Memang benar, ya. Cinta saja tak cukup untuk menjadi alasan bertahan dalam keadaan yang rumit.
Ingat saat Jay dan Mika pergi berbelanja kebutuhan rumah minggu lalu? Saat Jay mengambil banyak daging sapi, lobster, dan juga ikan-ikanan yang katanya akan dijadikan camilan untuk dia makan bersama dengan teman-temannya?
Ya, rencana itu tidak terlaksana dengan baik.
Salah satu rekan Jay, Tara, ternyata ada pekerjaan mendadak. Jadwal syuting iklan laki-laki itu mendadak dimajukan jadi minggu itu, yang seharusnya masih dua minggu lagi. Jadi, daripada memilih untuk melaksanakan pesta itu hanya berdua saja; Jay dan Jovan, maka mereka menundanya. Penundaan itu digantikan hari ini.
Saat ini ketiganya, Jay, Jovan, dan juga Tara sedang memanggang daging di atas pemanggang mini di atas meja. Mereka duduk berhadapan di meja persegi panjang yang sekarang dipenuhi oleh tumpukan pack daging, lobster yang sudah dimasak asam manis—Mika yang membuatkannya tadi—juga ada beberapa kaleng beer sebagai teman mereka malam ini.
“Gimana kerjaan? Aman?” Jay bertanya. Dia memotong daging menggunakan gunting sebelum kembali dia panggang di atas pemanggang.
Jovan yang pertama menjawab. “Aman kok. Perusahaan gue lumayan stabil lah. Saham juga naik terus beberapa hari ini, ya … walaupun enggak sedrastis itu sih.”
“Kerjaan gue juga lancar. Lagi sibuk nerima tawaran iklan dan Puji Tuhan, endorse gue makin banyak.”
Jay tertawa. Di antara ketiganya, Jay adalah yang paling muda. Maka dialah yang sekarang memanggang daging-daging ini, alih-alih mereka. “Syukur deh kalau pekerjaan kalian baik-baik aja.”
“Hm. Lo gimana? Masih nerima tawaran syuting film dan ngehost atau gimana?” Tanya Jovan. Pria duda beranak satu itu mengambil kaleng beer dan menegaknya.
“Masih. Kalau untuk tawaran film, tahun ini enggak gue terima dulu. Alasannya karena sekarang masih pandemi, dan gue enggak bisa ninggalin Harsa jauh-jauh. Ngehost juga masih jalan. Malah gue pernah beberapa kali ambil tawaran buat ikut syuting podcast bareng Jeremy dan Reaner.”
Jeremy dan Reaner itu adalah rekan kerja Jay di dunia pertelevisian yang sekarang sudah banting stir menjadi creator YouTube. Dua-duanya kompak membuka ruang bercerita atau yang selanjutnya kita bisa sebut sebagai Podcast. Meski mereka sama-sama membuat podcast, tetapi konten yang mereka tampilkan berbeda. Jeremy dengan podcast horrornya, sedangkan Reaner dengan podcast slice of life-nya.
“Oalah gue lupa kalau Reaner sama Jeremy buka podcast,” ujar Jovan. Dia terkikik.
Tara menyumpit daging dan memasukannya ke dalam mulut. “Emang anak lo kenapa sampai enggak bisa lo tinggalin? Bukannya kadang-kadang juga ada Mika?” Tanya Tara.
“Enggak apa-apa. Sejak pandemi tuh gue jadi agak was-was aja. Kayak, lo bisa aja kehilangan keluarga lo, anak lo, istri lo, karena virus itu. Ya walaupun jelas gue enggak berharap hal-hal buruk buat anak gue, tapi tetep aja deh gue takut.”
“Cie elah, mentang-mentang udah lama jadi Bapak. Bapak senior lo!” Ledek Jovan.
Meski usia Jovan terbilang lebih tua dua tahun dari Jay, tapi Jay menikah duluan dibanding laki-laki itu. Jadi, tidak salah kalau Jovan sekarang mengatakan bahwa Jay adalah Bapak senior.
“Lo masih kontek-kontekan sama Reaner sama Jeremy emang?” Tanya Jay kepada Jovan.
“Masih kok. Beberapa kali juga kita enggak sengaja ketemu di mall.”
Bagaimana Jovan bisa mengenal Reaner dan Jeremy yang notabenenya adalah artis sedangkan dia bukan penggiat panggung hiburan? Jawabannya adalah karena Jay. Jay itu mengenal Jovan lebih lama dari Jay mengenal Tara. Jay mengenal Jovan sudah sejak dia duduk di bangku kelas 1 SMP. Kedekatan keduanya dimulai saat Jovan sering sekali melihat Jay dirisak oleh beberapa anak-anak yang kurang perhatian di angkatannya Jovan.
Jovan itu sebetulnya tidak pandai beradu fisik, tapi begitu dia menyaksikan junior lemah yang hanya diam saja ketika dirisak, rasa kemanusiaan Jovan menjadi tergerak. Maka, sejak kejadian perisakan itu, Jovan selalu bersama dengan Jay ke manapun. Mereka juga satu SMA, dan satu kampus waktu kuliah dulu.
Terus bagaimana Jovan bertemu dengan Reaner, Jeremy, dan bahkan bertemu dengan Tara?
Begini, dulu saat di awal-awal usia 20-an dan baru lulus kuliah, Jovan tidak mau langsung mengambil alih perusahaan orangtuanya. Dia masih merasa bahwa tanggung jawab itu belum sepenuhnya berhak dia pikul, dia masih merasa kalau dirinya masih anak-anak yang perlu dibimbing dan belajar. Jovan meminta waktu pada orangtuanya, setidaknya sampai laki-laki itu merasa siap untuk menerima perusahaan itu seutuhnya. Maka, ketika orangtuanya mengizinkan, Jovan mengikuti ke mana pun Jay pergi. Termasuk lokasi-lokasi syuting yang dikunjungi laki-laki itu. Dari situlah, bonding antara Tara dan Jovan, serta Jovan, Reaner dan Jeremy terbentuk.
“Gue kira udah lost contact deh.” Ucap Tara.
“Iya, gue kira juga gitu.”
“Enggak lah.”
Ketiganya tertawa. Malam ini, mereka berdua memutuskan untuk menginap di rumah Jay. Jovan bisa menginap di sini, karena putrinya pergi ke rumah mama mertuanya sejak Jumat sore. Sedangkan Tara, laki-laki itu memang bebas pergi ke mana-mana. Sebab, Tara itu jomlo, dan tidak berniat untuk menikah dalam waktu dekat.
“Ini istri lo enggak balik-balik lagi sejak nidurin Harsa? Ikut ketiduran apa gimana?” Tara bertanya.
Jay memfokuskan pandangan ke dalam rumah melalui pintu kaca di sampingnya.
“Kayaknya iya sih, ikut tidur. Udah malem juga. Syuting film dia belum rampung, jadi masih bolak-balik Bogor-Bandung terus.”
“Dia terima tawaran film tahun ini?” Tanya Jovan.
Jay mengangguk. “Thriller horor. Scriptnya bagus, gue baca waktu itu.”
“Dia minta pendapat ke lo?” Tanya Tara.
“Iya.”
“Ow. Langgeng juga pernikahan lo.” Celetuk Tara.
Laki-laki itu tahu pernikahan Tara tak sebahagia itu, sebab, Tara dan Jovan adalah saksi bisu kisah pernikahan Jay dan juga Mika. Jadi, ketika mendengar cerita sederhana dari Jay tentang Mika dan hubungan pernikahannya, Tara agak sedikit terkejut.
“Keren!”
“Apa?”
“Lo sama Mika keren.” Kata Tara.
Jovan mengangguk. “Lo berdua masih mau bertahan itu udah keren banget sih.”
Jay tersenyum kecut. Kuasa Jay melepaskan sumpit dan kini, jari-jarinya mengambil kaleng beer. Menegaknya sebelum dia berujar. “Sebetulnya gue pengin nyerah.”
Jovan dan Tara terdiam. Alis keduanya terangkat, bertanya-tanya pada Jay. Ada apa kiranya sehingga Jay mengaku ingin menyerah? Ya mereka tahu bahwa Jay dan Mika memang memulai hubungan dari sesuatu yang tidak baik, tapi sejak kehadiran Harsaka di hidup Jay dan Mika, kedua orang itu tak pernah lagi membahas perpisahan. Maka dari itu, Tara dan Jovan jadi bertanya-tanya.
“Gue ngerasa ini makin enggak bener. Pernikahan gue sama dia juga bukan sesuatu yang dimulai dari hal yang baik. Rasa-rasanya gue merasa bersalah ke Tuhan, ke anak gue, Harsaka, terus ke orang tua gue sama Mika. Gue ngecewain semua orang, termasuk ke diri sendiri.”
“Lo mau pisah?” Jovan bertanya hati-hati.
Jay tidak langsung mengangguk. Pria itu memandangi kaleng beer dengan pandangan kosong. Netranya mengerjap.
Pisah, ya?
Jay juga tidak tahu.
“Kalau gue mau pisah, menurut lo gue egois enggak?” Jay bertanya. Kepalanya terangkat, menatap Jovan dan Tara bergantian. Air mukanya terlihat menyedihkan, Jovan dan Tara mengakui itu.
“Egois. Lo sama Mika udah punya Harsa. Bakalan sehancur apa anak lo kalau tahu orang tuanya pisah, dan enggak tinggal bareng-bareng lagi.” Jawab Jovan.
Jay menarik napas. Dia sudah menduga jawaban itu. Orang yang tahu mengenai keadaan pernikahannya menjawab dengan jawaban yang sama.
“Gue tahu gue egois sama keinginan gue sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan anak gue. Tapi, Bang Jo, Bang Tara, lo berdua pernah enggak kepikiran perasaan gue sama Mika?”
Jovan dan Tara bungkam.
“Enggak, kan? Semua orang di luar ranah gue sama Mika selalu bilang hal yang sama; ‘bertahan, Jay, Mik, ada Harsa di hidup kalian.’ Tanpa kalian sadar sebetulnya gue sama Mika juga terluka.”
“Jay … lo mabuk?” Tara bertanya. Tara merasa ucapan Jay sudah kelewat jauh. Bagaimanapun juga, ini di rumah Jay, dan di sana ada Mika juga, mesti perempuan itu sepertinya tidur.
Jay tertawa. Kepalanya menunduk lagi. Kuasanya menggenggam kaleng beer erat-erat. “Gue capek beneran. Bukan karena gue sama Mika se-flat itu, tapi karena gue ngerasa bersalah. Gue ninggalin Embun selama puluhan tahun. Lo berdua tahu kalau Embun itu orang yang ada sama gue bahkan sejak gue mulai casting pertama sebagai pemeran cadangan di sinetron Bang Jaka dan Tendangan Maut. Dulu sebelum gue ketemu sama Mas Praja sebagai asisten gue, Embun yang jadi asisten gue bahkan tanpa bayaran tinggi. Setiap kali dia nemenin gue syuting, ngatur jadwal syuting gue, gue Cuma bisa kasih dia seporsi sate ayam karena waktu itu bayaran gue belum tinggi, belum lagi waktu itu kondisi keuangan Papa gue lagi enggak stabil. Jadi, semua bayaran syuting gue, gue kasihin ke Mama semua, buat biaya kehidupan sehari-hari.”
“Do you still love her?” Tanya Jovan, hati-hati.
“Selalu. Gue selalu cinta sama dia. Dia enggak bisa gue replace dari sana. Tempat itu buat dia dan akan selalu buat dia.”
Jovan menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Tara meringis pelan. Tangannya bergerak mengusap telinganya yang tidak gatal.
“Gue nyesel. Seandainya dulu gue enggak ngeiyain saran dari pihak management, dan bertindak impulsif, kira-kira gue sama Embun sekarang lagi apa, ya? Apakah gue lagi hidup dengan bahagia bareng Embun dan anak-anak kami?” Jay bertanya dengan nada frustasi.
“Jay, stop it. Lo beneran mabuk.” Jovan mengambil alih kaleng beer dari tangan Jay, menyimpannya di tempat yang agak jauh dari laki-laki itu berada.
Jay tertawa. Tertawa miris lebih tepatnya. Bulir-bulir air mata sudah menetes ke pipi Jay yang tidak tirus. “Gue capek, demi Tuhan, gue capek. Gue mau ini semua berakhir, tapi gue enggak bisa. Bener kata lo, Bang Jovan, Harsa bakalan hancur karena perpisahan gue sama Mika, tapi gue juga udah enggak kuat. Gue capek. Gue pengin pisah, gue pengin memperbaiki segala yang gue lakuin ke Embun di masa lalu. Gue mau balik ke Embun kayak dulu. Gue mau jadiin Embun sebagai rumah gue, tempat gue pulang dan berkeluh kesah. Gue mau, tapi gue enggak bisa. Gue harus apa sekarang?” Jay meremas rambutnya tidak karuan.
Jovan dan Tara saling pandang sebelum akhirnya, kedua lelaki itu mengangkat Jay dan berusaha membawanya untuk masuk ke dalam rumah. Jovan dan Tara merasa kalau Jay sudah keterlaluan. Tahu, kan, apa yang dikatakan oleh orang mabuk biasanya adalah kebenaran yang tak pernah bisa dia katakan pada siapa pun. Jadi, sebelum Jay mengatakan hal yang lebih parah dari ini, Jovan serta Tara menghentikannya.
“Bawa masuk ke dalam aja gimana?” Diskusi Tara.
Jovan menggeleng. “Lo yakin kalau Mika udah tidur? Gue takut kalau Mika masih bangun, dan lihat Jay gini, dia bakalan hancur banget pasti. Gue takut Jay bilang macem-macem yang enggak seharusnya dia bilang, meski gue tahu Mika pasti paham sama hal ini dari awal.”
“Lo bener. Terus, Jay mau di ke mana-in?”
Belum sempat Jovan mengeluarkan idenya tentang ke mana mereka harus membawa Jay, suara lirih Mika terdengar dan membuat Tara serta Jovan terdiam di tempat. Rupanya, perempuan itu ada di sana.
“Bawa masuk aja ke dalam, Bang Jo, Bang Tara.”
Dari matanya, terlihat kentara sekali kalau Mika habis menangis. Jo bahkan berpikir kalau Mika mendengar semuanya. Maka, yang bisa Jovan dan Tara lakukan hanya mengangguk pelan dengan perasaan tidak enak. “Kami masuk, ya.” Pamit Jovan.
Mika menganggukkan kepala. Bertepatan dengan langkah Jovan dan Tara yang membawa Jay masuk ke dalam, ponsel di saku piyama Mika bergetar. Pesan dalam ponsel itu benar-benar membuat air matanya semakin luruh tak terkendali.
Dirga
[Saya di sini, Mika.]
[Kalau kamu butuh bantuan saya, saya akan bantu kamu.]
[Tawaran dari saya masih berlaku.]