PART 5

2282 Kata
            Setelah makan malam,Gavin menemui Vanya di ruang televisi. Gadis itu telah menunggu sembari memainkan ponselnya,Gavin duduk di sebelah Vanya tanpa sepatah katapun. Menyadari kehadiran Gavin Vanya meletakan ponselnya lalu duduk menghadap pria itu.             “Kenapa mas?” Tanya Vanya, ia memilih untuk memulai percakapan dibanding ia harus menunggu Gavin untuk memulai percakapan mereka.             “Gimana sama honeymoon kita? Kamu serius mau ngikutin mama papa saya?” Tanya Gavin, raut wajahnya tampak sangat serius.             “Tadi Vanya udah nolak kok”             “Tapi tiket udah sama kita Vanya, berarti kita tidak bisa mengembalikan tiketnya ke papa”             “Gatau ah mas pusing, emang liburannya kemana?” Tanya Vanya             “Maldives”             “Wah gila”             Gavin diam begitupun dengan Vanya,mereka berdua pusing bagaimana caranya mereka bisa kabur dari rencana konyol kedua orangtua mereka ,Gavin mengeluarkan tiket tersebut dari sakunya lalu memberikannya kepada Vanya.             “Berangkatnya dua minggu lagi mas...” Ucap Vanya, sementara Gavin tidak merespon apa-apa. Vanya kembali mengingat Raka, bagaimana dengan pria itu jika dirinya harus pergi selama sebulan lamanya. Bahkan ia belum memberitahu kekasihnya itu tentang apa yang terjadi kepadanya. Dan juga memikirkan apa yang akan ia lakukan selama di maldives terlebih ia berangkat dengan seseorang yang tidak menyukainya.Vanya beranjak dari tempatnya tanpa mengucap sepatah kata pun dari Gavin. Ia mengambil kunci mobil lalu berangkat menuju kediaman lamanya. Sesampainya disana ia disambut oleh orang adiknya,Dira. Vanya langsung mencari mama nya untuk sekedar mengeluh.             “Mama serius milihin langkah ini buat Vanya?”             “Gavin itu orang baik Vanya, kamu bisa coba buat jatuh cinta sama dia”             “Tapi Vanya gak bisa sama mas Gavin ma, bagaimana bisa Vanya cinta sama mas Gavin? Kami menikah karena keadaan, kami menikah tanpa dasar apa-apa , kami menikah tanpa dasar cinta. Bagaimana bisa Vanya jatuh cinta sama mas Gavin ma?”             “Semuanya udah terlanjur Vanya... kamu mengeluhpun gak ada yang bakalan berubah”             “mama sadar gak sih?! Mama dari dulu selalu ngorbanin Vanya buat semua kesalahan yang dibuat sama mba Airaa?  Dari kecil ma! Sampai Vanya gede pun mama selalu kayak gitu... Mama sadar gak sih?! Mama udah ngehancurin hidup Vanya... Vanya punya pacar ma!, Vanya sayang sama Raka... Vanya punya kehidupan Vanya sendiri... Kenapa Vanya harus nanggung ini semua? Seakan-akan ini semua tuh salah Vanya. Sadar gak ma? Mau bercerai sama mas Gavin pun hidup Vanya udah hancur sementara mba Airaa gak jelas gimana dia di luar sana? Mama kenapa tega sama Vanya? Mama kenapa gak pernah mikirin perasaan Vanya? Apa karena Vanya anak papa? Apa karena mba Airaa anak dari orang yang mama suka?” Vanya menangis didepan mamanya, ia tertunduk sembari mengeluarkan isi hatinya.             Mama nya terdiam ia tidak tahu harus bagaimana merespon ucapan putri nya itu, ucapan Vanya benar, selama ini ia terlalu membeda-bedakan Vanya dan Airaa, ia jarang memikirkan bagaimana perasaan Vanya. Sedetik setelahnya rasa bersalah muncul dari dalam dirinya. Ia menyesal telah melakukan hal tersebut kepada Vanya hanya karena masalah nama baik keluarga, benar kata Vanya, ia telah menghancurkan hidup Vanya.             “Mama sama aja ngejual Vanya?! Gimana kalau mba Airaa pulang?! Gimana Vanya bisa cerai sama mas Gavin?! Vanya gak mau jadi janda maa!”             “Maafin mama Vanya... mama menyesal” Vanya kembali menangis sejadi-jadinya. Hidupnya selalu saja dijadikan bahan percobaan oleh mama nya, semua yang dilakukan Airaa pasti Vanya yang selalu menanggung konsekuensinya, sementara gadis itu tanpa rasa bersalah tidak pernah menyadari betapa salahnya ia kepada Vanya.             Vanya berdiri lalu meninggalkan mama nya sendirian,sesampainya di rumah Gavin. Ia bertemu dengan pria itu, Gavin sedang makan malam sendirian. Gavin melihat mata sembab Vanya, terbesit rasa bersalah didalam hatinya. Karena dirinya dan Airaa lah maka Vanya harus menanggung hal-hal yang tidak seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Vanya memasuki kamarnya, lalu menutup pintu itu perlahan. Terdengar suara tangisan yang ditahan dari dalam sana. Gavin menghentikan makannya lalu berjalan menuju kamar Vanya. Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi hingga suaranya dapat terdengar jelas oleh Gavin.Gavin terlihat khawatir dengan keadaan Vanya, selama ini ia hanya memikirkan dirinya saja, ia tidak memikirkan bagaimana perasaan Vanya yang telah mengorbankan dirinya demi nama baik keluarga mereka,sesekali Gavin mengetuk pintu kamar Vanya, namun tak ada respon dari gadis itu.             “Vanya... buka pintunya r u okay?”             “ Vanyaa?” Gavin menunggu gadis itu selama dua jam lamanya, namun gadis itu tk kunjung membukakan pintunya,Gavin memutuskan untuk kembali ke kamarnya namun sesekali ke bawah untuk memastikan keadaan Vanya baik-baik saja.             Sudah kali ke empat Gavin mengecek kamar Vanya sejak Vanya pulang kerumah, gadis itu bahkan sudah tak bersuara lagi.Gavin berasumsi bahwa gadis itu sedang tertidur lelap karena kelelahan setelah menangis. Paginya Gavin kembali mengecek kamar Vanya, namun kamar itu belum juga terbuka hanya saja sebuah notes di tempelkan pada pintunya, notes yang bertuliskan “I need my time” sepertinya mewakili perasaan Vanya, Gavin memberikan space untuk Vanya ia terlalu egois jika memaksa Vanya untuk keluar. Gavin teringat bahwa sejak semalam gadis itu belum juga mengisi perutnya,ia berinisiatif membuatkan beberapa roti panggang dan segelas s**u untuk Vanya lalu diletakan di meja samping pintu kamar Vanya dengan sebuah notes yang bertuliskan “Makan” . setelah itu ia berangkat menuju kantornya.             Sementara Vanya baru saja terbangun dari tidur lelapnya, semalam ia menangis hingga Adzan subuh berkumandang, ia benar-benar depresi dengan apa yang terjadi dengannya. Andai saja ia menolak permintaan mama nya, andai saja ia bisa memberitahu Raka dan andai saja ia bisa menerima sikap dingin Gavin kepadanya. Mungkin semuanya tidak akan serumit ini. Masalahnya dengan Gavin juga tak luput dari apa yang ia tangisi semalam, ia tak ingin hidup selamanya dengan gavin namun ia juga tidak ingin menjanda di usia yang terbilang masih sangat muda. Sudah cukup pernikahannya digelar atas nama Airaa di undangan, dan sudah cukup juga ia menanggung malu dan masalah sekaligus dalam hidupnya, ia tidak mau lagi menambah apa yang ia pikirkan.Vanya memutuskan tidak masuk kantor hari ini,kepalanya terlalu pusing untuk ia pakai berpikir seharian di kantor,ia melihat pantulan dirinya sendiri dari dalam cermin, wajahnya bengkak karena menangis semalaman,bajunya sangat kusut,rambutnya yang selalu tertata rapih sekarang terlihat sangat berantakan. Vanya benar-benar seperti kehilangan dirinya sendiri.             Hari berlalu begitu cepat , Gavin sudah pulang ke rumah namun Vanya belum juga keluar dari kamarnya, roti dan s**u yang Gavin buatkan untuk gadis itu bahkan masih utuh, belum terjamah sama sekali. Kali ini Gavin benar-benar khawatir , ia takut Vanya kenapa-kenapa.             “Vanya... ayo keluar dulu”             “Vanya... kamu gak mati kan?!”             “Vanya kalau kamu tidak menjawab, saya dobrak ya pintunya” Sedetik kemudian gadis itu langsung membuka pintunya, mata sembab, rambut acak-acakan serta baju kusut yang belum ia ganti semalaman semakin menambah kesan menyedihkan pada gadis itu.             “Yatuhan saya kirain kamu kenapa-kenapa” Gavin bernapas lega,setidaknya masalahnya tidak bertambah satu karena Vanya sakit.             “Kamu gak makan ya?” Tanya Gavin, sementara itu Vanya hanya mengangguk lesu. Gavin menarik tangan Vanya menuju meja makan lalu mendudukan gadis itu di kursi. Dengan cekatan Gavin membuatkan sepiring nasi goreng untuk gadis itu.             “Kamu makan dulu, kan gak lucu Vanya kalau kamu mati kelaparan padahal kamu tinggal sama saya yang berkecukupan” Vanya mengangguk,lalu mencicipi makanan yang dibuat oleh Gavin, makananannya enak hanya saja ia tidak berselara untuk makan.             “Gak enak ya? Atau saya beliin aja?” Tanya Gavin             “Enak kok mas,makasih ya Cuma Vanya lagi gak selera makan aja” Jawab gadis itu.Gavin tidak marah, ia mengerti bagaimana posisi dan perasaan Vanya saat ini,mungkin ia sedih namun pasti Vanya jauh lebih sedih dibanding dirinya.             “Vanya... saya minta maaf soal sikap saya kemarin, saya seharusnya berterimakasih kepada kamu tapi saya malah langsung marah,maaf ya? Saya tau berada di posisi seperti ini tidak mudah, kamu harus mengorbankan hidup kamu untuk menyelamatkan nama baik keluarga,terlebih nama baik saya dan keluarga saya. Saya tidak tau bagaimana caranya berterimakasih sama kamu, seharusnya kamu tidak terlibat tapi karena saya karena Airaa dan karena keluarga saya kamu harus mengorbankan diri kamu. Maaf ya Vanya” Vanya sedikit kaget mendengar ucapan permintaan maaf dari Gavin,ia heran dengan sikap pria itu, terkadang baik dan terkadang tempramen. Namun Vanya tidak mau berlama-lama bermusuhan dengan Gavin, ia lantas mengangguk. Hatinya masih terlalu sedih untuk banyak berbicara,dulu saat ia sedih Raka lah satu-satunya tempatnya untuk menangis, namun kali ini ia tidak bisa mendatangi Raka lalu menangis sejadi-jadi nya.dipikirannya sekali saja ia datang menangis kepada Raka, maka sama saja ia akan menyakiti pria itu.             Dihadapan Gavin, Vanya kembali menangis sejadi-jadinya. Gadis itu benar-benar terpuruk, sementara Gavin tidak tau harus berbuat apa.ia menenangkan Vanya dengan cara menepuk pelan pundak gadis itu, sebenarnya ia tahu bagaimana caranya menenangkan seseorang yang sedih, namun ia segan melakukan itu kepada Vanya,lagipula ia masih selalu merasa bersalah kepada Airaa jika ia menyentuh gadis lain. Lucu juga padahal Vanya adalah istrinya saat ini berbuat lebih pun halal-halal saja namun Gavin masih terlalu mencintai Airaa, sulit baginya untuk menyentuh wanita lain.             Ponsel di tangan Vanya bergetar, sejenak gadis itu menghentikan tangisnya lalu memeriksa benda yang berbentuk segi panjang itu. Sebuah pesan singkat dari Raka yang memintanya bertemu di sebuah taman dimana mereka biasa bertemu. Vanya ingin menolak hanya saja ia tak tega,bagaimanapun juga semenjak Raka pulang dari luar negeri ia hanya baru bertemu dengan pria itu sekali,itupun Raka lah yang dengan sengaja datang ke kantor Vanya hanya untuk sekedar bertemu dengan gadis itu.Vanya berdiri lalu mengambil kunci mobilnya dari dalam kamar, ia tidak mengganti bajunya, ia pergi dengan tampilan yang acak-acakan seperti itu, sementara Gavin tidak bertanya Vanya mau kemana malam-malam begitu sebab ia tidak ingin terlalu jauh masuk kedalam hidup gadis itu, sudah cukup ia merepotkan Vanya,jangan sampai Vanya merasa tidak nyaman dan merasa beban hidupnya bertambah gara-gara Gavin yang terlalu mengurusi kehidupan pribadinya. Sesampainya di taman,Vanya langsung lari,menghambur kedalam pelukan Raka. Pria itu menyambut Vanya dengan pelukan hangat ia tahu betul bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja maka dari itu ia tidak langsung bertanya , ia membiarkan Vanya tenggelam kedalam pelukannya,merasakan ketenangan yang mungkin ia cari,setelah sekian lama Raka memeluk dan menenangkan Vanya yang sedang larut dengan kesedihannya. Akhirnya gadis itu mulai berani menatap wajah teduh milik Raka, sorot mata yang tajam namun seketika menjadi teduh ketika menatap mata Vanya, senyum tulus yang menjadi Favorite nya sejak bertahun-tahun yang lalu, tubuh tinggi nan tegap yang selalu menjadi tumpuan Vanya ketika berada di titik terendahnya. Raka kembali menarik Vanya kedalam pelukannya. Rasanya ia tidak tega melihat bulir-bulir air mata berjatuhan dari sudut mata gadis manis itu,Raka mengeratkan pelukannya kepada gadis itu lalu mengelus perlahan rambut Vanya. “Vanya kenapa...?” Tanya Raka dengan lembut,Tangis Vanya semakin menjadi-jadi. Lembutnya tutur kata Raka yang tidak akan ia temukan di dalam diri orang lain semakin membuatnya bingung harus berbuat apa,untuk jujur kepada Raka pun ia tidak bisa, ia takut pria itu akan sakit hati karena hal konyol yang tidak dibuat oleh saudaranya sendiri. Raka menunggu Vanya hingga gadis itu benar-benar menyelesaikan tangisnya. Vanya menarik napas dalam-dalam lalu duduk di sebelah Raka. Raka masih setia menunggu Vanya hingga gadis itu siap untuk membuka suara. “Aku lagi ada di titik terendahku” Ucap Vanya setelah sekian lama menangis. “Ceritain aja sayang... ada masalah apa?” “Aku belum bisa...” ucap Vanya lirih, kali ini ia bahkan tidak berani menatap mata Raka, rasanya terlalu berdosa ketika ia menatap manik mata pria itu.Raka memeluk Vanya, ia tau bahwa jika seseorang berada dalam titik terendah,orang itu harus di peluk setidaknya agar orang itu merasa nyaman. Sudah dua jam lamanya sejak kedatangan Vanya,dan selama itu pula mereka menghabiskan waktu  dengan saling diam. Raka tak masalah, baginya melihat Vanya saja sudah cukup,namun kali ini Raka tidak terlalu merasa tenang sebab Vanya datang dengan tangis di wajahnya.sebenarnya hal tersebut sudah ingin ia tanyakan kepada gadis itu sejak kedatangannya beberapa hari yang lalu, sebab Vanya tak seperti biasanya, gadis itu nampak tak bersemangat dan entah apa yang mengganggunya hingga ia datang dan menangis di hadapan Raka saat ini. “Aku antar pulang ya?” Tanya Raka “aku bawa mobil kok” “Gapapa aku bisa anterin kamu kok, biar mobilku ku tinggal disini aja , lagian aku gak tenang ngelepas kamu dengan keadaan mata sembab kayak begini” Vanya tidak bisa menolak Raka,gadis itu hanya mengangguk pertanda ia setuju. Raka berdiri laru mengulurkan tangannya kepada Vanya,gadis itu menyambutnya dengan genggaman hangat. Vanya ingin merasakan kehangatan yang ia cari lebih lama lagi. Mereka berdua berjalan menuju mobilnya terparkir lalu Raka mengantarkannya menuju kediaman lama Vanya. Vanya masuk setelah Raka meninggalkan tempat itu. Rasanya seperti orang asing yang sedang bertamu ke tempat baru, keluarganya menatapnya heran, begitupun dengan para pekerja yang tinggal di rumah itu. “Kak , kakak baik-baik aja? Kakak kenapa nangis?”  Tanya Dira, sedetik kemudian mama nya menghampiri Vanya, memeluk putrinya dengan erat, merasakan betapa tersiksanya Vanya dengan keadaan seperti ini. Lagi-lagi rasa bersalah menjalar disekujur tubuhnya terlebih ketika gadis dipelukannya itu menangis tersedu-sedu. “Vanya... maafin mama...” “Mama kenapa gak bunuh Vanya aja kemarin...” “Vanya...” Vanya melepaskan pelukan mama nya, lalu berjalan pelan menuju kamarnya. Malam ini ia memutuskan untuk menginap di rumah itu. Sementara Gavin sedang menunggu Vanya didepan pintu. Dengan harap-harap cemas ia menanti istrinya itu,berharap tidak ada sesuatu yang buruk menimpa Vanya. Empat jam lamanya ia menunggu gadis itu namun gadis itu tak kunjung datang, dengan memberanikan diri ia menelfon mertuanya, menanyakan apakah Vanya ada disana atau tidak. “Halo Assalamualaikum ma...” “Iya Gavin, waalaikumsalam kenapa? Maaf nyariin Vanya ya? Vanya nginap disini, katanya kangen rumah kalau mau nak Gavin bisa nyusul aja kesini” Alibi mama Vanya “O-oh iya ma,gapapa gak usah Vanya mungkin kangen banget sama rumahnya, gapapa kok besok Gavin mampir sekalian yaa” “Oh iya nak, maaf ya Vanya udah bikin kamu khawatir” “Gapapa ma, saya tutup ya” Gavin mengakhiri tefonnya dengan perasaan yang lega,setidaknya gadis itu berada di tempat yang aman,dan dalam keadaan sehat. Ia lantas kembali ke kamarnya lalu beristirahat, ternyata memulai sebuah rumah tangga dengan orang yang tidak ia cintai sangatlah melelahkan, perasaannya tersiksa, terlebih ketika melihat Vanya yang jauh lebih tersiksa dibanding dirinya. Hari ini sudah hari kedua Vanya tidak bekerja, ia berdiam diri di kamarnya, mendengarkan lagu dengan volume full, tampilannya bisa dibilang sudah tidak manusiawi lagi, namun ia tidak peduli. Ia jauh lebih memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini. Saat sedang asyik mendengar lagu seseorang tiba-tiba membuka pintu kamarnya “Kak dicariin tuh” Ucap Dira yang hanya menunjukan setengah badannya dari balik pintu “siapa?” Tanya Vanya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN