Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah Pak Rendra keluar dari rumahku. Lelaki itu, entah sejak kapan aku berani melawan kata-katanya. Ah, apakah hanya di luar kantor saja? Lihat saja besok, pasti dia kembali menindasku dengan memberikan setumpuk pekerjaan.
Aku berbaring di kasur dan menyalakan televisi. Hampir semua siaran televisi menampilkan berita tentang pernikahan seorang direktur di sebuah perusahaan besar dengan seorang model cantik. Pernikahan megah yang dihadiri juga oleh kalangan artis dan beberapa pejabat.
Tak ingin terus menerus membiarkan air mataku mengalir demi lelaki yang tak pernah menganggapku ada di hadapan orang lain, aku pun mematikan televisi dan memilih untuk menghirup udara segar.
Segera aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela kamar. Kubuka tirai dan jendela kaca itu. Udara segar alami pun perlahan masuk ke kamar dan menyapu wajahku.
Aku memejamkan mata, merasakan nikmatnya udara malam ini. Lalu kupandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Bulan yang bersinar terang menyinari malam.
Baru kusadari, hal sederhana seperti ini saja mampu membuatku sejenak melupakan masalah yang menyesakkan d**a. Mengapa selama ini aku abai akan keindahan alam?
Cukup lama aku berdiri, menatap keindahan langit malam dengan hiasannya, serta merasakan udara yang semakin malam semakin terasa dingin.
Ponselku berbunyi. Sebuah notifikasi pesan via w******p masuk. Aku pun segera menutup kembali jendela dan tirai, lalu mengambil ponsel dan duduk di tepi ranjang.
Tertera sebuah pesan teratas dari sosok yang wajahnya memenuhi pemberitaan hari ini.
Devian? Mengapa dia mengirimiku pesan? Bukankah seharusnya dia menghabiskan malam pertama bersama Bella?
Penasaran, segera kubuka pesan singkat darinya.
[Aku tidak melihatmu hari ini. Apa kamu sengaja tidak datang?]
Pesan dari Devian membuat luka di hatiku yang sedikit terobati, kembali menganga dan menimbulkan rasa nyeri.
Aku datang, Dev. Aku datang. Tapi, aku tak sanggup melihatmu bersanding mesra dengan wanita lain dengan pakaian pengantin.
Ingin kukirim isi hatiku itu melalui pesan untuk Devian. Namun, setelah selesai mengetik, aku kembali menghapusnya.
[Iya, aku tidak datang.]
Hanya itu pesan yang kukirimkan padanya. Aku terpaksa berbohong padanya untuk menutupi hatiku yang terluka parah.
[Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.]
Tanpa sadar air mataku mengalir setelah membaca pesan Devian yang kedua.
Aku tidak baik-baik saja, Dev. Aku sakit ....
Dengan tangan yang gemetar, aku ketik balasan untuknya.
[Mengapa kamu mengirimi chat padaku? Bukankah ini malam pertama kalian?]
[Iya. Tapi aku merindukanmu.]
Pantaskah aku mendapatkan rasa rindumu, yang kini telah menjadi suami orang, Dev?
Aku tak mampu lagi membalas pesannya. Tak lama, Devian kembali mengirimi pesan ke w******p-ku.
[Mengapa kamu tidak membalas, Ay?]
[Ini malam pengantinmu bersama Bella, Dev. Datangilah istrimu. Jangan ciptakan malam pertama yang buruk untuknya.]
Setelah pesan terkirim, aku segera mengaktifkan mode pesawat agar tak menerima pesan darinya lagi malam ini. Dan aku berusaha untuk tidak peduli terhadap apa yang akan Devian pikirkan tentangku.
Kuhapus air mata yang masih tersisa di pipi. Kupejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Aku harus tenang. Aku harus kuat. Ini bukan akhir dari segalanya. Ini bukan akhir dari hidupku.
***
Awal pekan yang cerah. Cahaya matahari masuk ke ruang kamar begitu aku membuka tirai dan jendela.
Aku sudah siap berangkat kerja. Hati yang terluka tak boleh membuatku berhenti produktif. Sebab, aku hidup sendiri dan harus berjuang sendiri demi hidupku.
Setelah aku membuka pintu depan, di saat yang bersamaan Pak Rendra juga baru keluar dari apartemennya.
“Apa sudah sehat?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Terima kasih,” ucapku.
“Untuk apa?”
“Sudah peduli pada saya.”
Lelaki itu hanya diam dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, lalu berjalan mendahuluiku.
Aku mengikutinya hingga kami menaiki lift yang sama. Hanya ada kami berdua di dalam lift.
Di dalam lift, tak seorang pun dari kami yang bersuara. Suasana terasa begitu canggung. Tak seperti semalam, saat ia datang ke rumahku dan membuat hubungan kami lebih mencair.
Sesekali aku melirik ke samping, melihat Pak Rendra yang mematung dengan pandangan yang tampak kosong. Aku melihat ekspresi yang tak biasa dari raut wajah lelaki itu.
Apakah dia sedang ada masalah?
Lift sudah sampai di lantai dasar. Ia lebih dulu keluar dari lift. Masih diam seribu bahasa. Tanpa basa-basi Pak Rendra langsung masuk ke mobilnya dan melaju meninggalkan gedung apartemen kami.
Benar-benar manusia aneh. Sepertinya dia mengalami mood swing yang parah.
Aku pun tak lagi memikirkannya dan mengemudikan mobilku sendiri ke kantor.
Di kantor, Pak Rendra bersikap seperti biasa. Dingin dan menegangkan. Ruangan staf keuangan juga tak ada perubahan selama ia di sini.
Lesti yang berani menegur Pak Rendra di luar kantor pun, di sini ia mengunci mulut dan fokus dengan pekerjaannya.
Aku juga melakukan hal yang sama, meski sesekali melirik meja manajer.
‘Bruk!’ Aku nyaris tersentak saat sebuah map diletakkan dengan kasar di mejaku. Sontak aku mendongak melihat wajah yang tampak sedang tidak senang itu.
Sejak kapan ia berjalan ke sini? Aku sama sekali tak mendengar langkah kakinya. Apa karena aku terlalu fokus bekerja?
“Selesaikan itu hari ini juga,” perintahnya. Lalu berjalan kembali ke meja kerjanya.
Aku melongo melihat tumpukan berkas di dalam map. Astaga! Aku biasa menyelesaikan ini dua hari. Kenapa dia selalu menyuruhku mengerjakan sesuatu dengan waktu yang sangat singkat? Sungguh tidak manusiawi!
Sebagai bawahan, aku tidak bisa menolak atau protes, kecuali aku ingin mendapat surat teguran.
Aku hanya bisa mendesah, lalu bekerja secepat kilat dan tetap fokus agar tidak melakukan kesalahan.
Jam istirahat juga aku pangkas hanya untuk mengisi perut, lalu kembali ke ruangan demi laporan yang diminta Pak Rendra.
Ah, sungguh menyebalkan! Aku harus lembur lagi malam ini. Semua rekan-rekanku di divisi ini meninggalkan ruangan. Hanya tinggal aku dan Pak Rendra saja yang masih berjibaku dengan laporan.
Ruangan ini semakin terasa sepi dan mencekam di malam hari. Apalagi hanya ada kami berdua di ruangan ini.
Pak Rendra terlihat sangat fokus menatap layar laptopnya. Entah apa yang dia lihat sampai dahinya berkerut dan wajahnya terlihat tegang seperti itu.
Tepat pukul 20.00 pekerjaanku selesai. Aku meluruskan tangan dan kaki untuk melemaskan otot-otot yang terasa kaku. Lalu berjalan ke meja manajer.
“Pak, ini laporannya,” ucapku sambil meletakkan map di meja lelaki itu.
“Terima kasih,” ucapnya tanpa memandangku.
Aku pun kembali ke mejaku untuk mengambil tas dan bersiap-siap untuk pulang.
Kantor sudah sangat sepi. Aku sedikit takut jika harus lembur tanpa yang lain. Namun, demi pekerjaan, semua perasaan itu harus kubuang jauh-jauh.
Aku menekan lift menuju lantai satu. Saat lift berada di lantai dua, lampu tiba-tiba mati dan lift berhenti.
Oh, tidak! Kenapa ini? Aku sangat ketakutan.