I Hate Rain
Rendy masuk ruangan yang di tunjukkan Rini. Besok ada tugas yang Rendy harus di kerjakan. Baru saja masuk sudah diberikan segudang pekerjaan. Sepertinya, kerjaan ini harusnya Angga yang mengerjakan. Berhubung Angga keluar. Jadi imbasnya ke Rendy “Haaaahhhhh” desah Rendy setelah menyelesaikan pekerjaannya.Ternyata berat juga bekerja sebagai fotografer. Rendy kira hanya sekedar foto-foto saja. Ternyata prosesnya sangat ribet juga. Editing, layout dan lain lain harus Rendy yang mengatur. Lumayan menantang juga sih.
Sementara di luar ruangan Rendy, para cewek sedang bergosip ria tentang ke datangan Rendy. Bagaimana tidak, cowok seguanteng Rendy bakalan jadi topik pembicaraan di kantor. Setelah kemarin lelah melaksanakan acara nikah anaknya dubes Australia. Ada pencerahan sedikit ketika melihat cowok ramah dan murah senyum itu.
“Rendy namanya noh lagi ada di ruangannya. Gue tadi ketemu, ramahnya minta ampun, belum senyumnya beeuuhh bikin jantung gue mau copot dah,” cablak Silvi dengan logat kental betawinya. Meskipun tangannya sedang bersolek manis merias wajahnya. Tapi, mulutnya komat kamit menceritakan ke kagumannya pada Rendy.
“Eta nu ganteng tea. Duh pasti kesemsem atuh,” ucap Wahida dengan dialek sundanya.
“Tumben aja mbak Clarisa ga marah sama si ganteng. Duuhh dah punya pacar belum yah dia?” Liana ikut nimbrung.
“Eh udah udah kerja. Ketahuan mbak Clarisa. Abislah kita. Jangan sampe di kasih SP apalagi di pecat,” seru Annisa salah satu staff yang baru kerja sebulan di WO Molefatho ini.
“Iye aye juga tahu keles. Cuci mata dikit kaga ape-ape kali Nis,” protes Silvi.
“Nya entos, bener juga. Bahaya kalo mbak Clarisa tahu kita malah lihatin si ganteng Rendy,,”
“Ya udah bubar bubar yuk!”
♡♡♡♡
Angin malam begitu kencang. Dedauan terjatuh karena angin yang mengamuk. Gerimis kecil mulai turun, nampaknya akan ada hujan besar di malam ini. Pastinya membuat orang nyaman, untuk tarik selimut dan di buai oleh mimpi. Tapi, tidak dengan Clarisa. Ia masih asik dengan sketsa baju kebaya hijaunya. Hari ini, ia lembur bersama Ayas kepala bagian busana. Ia bertekad malam ini harus segera menyelesai kebaya yang di minta oleh clinet agar lusa bisa di pakai oleh pengantin, “Lo jahit yang bener yah. Jangan sampe ada ke salahan. Gue mau ke gudang dulu ngambil bahan brukat sama puring kayanya kurang,” perintah Clarisa pada Ayas.
“Baik mbak,” sahut Ayas singkat. Clarisa berjalan menuju gudang. Ia melirik keluar jendela. Clarisa benci hujan. Ia memalingkan muka kemudian fokus ke tujuan semula. Gudang.
“Mana yah nih bahan. Perasaan kemaren masih ada stocknya deh,” rutuknya sambil mencari brukat hijau daun yang akan Clarisa gunakan untuk kebaya buatannya.
Duuaarr!!
Suara petir itu membuat Clarisa tercekat. Ia buru-buru lari dari gudang sambil membawa brukat hijau.
Duuuarr!!
“Aaahhhh stop!!!” Clarisa ketakutan. “BUNDAAAA!!” pekiknya. Pikiran Clarisa terbang ke tiga tahun yang silam. Saat bunda masih hidup. Bunda yang selalu baik hati di matanya. Clarisa sangat menyayangi bunda. Begitupun sebaliknya. Bunda selalu bisa jadi partner kerja yang baik. Pendengar setia. Dan bisa jadi apapun yang Clarisa mau. Clarisa memang sangat takut dengan petir. Makannya dia benci hujan. Kata Clarisa, orang-orang akan terbatasi aktifitas di luar, kalau hujan datang.
Flash Back
“Tenang sayang. Bunda selalu bersama kamu. Kamu jangan takut yah. Peluk bunda kalo kamu takut,” ucap bunda lembut sambil memeluk Clarisa. “Kalo nanti bunda ga ada. Kamu harus terbiasa dengan suara petir. Kamu harus kuat yah,” terusnya.
Clarisa manyun. “Apa sih bunda. Bunda harus tetep peluk Clarisa. Bunda ga boleh ke mana-mana. Clarisa mau bunda tetep peluk Clarisa kalo mau ujan. Apa lagi kalo petirnya gede-gede kaya gini, aku takut bunda,” rengek Clarisa pada saat itu. Lalu siapa sekarang yang akan memeluk Clarisa di saat ini? Bunda telah tiada. Tidak ada orang yang bisa ia dekap. Tidak ada lagi yang bisa memeluk menenangkan Clarisa saat ketakutan. Ia hanya bisa ketakutan sendirian tanpa teman.
Duuarr!!
“Aaahhhhhh STOOOOPPP!! I hate rain,” Clarisa sangat ketakutan. Dan sialnya lampu kantorpun mendadak mati. Lengkaplah sudah. Sikap Clarisa yang galak seakan lenyap. Sekarang yang ada seperti anak-anak yang ketakutan di tinggal ibunya. Air mata mengalir di pipinya. Rasanya ingin semua cepat berlalu. Clarisa mulai menangis sesegukan. Tubuhnya gemetar hebat. Ia benar-benar ketakutan. Ingin sekali ada sesorang yang menenangkan dirinya. Siapapun itu tolong Clarisa.
Tak. Tuk. Tak. Tuk.
Suara sepatu itu semakin mendekati Clarisa yang sedang jongkok di sudut ruangan sambil mendakap telinganya. Clarisa terus memandang bayangan yang akan menghampirinya. Terlalu gelap untuk menebak siapa yang datang. Jantung Clarisa berdegup kencang. Rasa rasanya, lengkaplah penderitaannya. Sudah takut petir, gelap pula.
“Kamu ga apa-apa?” suara itu bikin bulu kuduk Clarisa merinding. Kira-kira siapakah gerangan dia?
Siapakah yang menghampiri Clarisa?
Berhasilkah Clarisa mengatasi rasa takutnya?