Seharian ini, aku sengaja tak mengaktifkan ponselku. Lagian, paket data internetku juga sudah habis. Harus isi lagi.
Kukira, Fajar tak bisa mengajakku, ke reunian teman SDnya. Buktinya, setelah sholat Isya. Tiba-tiba dia nongol di teras rumah. Gedor-gedor pintu, persis seperti Bang kredit Bakri.
"Dug dug dug dug dug dug dug! Mas Bro. Bukain pintu. Mau numpang pipis!" teriak Fajar dari luar.
"Asem. Numpang pipis ke rumah aku. Dasar anak monyet!" gerutuku sambil geleng-geleng kepala sendiri.
Belum kupersilahkan masuk, Fajar langsung nyelonong sambil megangin burung perkutut dibalik celana jeansnya itu.
"Dasar cah gemblung iki!" kataku meneriaki Fajar yang berlalu ngeloyor ke kamar mandi belakang.
"Mas. Bro. Kita go yok!" teriak Fajar lagi dari dalam kamar mandi.
Aku diam saja tak menyahut. Pura-pura nggak dengar saja. Karena aku memang kurang hobby datang ke acara-acara reuni.
Lagian, kalau acara reuni SD kayak gitu, paling yang cewek-ceweknya sudah pada jadi emak-emak dan sudah punya suami, tentunya.
Jadi, ngapain juga, ngincer emak-emak yang udah pada punya suami. Aku ini kan, masih perjaka tong tong nih!
"Woi Mas Bro. Siap-siap dong. Kita cari cem-ceman harus dandan yang keren!" teriak si gemblung itu lagi memerintahkan aku bersiap untuk ikut ke reunian dia.
Tak lama dia nongol, sambil mengencangkan ikat pinggangnya.
"Ayolah Mas Bro. Kutemani cari cem-ceman di acara itu. Pasti banyak cewek-ceweknya," bujuk Fajar dengan nada meyakinkan.
"Ah. Nggaklah. Masa, kamu tega ngenalin aku ke emak-emak. Cari in yang masih fresh perawan tingting dong!" celetukku dengan nada protes.
"Hahahahaha. Yang datang emang biasa banyak emak-emaknya. Tapi, jangan salah. Anak gadisnya suka ikut, lho!" bujuk Fajar untuk kesekian kalinya.
"Ikutan deh Mas Bro. Biar nggak nyesel. Tolongin aku juga Mas Bro. Karena aku nggak mungkin sendiri ke sana!" katanya memelas.
"Tapi, ada syaratnya. Kalau aku bosan, aku boleh pulang duluan ya nanti." pintaku.
Fajar menunjukkan jempolnya.
Tanda setuju.
"Oce oce Mas Bro," celetuknya.
Jawaban Fajar tak bisa kuelak lagi, karena aku salah strategi. Mungkin, kalau aku alasan agak demam, pasti dia nggak memaksaku untuk menemani dia.
Tapi, ya sudahlah. Hitung-hitung amal ibadah, sudah menolong orang. Katanya, Allah akan memudahkan urusan kita kalau kita menolong orang.
Aku yang semula mati-matian menolak, akhirnya luluh juga dengan rayuan pulau seribu Fajar.
"Mas Bro jangan lupa semprotnya yang banyak ya. Biar wanginya semerbak. Terus emak-emak itu pada klepek-klepek. Hihihi!" kata Fajar memberi saran.
"Sial. Jadi aku ini mau kamu jadikan umpan untuk emak-emak?! Huek!Huek!Huek!" kilahku dengan nada protes sambil buka mulut, bergaya kayak orang muntah.
Sebenarnya, aku penasaran. Seperti apa acara reunian. Kata teman-teman, reunian suka membangkitkan kenangan lama yang indah-indah. Hmm....apa iya?!
Fajar terlihat gelisah. Bolak-balik dia melirik jam tangan casio hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Yuk Bang Bro. Gerak. Jam 19.30 wib, acara dimulai," desak Fajar.
"Halah...sebentar Bro, sebentar Mas Bro. Sekarang Bang Bro. Nggak jelas Fajar ini," celetukku.
"Kita santai-santai aja dong. Jangan buru-buru, kayak dikejar setan alas aja. Lagian, paling telat-telat acaranya. Reunian itu kan cuma ketemuan gitu ya? Habis itu balik ke rumah masing-masing. Terus, yang tak kalah noraknya, reunian itu ajang pamer kan?" kataku sok tahu.
"Waduh. Nggak juga lah Mas Bro!" sergah Fajar.
"Yang pasti buat silaturrahim sih Mas Bro," jelas Fajar.
"Tumben bijak kayak ustad gitu ngomongnya. Biasa, ngomongnya kayak bebek kejepit!" kataku.
"Bebek kejepit? Wkwkwkwkwkkwwk!!" tanya Fajar, dengan nada heran.
Tak terasa, adzan isya berkumandang. Ada alasanku untuk sedikit memperlambat rencana Fajar pergi ke acara reunian itu.
"Yah. Kalau begitu tunggu selesai adzan ya," kataku.
"Baiklah Mas Bang Bro," sahut Fajar. Terlihat, raut wajahnya sedikit menahan kecewa. Tapi, dia memang sepertinya tak bisa mengelak, karena memang masih berkumandang adzan isya.
Kalau dia nekat jalan, nanti kuwalat.
Semenit, setelah adzan isya selesai dikumandangkan, mereka diam sejenak. Tak berdialog.
Bukan ngajak gerak. Aku sholat sebentar. Fajar masih melongo melihatku ngeloyor ke toilet, nyalakan kran, ambil air wudhu. Sambil garuk-garuk kepala. Dia tak bisa berkata-kata lagi.
"Tunggu ya Bang Bro Fajar!" kataku minta izin.
"Tumben sholat." kata Fajar lagi.
"Sttttt....biar dapat jodoh," kataku, sambil menempelkan jari telunjukku tangan kananku, ke bibir.
Subandi garuk-garuk kepala lagi. Tapi, tak lama dia juga mengekori aku, ikut sekalian sholat isya.
"Kalau kamu doanya apa, setelah selesai sholat?" tanyaku iseng.
"Doaku, cuma satu. Ya Allah, beri aku mobil," kata Fajar sambil menengadahkan tangannya ke atas.
"Hmmm dasar matre lu!" sindirku.
"Iya bos, aku butuh mobil saat ini. Supaya istriku semakin sayang sama aku," katanya dengan mimik wajah serius.
"Oalah. Punya bini kok matre. Capek deh," sahutku.
Dalam hati, aku juga takut kalau nanti dapat istri matre. Bisa makan hati, dan mati mendadak, kalau sampai dimintain mobil. Apalagi, gajiku sebagai honorer, tidaklah mungkin untuk membeli mobil.
Dalam hitungan sepuluh menit kemudian, aku dan Fajar selesai sholat isya.
Aku cek lagi semua lampu kamar, teras dan juga dapur. Untuk dapur, aku matikan. Karena tidak ada aktifitas. Lampu kamar mandi, tetap aku nyalakan.
Handphone dan rokok, kuselipkan di jaket jeansku. Aku mengenakan kos oblong putih kupadukan dengan jaket dan celana jeans, sandal kulit merk Bata.
Tiba-tiba Fajar memegang bahuku, dari belakang. Lalu membalikkan tubuhku. Jadinya kami dalam posisi berhadap-hadapan.
Dia pelototin penampilan aku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia berdehem...
"Ehemm!" Lalu batuk dibuat-buat.
"Uhuk! Uhuk!"
"Ada yang salah ya dari penampilanku?" kataku sembari memeriksa penampilanku sendiri.
"Nggak ada, Mas Bro. Good! Coba in deh Mas Bro, tiap hari steady kayak gini. Biar kece dan keren!" saran Fajar, lalu melepas bahuku yang dari tadi dicengkeramnya.
"Ah. Kamu ini ada ada aja. Capeklah kalau saban hari harus tampil kayak begini. Enak tuh, pakai kaos oblong, celana pendek. Bagus lagi, nggak pakai baju sih, biar nggak panas!" jelasku panjang lebar.
"Oalah. Dasar wong gemblung. Diajarin biar dapat cewek, kok yo susah toh!" jawab Fajar, sambil menepuk jidatnya sendiri.
Aku hanya terkekeh saja meresponnya.
"Mas Bro. Nanti kalau disana jangan jaim jaim ya!" pesan Fajar.
"Apaan jaim itu?" tanyaku balik pura-pura tak tahu artinya.
"Halah. Sampaian ini Mas Bro. Masa iya nggak tahu jaim. Jaga imej maksudnya," jelas dia.
"Yo wis toh. Jangan dibahas lagi soal aku gimana gimana. Pokoknya kita go saja ke sana. Kan kamu minta ditemani," kataku sambil menepuk pundaknya. Seketika, Fajar melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Motor besar Tiger itu pun dalam hitungan setengah jam, sampai di lokasi acara reuni.
Rasa tak percaya pada diriku, mulai menyerang. Aku jadi ingin cepat-cepat berlalu dari acara ini. Aku nggak tahu kenapa. Selama ini aku kurang suka dengan keramaian. Aku lebih nyaman di tempat sepi. Pikiran tenang dan rasanya nyaman banget jauh dari hiruk pikuk di luar sana.
"Kang, gimana kalau aku cabut dulu. Perutku sakit," kataku beralasan.
"Nanti, kalau sudah selesai acaranya, aku jemput," kataku lagi.
Fajar lagi-lagi cuma bisa garuk-garuk kepala. Tak bisa membantah permintaanku.
"Mas Bro. Kan disini ada toiletnya. Plisssss kumohon. Masa iya aku sendiri. Ditinggal kayak orang hilang,"
Akhirnya aku nyerah dan terpaksa ikut apa kata Fajar. Soalnya aku bingung juga mau alasan apa ya. Alasan sakit perutku juga tak membuat Fajar melepaskan aku. Dia terus memohon agar aku menemaninya di acara reunian itu.
Seumur-umur, baru kali ini, aku masuk ke orang-orang reunian.
"Duh sial. Terpaksa ikutan sampai selesai nih, kalau kayak gini caranya," gerutuku dalam hati.(***)