Harist membalikkan badan, membuat Aara yang berjalan dibelakangnya harus berhenti karena menabrak tubuh tegap didepannya itu.
“Kamu sedang aku ajak bicara bukannya menyahut, malah main hp.” Ucapnya kesal, pertama karena Aara sudah ingkar janji dan membuatnya menahan lapar sejak tadi siang. Kedua, perempuan itu tidak mempedulikannya karena sibuk dengan ponselnya.
“Maaf sekali pak, saya ada urusan, mohon ijin pulang duluan.” Dan tanpa persetujuan Harist, perempuan itu sudah berlalu menuju parkiran, meninggalkan Harist yang masih tercengang dan tidak habis pikir.
“Apa ini Aara yang sebenarnya? Aku tidak pernah melihat temanku bersikap seperti itu. Dia biasanya sangat manis.” Gerutunya sembari melanjutkan jalannya, namun semakin lama semakin dipercepat sampai akhirnya dia berlari dan segera masuk ke mobil. “Setidaknya pasti ada hal penting sampai membuat dia buru-buru.” Pikirnya yang masih penasaran.
***
Aara sampai di sebuah resto yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Dan masih dengan rasa penasarannya, Harist terus mengikuti perempuan itu, dia mengambil tempat duduk yang ada dibelakang Aara. Perempuan itu sendirian, terlihat gusar sembari menatap pintu masuk resto tersebut, ada seseorang yang sedang dia tunggu dan membuat Harist semakin penasaran.
Satu jam berlalu, tidak kunjung seorang pun menghampiri Aara, Harist pun sudah selesai makan dan hampir bosan, apalagi dengan Aara yang sejak tadi hanya diam dan sesekali menyecap minuman yang dipesannya. Namun yang aneh, Aara sudah memesan dua gelas minuman disana. Jadi semakin menguatkan dugaan Harist bahwa perempuan itu sedang menunggu seseorang.
Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, biasanya Aara sudah berpamitan kalau bertemu dengan Harist di taman dekat persimpangan, dan benar, perempuan itu sudah mulai gusar, dia menelpon seseorang berulang kali sembari memijat pelipisnya seolah menahan emosi dan berusaha tenang. Tapi hal itu tidak dapat disembunyikan, Aara akhirnya beranjak dari tempat duduk, dan Harist segera berusaha menutupi wajahnya dengan benda apapun yang ada dimeja agar Aara tidak mengenalinya.
Namun saat Aara ingin melangkahkan kaki, seseorang mencegah dan memintanya untuk duduk kembali.
“Tunggulah sebentar.” Suara itu dapat didengar oleh Harist yang tidak jauh dari mereka.
Dan saat Harist menilik dibalik tubuh Aara siapa pemilik suara itu, dia terhenyak dan tidak dapat percaya dengan yang disaksikannya. Dhanis ada disana, memegang tangan Aara dan memohon perempuan itu untuk tetap tinggal sebentar.
“Dasar perempuan tidak tau diri, ternyata lo masih berharap pada Dhanis. Aara, gue…” ucap Harist dalam hatinya, dia mengutuk Aara karena ingkar pada janjinya yang tidak akan berharap lagi pada Dhanis, yang saat itu sudah menjadi suami orang.
“Masih seperti dulu, aku yang selalu menunggumu.” Ucapan Aara menghentikan seluruh kecamuk Harist.
“Maafkan aku Ra, kamu harus memaklumi keadaanku. Aku nggak bisa kemana-mana karena Mila terus bersamaku dan nggak bisa ditinggal.” Ucap Dhanis.
“Sekarang, aku nggak perlu memaklumi apapun keadaanmu, karena aku sudah mengikhlaskanmu. Selamat juga untuk istrimu yang hamil, semoga kalian bahagia.” Nada suara Aara sedikit bergetar, bagaimanapun juga mengikhlaskan rasanya tetap berat.
“Kamu jangan kayak gini dong, aku minta maaf karena nggak ada waktu buat kamu. Dan jika memang kamu mengikhlaskanku, kamu nggak akan disini untuk menungguku datang.”
Permintaan maaf yang selalu meluluhkan hati Aara, menjadikan Dhanis berpongah dan melakukan hal yang sama berulang kali.
“Ya, mungkin ini untuk terakhir kalinya aku menunggumu, Mas. Aku disini cuma ingin menyelesaikan semuanya, mengakhiri yang sebenarnya tidak pernah dimulai, tapi aku sudah terlanjur sejauh ini mengharapkanmu. Jangan khawatir, kamu nggak perlu bertanggung jawab atas apapun. Anggap saja semua yang pernah kita jalani adalah hal buruk dalam hidup kita dan nggak harus diulangi lagi. Aku minta maaf, jika aku pernah menggodamu dan menjatuhkan kita berdua dihubungan yang nggak seharusnya ini. Aku minta maaf. Aku sudah mengikhlaskanmu, dan aku mohon dengan kejadian ini pertemanan kita tetap nggak akan berubah.” Aara tidak dapat menahan tangisnya, dia terdengar terisak, dan laki-laki didepannya berusaha meraih tangan perempuan itu, memberi pengertian.
Harist kembali tercekat, dia tau Aara sangat menahan kesedihannya, dan dia menyalahkan diri karena berpikiran buruk terhadap perempuan yang sudah dengan keberaniannya menemui laki-laki yang selama ini terus menyakiti dan menyembunyikannya, untuk mengakhiri semua.
Harist ingin memeluk Aara saat ini juga, menenangkan dan membawanya pergi.
Saat Harist hendak memanggik waiters untuk memesan minuman lagi, matanya menemukan perempuan yang sedang hamil menatap kearah Aara dan Dhanis berada. Harist pernah melihat perempuan itu bersama Dhanis didepan rumahnya, dan sudah bisa dipastikan bahwa dia adalah Mila, istri Dhanis. Hal buruk akan terjadi, jika Mila mendengar apa yang sedang Aara dan Dhanis bicarakan, semuanya akan hancur.
Harist melihat Mila berjalan kearah Aara dan Dhanis, dia semakin bingung apa yang akan dilakukannya. Tanpa aba-aba, Harist pun beranjak dan langsung menarik tangan Aara yang ada didepannya.
“Aara, maaf ya nunggu lama, tadi aku ketemu sama orang. Sekarang, kita pulang ya.” Lalu Harist membawa Aara pergi begitu saja, belum sempat mendengarkan penjelasan Dhanis.
Aara terkejut dan tidak bisa berbuat apa-apa, membiarkan Harist terus menariknya berjalan keluar dari resto tersebut. Hingga mereka bersimpangan dengan Mila, dan Aara menyadari bahwa Harist telah menyelamatkannya.
Mereka pun berhenti diluar, dan sama-sama menghembuskan napas lega.
“Maaf.” Ucap Harist. Untuk pikiran buruknya pada Aara yang menganggap perempuan itu kembali pada Dhanis dan berharap lagi bersama.
“Untuk apa Pak? Saya yang terima kasih. Permisi.” Ucap Aara, dia berbalik namun dicegah oleh Harist.
“Mau kemana kamu? Mila masih melihatmu dari dalam, kalau kita berpisah disini dia pasti menganggap kita nggak ada hubungan apa-apa.”
“Kan kita memang nggak ada hubungan apa-apa Pak.”
Harist menghembuskan napasnya dengan keras, “Sudah, kamu masuk aja ke mobil, nanti aku jelaskan.”
Aara pun masuk ke mobil seperti perintah Harist. Dan laki-laki itu segera tancap gas, setelah mengirim pesan ke seseorang. “Mana kunci motormu?”
Aara pun memberikannya dengan cuma-cuma tanpa menanyakan apapun. Sempat membuat Harist heran, tapi tanpa Aara bertanya sangatlah baik untuknya.
“Jadilah pacarku,” Ucapan Harist membuat Aara terkejut. Apa maksudnya?
“Didepan mereka berdua. Pertama supaya Mila nggak curiga sama kamu, kedua supaya Dhanis percaya kamu sudah mengikhlaskannya dengan berpacaran denganku.” Jelas Harist meluruskan, agar Aara tidak salah paham.
Namun bukannya menjawab, Aara malah memijit pelipisnya dan menghembuskan napas dengan berat. “Sudah cukup ya Pak, dengan mengetahui kamu sebagai atasanku saja itu masih belum bisa aku terima, sekarang pacar? Walaupun ini cuma pura-pura tapi aku nggak setuju. Aku nggak mau keberadaanku di kantor membuat semuanya rusuh, dengan kita berteman saja itu sudah salah.” Ucap Aara.
“Apa salahnya?” Harist menghentikan mobilnya dipinggir, agar pembicaraan itu tidak terganggu oleh apapun.
“Memangnya ada atasan dan karyawannya berteman?” tanya Aara.
“Ada, seperti aku dan Alvyan, kita berteman. Aku atasannya.” Jawab Harist sesuai fakta.
“Lalu apa seluruh karyawan lainnya dekat dengan Pak Alvyan?” tanya Aara. “Nggak Pak, aku mendengar dari teman karyawan lainnya, selain segan mereka ternyata menjaga jarak karena tau kalian punya hubungan pertemanan, mereka tidak mau apapun yang terjadi dan dikatakan akan sampai ke telingamu. Akhirnya apa? Ada jarak. Dan aku nggak mau, tempat kerja yang buat kita nyaman adalah lingkungan dan rekannya bukan? Lalu kalau mereka tau aku berteman denganmu, apa mereka akan bersikap sama seperti sebelumnya padaku?” Aara kembali memijat pelipisnya. “Sudahlah Pak, terima kasih banyak atas bantuan dan tawarannya. Saya pesan ojek online saja, kunci motornya mana..”
“Aku antar sampai rumahmu. Motormu nanti akan diantar.” Harist kembali menyalakan mobilnya. Hening. Sesuatu menganggu pikirannya dengan tiba-tiba.
“Apa salah aku membawanya masuk untuk bekerja di perusahaanku?” pertanyaan itu muncul dihatiya karena ada sebuah jarak yang terbentuk antara dirinya dengan Aara.