“Mas, kamu kenapa sih? Aku kan lagi bantu Ibu,” geleng Kirana menatap suaminya yang saat ini marah kepadanya.
“Kamu diam saja di rumah, kalau anakku kenapa-kenapa, kamu akan aku buat menyesal,” ancam Anka.
“Hanya itu yang bisa kamu katakan? Kenapa kamu tak mengatakan akan membunuhku saja?” tanya Kirana mulai kesal. “Aku kerja seperti itu tidak akan membuat anakmu kenapa-kenapa, tapi akan kenapa-kenapa jika kamu marah terus.”
“Kamu diam lah, jangan membuatku marah.”
Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Ketika Kirana hendak ke ruang tamu, langkahnya terhenti ketika melihat Siska datang, tanpa permisi langsung masuk ke ruang tengah.
“Mas,” ucap Siska.
Anka menoleh dan tersenyum, senyuman yang tak pernah ia berikan kepada Kirana. Siska langsung memeluk Anka didepan Kirana. Siska juga mengecup pipi Anka dengan tatapan penuh cinta.
Kirana tak tahu hubungan seperti apa yang tengah di jalani Anka dan Siska, tapi yang Kirana tahu pasti, keduanya dijodohkan dan hampir menikah, namun Kirana datang dan membuat semuanya hancur.
Kirana menundukkan kepala.
“Hai, Kiran,” ucap Siska.
“Hai,” jawab Kirana.
“Kamu apa kabar?”
“Aku baik. Kamu bagaimana?”
“Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik,” jawab Siska, tersenyum cantik. “Aku tadi mau ke rumah Ibu, tapi mampir di sini dulu.”
“Kamu duduk saja, aku akan siapkan teh dan cemilan.”
“Terima kasih ya,” ucap Siska tersenyum.
Kirana mengangguk lalu melangkah menuju dapur, ia berbalik sesaat melihat kemesraan suaminya dan wanita lain, seharusnya ia yang mendapatkan perlakuan itu, tapi Anka malah lebih memilih tersenyum di depan Siska di bandingkan pada istrinya sendiri.
Siska lalu duduk bersebelahan dengan Anka, Siska menyandarkan kepalanya di bahu Anka dan Anka memberikan belaian mesra.
“Apa ibuku yang memanggilmu?” tanya Anka.
“Mbak Dania yang menyuruhku ke rumah Ibu, Mas.”
“Oh.”
“Tapi aku mampir di sini dulu, karena aku lihat mobilmu masih ada.”
“Aku memang tidak ke kantor hari ini.”
“Karena itu aku datang,” jawab Siska. “Aku merindukanmu.”
“Setiap hari kita bertemu di kantor. Kenapa kamu rindu?”
“Hari ini kan kamu tidak di kantor, Mas.”
Anka menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, Kirana datang dan membawa nampan di tangannya. Lalu mempersilahkan Siska untuk minum dan menikmati cemilannya.
Kirana menelan piluh hatinya sebab melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain didepan matanya, namun Kirana selalu berusaha tenang, dan tahu posisinya. Ia bukan orang yang harus marah dengan sikap ini, justru ia harus mengasihani suaminya karena suaminya harus menjalin hubungan dengannya dan memotong jalan Anka dan Siska menikah.
“Kalau begitu aku ke kamar dulu,” kata Kirana.
“Kiran, kamu mau kemana? Kenapa tidak di sini saja?” tanya Siska.
“Kamu bisa di sini kok, aku yang harus pergi,” kata Kirana seolah menyindir.
“Baiklah.” Siska mengangguk.
Kirana lalu melangkah meninggalkan Anka dan Siska yang sedang bermesraan, terlihat jelas di mata Kirana, Siska begitu lengket pada Anka, membuat dirinya pasti cemburu.
“Mas, kayaknya aku salah deh sama Kiran,” kata Siska menoleh menatap Anka.
“Salah? Memangnya kamu salah apa?”
“Aku terlalu lengket ya?”
“Sudah begitu kan seharusnya?”
Siska mengangguk. Ia paham akhirnya. Bahwa ia berhak atas siapa pun. Walaupun Kirana adalah istri sah Anka.
***
Narendra mengelus leher belakangnya ketika baru tiba di rumah, anak-anaknya mendekatinya dan duduk berhadapan dengannya, lalu tak lama kemudian mereka mengambil tangan Daddy mereka dan langsung di ciumi.
Berbeda dengan Ksatria yang sejak tadi duduk di ruang tengah dengan cuek seperti biasa.
“Mas, ini kopinya,” kata Syafana membawa nampan di tangannya.
“Iya, Sayang. Terima kasih,” ucap Narendra lalu menyesap kopi tersebut.
“Daddy capek ya?” tanya Kanaya menatap sang Daddy yang saat ini masih memijat leher belakangnya.
“Daddy tidak capek kok,” geleng Narendra. “Memangnya Daddy kelihatan capek?”
“Iya. Daddy kelihatan capek banget,” jawab Kiano.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Narendra mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi kamu ujian. Sudah putuskan mau kuliah dimana?”
“Aku belum memutuskan apa pun, Daddy, nanti kalau Kiano sudah putuskan baru Kiano beritahu Daddy.”
Saat ini Kirana dan Ksatria berusia 26 tahun. Kirana memutuskan menjadi dokter, dan Ksatria memutuskan membantu ayahnya mengurus perusahaan.
Lalu, Kiano berusia 17 tahun, kini duduk di bangku sekolah menengah atas.
Dan Kanaya berusia 12 tahun, kini duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Anak-anak Narendra dan Syafana sudah besar, namun berbeda dengan Kirana.
Semenjak Kirana menikah dan pergi meninggalkan rumah ini, Narendra tidak pernah menganggap Kirana sebagai anaknya lagi, kekecewaan Narendra begitu besar sehingga ia tidak bisa mengatakan apa pun dan memilih untuk tidak menerima Kirana sementara waktu.
Semenjak skandal itu, Narendra dan Syafana begitu malu dan tidak bisa mengangkat wajah mereka di depan semua orang, karena rumor sampai di kantornya, bahwa anak yang seharusnya kini menjadi coass di rumah sakit besar, harus hamil di luar nikah dan kini menjadi istri.
Seharusnya Kirana menjadi salah satu kebanggaannya, bahkan Narendra sudah membiayai kuliah Kirana hingga sampai coass di rumah sakit. Hatinya sakit, rasa kecewanya besar, jadi ia tidak menerima kehadiran Kirana walaupun Kirana kemari dan mau meminta maaf kepadanya.
Ya. Narendra egois, anggap saja seperti itu, tapi hatinya belum siap menerima kenyataan hidup Kirana saat ini.
Syafana selalu membujuk Narendra agar memaafkan Kirana, namun Narendra selalu menolak, sebab hatinya masih sakit.
“Mas capek, kamu temani anak-anak dulu ya,” kata Narendra.
“Iya, Mas. Kamu istirahat saja,” angguk Syafana yang duduk disampingnya.
“Anak-anak, Daddy ke kamar dulu ya, Daddy mau mandi dan istirahat.”
Kiano dan Kanaya mengangguk.
Sepeninggalan Daddy mereka, Kiano menatap sang Mommy.
“Mom, Daddy sakit ya?” tanya Kiano.
“Sakit? Tidak. Daddy tidak sakit,” geleng Syafana. “Daddy capek sekali karena beberapa hari ini harus lembur. Jadi, Daddy mau istirahat cepat.”
“Memangnya Kak Ksatria kerja apa?” tanya Kiano.
“Kamu tanya pada Kakak kerja apa?” Ksatria menunjuk dirinya.
“Kakak kok bisa bikin Daddy capek?” tanya Kanaya.
Ksatria menoleh menatap sang Mommy, sementara Syafana memberi kode agar mendengarkan saja apa yang mereka katakan.
“Daddy itu kan punya pekerjaan sendiri, Kakak juga punya pekerjaan sendiri.” Ksatria menjawab.
“Tapi kan waktu itu Kakak bilang sendiri kalau Kakak mau bantu Daddy,” sambung Kanaya.
“Nanti ya, Kakak mau istirahat juga,” kata Ksatria menghindari pertanyaan adik-adiknya. “Mom, aku ke kamar dulu.”
“Iya, kamu istirahat juga gih,” angguk Syafana.
“Yaaaa kakak nih,” geleng Kanaya.
“Kian, Kana, ayo nak kalian istirahat juga, kan besok mau sekolah lagi.”
“Baik, Mom,” jawab Kanaya. Lalu melangkah pergi meninggalkan ruang tengah.
Syafana menautkan alis melihat Kiano yang masih duduk dihadapannya.
“Kian, ada yang mau kamu katakan, Nak?” tanya Syafana.
“Mom, ini rahasia ya,” kata Kiano.
“Okee. Mommy akan merahasiakannya. Memangnya ada apa?”
“Kian punya pacar,” jawab Kiano mengelus leher belakangnya. “Tapi, Kian hanya berani ngomong ke Mommy.”
“Masya Allah. Terus apa masalahnya? Kalau kamu punya pacar itu, bolehh. Tapi, jangan sampai ganggu ujianmu.” Syafana begitu bijaksana.
“Iya, Mom, gak akan mengganggu kok,” geleng Kiano. “Tapi Mommy gak usah bilang ke Daddy dulu ya, Kian gak mau buat Daddy khawatir.”