Tertipu

1126 Kata
Diajak ke rumah Subandi, aku nggak nolak. Kata dia, orang rumahnya lagi masak soto ceker banyak. Aku pun dengan senang hati. Tapi, di balik ajakan Subandi, dia berencana mengajak aku ke rumah Hira. Aku berusaha menolak. Kubilang sama Subandi kalau aku ada urusan lain. "Hmm. Sebentar saja, plisss. Temani aku ambil barang, besok pagi aku butuh pakai barang itu," katanya, memelas padaku. Terpaksa aku bersedia menuruti permintaannya. Di jalan, aku biasa-biasa saja tak ada yang kupikirkan. Subandi lagi-lagi membahas perempuan itu. Katanya cewek itu jago ngaji. Aku diam saja, meski segudang kehebatan cewek itu diceritakan Subandi ke aku. "Menurutmu, Hira gimana Mas Bro?" tanya Subandi. "Apa sih. Aku nggak dengar apa yang kamu bilang," kataku teriak. Karena memang di atas kuda besi, susah mendengar percakapan Subandi, dengan baik. "Hira, cantik kan Mas Bro?!" tanya dia lagi. Sekali lagi aku pura-pura nggak dengar apa yang dia katakan. "Apa?! Nggak dengar!" kataku lagi. "Ah Mas Bro ini pura-pura nggak dengar," protes Subandi. *** Subandi ini menipu aku. Kurang ajar dia. Katanya mau ambil barang. Tak tahunya, dia memang sengaja mengajak aku ke rumah cewek ini. :Dasar anak monyet dia!" gerutu dalam hati. "Tiba-tiba ibunya Hira muncul. Dia sepertinya begitu senang menyambut kedatangan aku dan Subandi. "Eh, Nak Budiman sama Nak Subandi," sapa perempuan setengah baya itu, padaku dan Subandi. Bersamaan dengan itu, Hira bangkit dari sofa tempat dia duduk, lalu masuk ke dalam. "Buatin teh s**u ya, Nduk, Mas Mas ini," perintah perempuan yang kental dengan logat jawanya itu. "Inggih, Bu," kata Hira, berjalan sedikit membungkuk saat melewati ibunya. "Anak gadis satu itu jarang mau kelayapan. Pulang ngajar dari sekolah, dia balik ke rumah. Jadi maklum, dia itu kurang pergaulan," cerocos ibunya. "Terus aku harus bilang wow, gitu?" gumamku dalam hati. Apa urusannya coba, cewek itu suka kelayapan apa nggak. Kan aku bukan siapa-siapa dia. Tiba-tiba Subandi menginjak kakiku di bawah meja. Sedikit kaget, tapi tak lama setelah itu, normal lagi, jantungku. "Tapi, Hira itu jago masak, lho Nak Subandi, Nak Budiman," kata ibunya Hira lagi. "Masakan andalan dia, yang rasanya super nikmat, masak rawon," imbuhnya lagi, penuh berapi-api. Lama-lama, aku merasa risih dengan cerita ibunya yang macem-macem itu. Sudah seperti sales-sales produk kecantikan yang mempromosikan barang dagangannya, supaya laku. Kali ini, aku yang injak kaki Subandi. Aku berharap, dia paham dengan kode yang aku berikan tadi. "Apaan sih Mas Bro!" celetuknya. "Aku ada janji sama orang," kataku setengah berbisik. "Makan siang di sini saja ya. Nak Subandi dan Nak Budiman. Nanti biar dimasakin Hira." kata ibu itu dengan ramah. "Hehehe," kataku. Begitu juga Subandi cuma cengar-cengir. Tapi, tak lama Subandi beralasan mau ada janji sama kawan di kantor. Jadi, aku dan Subandi minta undur diri. "Lain kali, kami pasti makan disini ya Buk. Bukan sekarang. Soalnya saya dan Mas Budiman, ada janji sama kawan, ketemu selepas dzuhur. Jadi, mohon maaf ya Buk, jangan marah," kata Subandi beralasan. "Wah. Saya padahal udah senang tadi, pas datang. Niatnya mau masak sama Hira. Tapi, ya sudah. Lain waktu harus mau ya. Nggak boleh nolak," kata perempuan itu lagi, dengan nada kecewa. Aku dan Subandi hanya mengangguk, sembari melempar senyum. Tak lama, aku buru-buru menstater motor gedeku, dan berlalu dari rumah itu. Subandi sialan ini rupanya menipuku. Sepanjang perjalanan pulang, dia ngoceh lagi. Entah apa yang dia katakan. Aku tak peduli. Kali ini, aku emosi berat. Karena Subandi sudah menipuku. "Lain kali kalau mau ke rumah cewek itu. Maaf kamu saja ya. Aku nggak ikut," kataku dengan nada kesal. "Marah ya Mas Bro sama aku. Sebelumnya aku minta maaf, karena memang sengaja aku ajak Mas Bro ke rumah cewek itu. Supaya Mas Bro lebih akrab sama dia," jelas Subandi penuh diplomasi. "Ah. Sudahlah. Cukup. Nggak usah libatkan aku lagi dalam hal ini." kataku lagi penuh emosi. "Maafin ak Mas Bro. Sumpah aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma ingin Mas Bro bahagia," kata Subandi penuh penyesalan. Kulihat, raut wajah Subandi sedih. Mungkin dia merasa bersalah. Tapi, aku memang belum tergerak untuk jatuh hati lagi. Hatiku masih terpaut dengan Sabrina. Padahal, aku sadar, dia nggak bisa lagi aku miliki. *** Aku kembali terngiang-ngiang sama perkataan Subandi tempo hari. Mungkin, dia memang benar, melakukan semua itu demi aku. Tapi, aku menyambut kebaikannya tak sepenuh hati. Dia mati-matian mencarikan sosok perempuan untuk jadi kekasih hatiku. Harusnya aku berterimakasih padanya. Bukan marah-marah nggak jelas. Baru kusadari, Subandi memang sahabat suka dan duka. Sahabat yang paling mengerti aku. Duh gusti. Aku jadi merasa bersalah. Sudah berbuat dzalim pada Subandi. Harusnya aku bangga punya teman seperti dia. Tak menyia-nyiakan kebaikannya. Besok, semoga saja aku nggak lupa minta maaf, atas sikapku yang tak semestinya ini. "Dreetttt! Dreeetttt.....!" Ponselku bergetar. Kulihat pesan masuk w******p dari Subandi. "Mas Bro, maaf ya. Aku nggak ada maksud apa-apa, yang kemarin." Sudah kesekian kalinya Subandi memelas padaku, minta maaf. Tapi aku belum menjawabnya. Aku sengaja. Nantilah. Pikirku. Sebaiknya aku minta maaf langsung sama dia. Nggak mau lewat w******p. Bagaimanapun, Subandi itu, sahabat terbaik aku. Aku nggak boleh kehilangan orang sebaik dia. Kalau aku musuhi dia, sama artinya aku mendzalimi dia. Subandi orang paling baik dan tulus, berteman dengan aku. *** Tanpa menghubungi dia lebih dulu, aku nongol di depan teras rumah kontrakannya. Sebagai PNS yang sudah bertugas 10 tahun, rumahnya masih mengontrak. Itu tandanya, dia PNS yang jujur dan tak neko-neko (macem-macem). Siang itu, hari Minggu. Aku tahu Subandi lebih banyak di rumah. Temannya, yang suka ngajak jalan, aku tahu, paling cuma aku. Istrinya, yang pertama kali menyambut kedatanganku. Ya. Namanya Ratna. Dia memanggil Subandi, dari ruang tamu. "Mas. Ada tamu nih. Mas Budiman," teriak Ratna. Dulu, Subandi mengenal Ratna, dari aku. Ya. Aku dulu Mak Comblangnya. Terdengar suara sahutan, dari dalam. "Iya, tunggu. Baru siap mandi," sahut Subandi. Hanya dalam hitungan detik, dia muncul di hadapanku. Dia mengucek-ngucek rambutnya yang basah, habis keramas. "Eh Mas Bro. Maaf. Lagi mandi tadi," katanya, memulai percakapan. Aku meletakkan buah semangka bawaanku, di atas meja. Subandi buru-buru menyambutnya dengan ceria. "Bun. Kita dibawain oleh-oleh ni sama Mas Budiman. Tolong potong-potongin ya. Kita makan bareng-bareng semangkanya," kata Subandi yang dibarengi sama Ratna. Dia mengambil semangka bawaanku tadi, dan dibawanya masuk ke dalam. Beberapa menit kemudian, Ratna membawakan secangkir teh dan semangka bawaanku tadi, yang sudah dipotong-potong. Tak sabaran, Subandi langsung mencomotnya sepotong. Padahal, nampan berisi dua cangkir teh dan semangka yang sudah dipotong-potong itu, belum mendarat di meja. Melihat itu, Ratna hanya tersenyum tipis. "Hmmm. Segar," kata Subandi dengan bibirnya yang dimonyongkan ke depan. Aku hanya mengawasinya, sembari menyapukan pandangan ke ruang tamu. Dinding rumahnya bersih. Nggak ada foto atau hiasan dinding yang melekat di sana. Tak banyak perkakas ruang tamunya. Hanya ada kipas angin. Melihat aku melirik kipas angin itu, Subandi gerak spontan, menyalakannya. Anginnya buat aku serasa ingin merebahkan badan di sofa itu. Tapi, nggak mungkin. Nanti, pasti Ratna menilaiku, sebagai tamu yang nggak sopan.(***)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN