kan masih kerja di sini," jelas Viona
"Bukan gitu, Ini maksudnya...gimana yaa saya ngejelasinnya," ucap Riswan coba menjelaskan maksudnya yang sebenarnya.
Riswan menjelaskan maksud dari ucapannya dengan sangat detail. Mulai dari kehilangan almarhum istrinya, sampai dengan kesusahan memperoleh asi untuk bayinya.
Mata Viona tak beranjak dari menatap Riswan. Mendengarkan dengan seksama, setiap kalimat yang lelaki itu ucapkan.
"Lelaki ini memiliki wajah yang tampan, sayang ditutupi kaca mata. Sepertinya juga orang baik tapi sudah duda kasian," gumam Viona dalam hati setelah mendengar penjelasan Riswan.
"Mmmhh...jadi gue tugasnya hanya menjadi ibu s**u anak Mas?gitu?" tanya viona memperjelas.
"Iya," jawab Riswan cepat
"Bayaran gue berapa?" tanya Viona to the point.
"Dua kali lipat gaji kamu di sini," jawab Riswan menawarkan.
"Tiga kali gaji, belum makan, ongkos, dan uang pulsa gue. Gimana?" tawar Viona dengan raut wajah serius.
Riswan berpikir sejenak, dari pada dia harus menikah kembali dengan orang lain, lebih baik dia membayar orang untuk menyusui anaknya. Riswan kembali bermonolog.
"Oke, besok pagi jam tujuh kamu bisa ke rumah saya, ini alamatnya," ujar Riswan sambil memberikan alamat rumahnya pada Viona.
"Bayaran sore ini? dua jam lho," tagih Viona sambil menadahkan tangannya tepat di depan Riswan.
Riswan melihat jam tangannya sudah berputar di angka 7 malam, lalu ia mengeluarkan uang lima ratus ribu dari dalam dompet lalu memberikannya kepada Viona.
"Bill minuman kita ga lu bayar?" tanya Viona sambil nyengir kuda.
"Ohh iyaa yaa...saya kira gratis," sahut Riswan polos sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Viona hanya terkekeh melihat kepolosan Riswan.
Setelah menemui titik kesepakatan, Riswan pun pamit pulang. Sedangkan Viona kembali ke balik meja kasir, melaksanakan pekerjaannya menggantikan Darren.
Tampak Viona tengah memencet ponselnya dengan wajah serius.
Hallo, Jek. Gue dapat tawaran kerja baru. Mulai besok gue off , boleh ya?
Kok lu dadakan, Vio? emang kerja apaan?
Jadi ibu s**u. Bayarannya tiga kali gaji gue di sini. Jadi gue cuti lagi ga papa ya. He he he ...
Nyusuin siapa?
Ya bayilah, masa menyusui buaya. Hahahaha...
Oh, gue kira nyusuin bapaknya. Ha ha ha ...
Ya kalau bapaknya mau sih. He he he ...
Ya sudah, kalau Darren malam ini balik, lu besok boleh cuti. Tapi kalau Darren belum balik, lu masih tetap di sini besok.
Oke, terimakasih bosku.
****
Malam ini Riswan tak bisa tertidur, padahal bayi Melati sedang anteng dan tidur pulas di sampingnya. Ia tengah membayangkan semoga keputusan yang ia buat untuk Melati menjadi yang terbaik.
Di lain tempat, Viona sudah kembali ke kosan dan memakai piyamanya bersiap tidur.Dia melihat foto almarhumah bayinya, Viona menangis sesegukan.
"Hai anak ibu, ibu rindu," lirih Viona sambil memandang foto almarhum bayinya di ponsel dengan berderai air mata.
"Ibu sangat rindu, Nak. Maafkan ibu yang tak bisa menjagamu dengan baik, bahkan ibu bodohmu ini belum sempat memberikan nama untukmu," lirih pilu Viona masih terus bicara dengan foto bayinya.
"Besok ibu akan memberikan asi bagianmu pada bayi mungil di sana, boleh ya sayang?"
"Kamu jangan ngambek sama ibu yaa, ibu senang jika bisa menolong bayi di sana."
Dia terus berbicara dengan foto almarhumah bayinya hingga ia tertidur pulas.
****
Pagi pun tiba. Viona sudah rapi dengan tas pakaiannya. Sambil menunggu taksi yang ia pesan, Viona membaca pesan dari Riswan yang menanyakan, apakah pagi ini jadi ke rumah atau tidak? Viona membalas dengan cepat sambil tersenyum.
"Mau kemana, Jeng?" tanya Yudi tiba-tiba saat melewati Viona yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Mau bunuh orang, Nek," sahut Viona cuek sambil berlalu meninggalkan Yudi yang sedang terbahak.
Taksi yang dipesan Viona sudah tiba di depam gerbang kos-kosan Viona. Dengan menenteng tas di tangannya, Viona masuk ke dalam taksi dan memilih untuk duduk di kursi belakang.
Sebenarnya jarak antara kos-kosan Viona dengan rumah Riswan tidaklah terlalu jauh. Hanya butuh waktu satu jam sudah sampai. Namun mengingat bertepatan dengan hari senin, jam anak sekolah dan karyawan kantor masuk. Maka waktu yang diperlukan lebih lama.
"Ini, Pak. Ongkosnya." Viona memberikan selembar uang merah pada supir taksi. Lalu turun dengan hati-hati sambil menenteng tas pakaiannya.
"Mba, kembaliannya!" seru pengemudi taksi pada Viona yang sudah menutup pintu penumpang belakang.
"Buat bapak saja," sahut Viona tersenyum.
Teeng...teng...
Viona menggedor pintu pagar rumah Riswan yang masih tergembok.
"Permisi," seru Viona sambil menyembulkan kepalanya daei luar pagar.
"Iya tunggu," sahut pemilik rumah.
Riswan membuka pintu dan pagar, kemudian mempersilahkan Viona masuk.
"Oeekk...ooekk..."
Baru hendak duduk suara tangisan bayi Melati sudah nyaring terdengar.
Naluri keibuan Viona terpanggil dengan sigap dia berlari ke arah box bayi yang diletakkan dekat ruang tivi. Dengan penuh hati-hati dan
kelembutan, Viona mengangkat bayi Melati dari dalam boxnya. Sungguh ajaib, seketika bayi Melati berhenti menangis dan menatap wajah wanita yang menggendongnya dengan tatapan berbinar.