Bagian 5

1080 Kata
"Mas_ kita baru pulang loh, masa mas mau langsung pergi." Ucap Elin setengah kesal saat melihat sang suami mengemas pakaiannya ke dalam koper. Padahal mereka baru tiba di rumah setengah jam yang lalu. Rian menghela napas pelan lalu menatap Elin. "Kenapa hm? Bukannya kita sudah liburan." Elin menggeleng. "Kita kan ke rumah mama dan itu bukan liburan, mas." Rian menyerngit."Kamu kan yang ingin kita ke sana." Elin menggeleng lalu perlahan bergerak memeluk tubuh sang suami. "Tapi mas juga bohong, katanya kita di sana dua minggu tapi setelah sepuluh hari mas sudah mengajak kami pulang." Rajuk Elin membuat Rian menyurai rambutnya lalu melepas pelukan sang istri. "Maaf ya_ tapi ada pekerjaan yang harus mas selesaikan dan kali ini benar-benar serius." Ucap Rian membuat Elin akhirnya mengangguk. "Tapi janji ya, mas kabarin aku terus dan jangan lama perginya. Ingat! Ada aku dan anak-anak kita di rumah yang selalu nungguin mas pulang." Ucap Elin membuat Rian mengangguk lalu kembali mengemas pakaiannya ke dalam koper. Setelah selesai, Rian segera bersiap untuk pergi. Ia menyeret kopernya keluar dari kamar. "Papa mau pergi lagi?" Rian berhenti lalu menatap putri sulungnya yang berdiri di depan pintu. "Iya sayang." ucap Rian lembut sembari mengelus kepala Lia. "Berapa lama?" Tanya Lia kembali membuat Rian berjongkok dihadapan putrinya itu. "Hanya sebentar_ papa janji akan pulang dan membawa banyak mainan untuk Lia dan Adel." ucap Rian memperhatikan wajah putrinya yang begitu mirip dengan Elin. Lia mengangguk senang lalu menarik lengan sang ayah. Namun Rian malah fokus pada salah satu jari putrinya yang terluka. "Ini apa Lia?"Tanya Rian memperhatikan jari putrinya. Lia menunjukkan jarinya. "Kena duri bunga mawar mama, pa. Tapi nggak papa kok, ini kan cuma luka kecil." Rian berdecak lalu mengeluarkan saput tangannya."Mama kamu itu, padahal papa sudah minta agar bunganya dibuang saja." Kesal Rian sembari membersihkan luka Lia dengan saput tangannya. Lia tersenyum senang. Papanya memang jarang di rumah tapi tetap peduli jika putri-putrinya terluka. Karena itu, ini adalah ketiga kalinya ia sengaja terluka untuk mendapatkan perhatian kecil seperti ini dari papanya. "Mama sama Adel, di mana?" Tanya Rian membuat Lia menunjuk ke arah dapur. Rian menyimpan saput tangannya kemudian menggandeng Lia menuju dapur. "Ma, tangan Lia ter__" "Engh_ Wahh mama masak sup daging, itukan makanan kesukaan papa." Teriak Lia memotong ucapan Rian. "Lia_ jangan teriak!" Tegur Elin membuat Lia diam dengan wajah sendu. "Maaf ma_" Rian tersenyum lalu mengelus kepala Lia. "Duduklah! Kita makan bersama." Elin segera menyajikan makanan untuk suaminya sedang Rian hanya diam. Tadinya ia hanya ingin pamit tapi saat melihat Lia dan Adel ia berubah pikiran dan memutuskan untuk makan bersama. Rian menyendok makanan sembari memperhatikan kedua putrinya yang makan dengan lahap. Sangat lahap malah seolah mereka tidak pernah makan enak. "Papa mau langsung pergi?"tanya Elin begitu Rian selesai makan. "Iya ma." Sahut Rian lalu melangkah menuju kedua putrinya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang. "Untuk jajan es cream."Ucap Rian lalu mencium kening kedua putrinya. "Terima kasih pa."Kompak keduanya. Rian berbalik."Mia mana, ma?" tanya Rian. "Mia lagi sama bibi, pa."Jawab Elin sembari menyalami suaminya. Rian mengangguk."Baiklah_ papa pergi." Ucap Rian lalu melangkah mengambil koper miliknya kemudian berjalan menuju pintu diikuti oleh Elin. "Hati-hati pa, cepat pulang dan ingat jangan nakal." Pesan Elin yang diangguki oleh Rian. Di dalam mobil, Rian segera menghubungi Agus dan memberitahu jika ia sedang menuju ke sana. Rian sengaja datang sendiri dan mendengar hasil pemeriksaan tanpa Meylia. "Apa kau membawa apa yang ku minta?" Rian menyerngit. "Apa?" "Sampel salah satu putrimu." Rian diam kemudian teringat pada saput tangan miliknya yang dipakai untuk membersihkan darah Lia. Sungguh suatu kebetulan, tanpa usaha ia bisa mendapatkan sampel darah Lia juga setelah sebelumnya ia berhasil mendapatkan rambut Adel. "Iya. Sebenarnya untuk apa sampel putriku. Apa ada sesuatu?" "Aku akan menjelaskannya saat kau datang." "Baiklah" Tuut Rian menghela napas lalu mencengkram setir kuat. Sampel Lia dan Adel untuk apa lagi selain tes dna. Ia tidak bodoh, segala kemungkinan sudah menyebar di otaknya. Karena itu ia memutuskan datang sebelum dua minggu dan tanpa Meylia. Segala kemungkinan selalu ada dan karena itulah ia harus menyiapkan antisipasi dari kemungkinan itu. Setelah melalui perjalanan yang memakan waktu hampir empat jam, Rian tiba di depan rumah sakit. Ia keluar dari mobil dan bergegas masuk menuju ruangan sahabatnya. Ceklek "Kau datang sendiri?" Tegur Agus begitu melihat sahabatnya membuka pintu dan tanpa istri mudanya. Rian mengangguk lalu berjalan masuk setelah menutup pintu. "Aku ingin mendengar penjelasanmu dan aku rasa tidak baik jika Meylia mengetahui." Agus mengangguk mengerti lalu berdiri kemudian melangkah untuk mengambil sesuatu. "Kau bisa pulang sekarang!" ucap Agus pada sang asisten yang seharian ini menemaninya bertugas. "Baik dokter." Setelah kepergian asistennya, Agus mendekat lalu memberikan hasil pemeriksaan kepada Rian. "Maaf jika aku harus mengatakan ini. Tapi__tidak ada yang salah dengan rahim ataupun kesuburan istrimu. Meylia__ dia normal dan bisa mengandung." Deg Rian menatap kertas di depannya lalu menarik napas dalam. "Lalu, apakah aku yang__" Rian tidak melanjutkan perkataannya namun ia menatap sahabatnya itu menanti jawaban. Agus perlahan mengangguk. "Dengar Rian_ jika kau mau kita bisa melakukan tes sekali lagi. Siapa tahu ada__" "Tidak. Tidak perlu." Rian mengepalkan tangannya lalu berdiri dan berniat ingin pergi namun Agus dengan cepat mencegahnya. "Dengar Rian, jangan gegabah!" Ucap Agus menenangkan kemudian menarik tangan sahabatnya itu untuk masuk ke ruang istirahatnya. "Aku harus memberi pelajaran pada Elin. Wanita itu_ ck! Dia menipuku."Geram Rian kemudian memukul sebuah pas bunga hingga jatuh dan pecah. Agus menggeleng. "Hasil pemeriksaan tidak menyatakan kau tidak bisa memiliki anak. Jadi masih ada kemungkinan kalau mereka adalah anak-anakmu." Ucap Agus menjelaskan namun Rian langsung mendengus lalu mengeluarkan dua barang dari kantong celananya. "Ini adalah sampel darah dan rambut yang kau minta. Lakulan tes segera!" Titah Rian membuat Agus mengangguk. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu baru setelah itu kita bicara." Ucap Agus lalu melangkah keluar. Sedangkan di dalam ruangan Rian langsung melampiaskan amarahnya dengan memukul dan meninju apapun yang masuk dipandangannya. Buukk Brakk Prankk "Ck! Takdir sialan" Maki Rian lalu meremas rambutnya. Jadi selama ini ia yang tidak bisa memiliki anak, bukan Meylia. Apa yang akan Meylia lakukan jika tahu. Apa wanita itu akan meninggalkannya. Seandainya Meylia yang bermasalah maka Rian tidak akan peduli, ia mencintai Meylia dan tidak akan pernah meninggalkan wanita itu. Tapi jika Meylia tahu ia yang bermasalah, apa wanita itu akan tetap bertahan disisinya. 'Tidak. Meylia tidak boleh tahu. Aku bisa menerima pengkhianatan Elin tapi tidak bisa jika harus ditinggalkan Meylia. Lagipula seorang anak tidak begitu penting dibanding keberadaan Meylia' Batin Rian lalu berdiri kemudian mengatur napasnya yang kacau karena amarah. Ia harus bicara dengan Agus dan meminta sahabatnya itu untuk__ Berbohong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN