3. Rumah Yang (Tak) Utuh

1706 Kata
Terkadang bertahan bukan lagi karena ingin, tapi karena keharusan. Pukul setengah sepuluh lebih lima menit, Pajero hitam yang dikendarai oleh Jay sudah terparkir dengan rapi di garasi rumah. Pria itu turun dari mobil dan berjalan menuju pintu. Dia menunduk, menggeser pot bunga Kamboja guna mengambil kunci cadangan di sana. Ini sudah malam, dan Jay sudah hapal jika saat ini istrinya sudah tertidur. Setelah mengambil kunci, Jay kembali berdiri. Kuasanya memasukan kunci itu ke dalam tempat yang seharusnya dan Jay terkejut kala dia tak mendapati kunci ini bisa masuk ke dalamnya. "Lho, kuncinya enggak dicabut?" Jay bergumam. Pria itu akhirnya menarik kembali kunci di tangannya dan berusaha membuka pintu dengan cara didorong pelan-pelan. Dia masih mau memastikan bahwa pintu itu benar terkunci atau tidak. Terkunci. Maka, Jay mengetuk pintu rumah dengan perlahan. "Mika?" Hanya butuh tiga menit setelah Jay menyerukan nama istrinya. Wajah Mika yang sudah tidak dipoles make-up menjadi pemandangan bagi Jay malam itu. "Kenapa kamu enggak kunci? Saya pikir kamu sudah tidur." Kata Jay, memulai obrolan. Pria itu melepas sepatu yang dan menaruhnya di atas rak. Mika tak menjawab apa pun. Wanita itu hanya diam, mengekori daksa Jay yang kini bergerak ke arah meja makan. "Saya beli sate ayam. Kamu suka kan?" Tanya Jay. "Ah? Oh, iya aku suka. Mau sekalian makan malam?" Tanya Mika. Jay mengangguk. "Saya lapar lagi." "Oke." Kemudian dengan gerakan yang cepat, Mika mengambil empat piring—dua untuk alas sate mereka, dan dua lagi untuk nasi. Mika membuka bungkus sate dan membaginya untuk Jay dan untuk dirinya sendiri. Mereka makan dengan tenang dan tanpa suara. Sepuluh tahun menikah, dua belas tahun kenal, rupanya tetap tak menjadikan mereka menjadi orang yang akrab. Disaat berduaan seperti ini, baik Mika maupun Jay sama-sama merasakan adanya tembok dan tali yang tidak seharusnya mereka lewati. Mereka seperti dibatasi oleh sesuatu yang tak kasat mata, yang kemudian menjadikan mereka asing satu sama lain. "Kamu dari mana?" Pertanyaan retorik. Mika sadar itu. Kunyahan Jay berhenti, pria itu tidak bisa menghilangkan rona keterkejutan di wajahnya. "Embun." Hanya dengan menjawab seperti itu saja, Mika sudah paham ke mana perginya Jay. Sepuluh tahun bersama dengan orang yang hadirnya hanya sebatas raga dan bukan hati menjadikan Mika menjadi orang yang kebal terhadap rasa apa pun di hatinya. "Oh. Jadi yang di Line Today itu beneran kamu, ya?" Netra Jay menyipit. Keningnya mengerut. Dia bingung. "Line Today?" "Iya, Line Today. Aku habis buka-buka line dan kaget waktu liat berita kamu di sana. Jam setengah empat sore waktu Indonesia barat, ada wartawan yang mergokin mobil kamu pergi ke arah rumah itu." Air muka Jay berubah. Dia tidak enak hati. "Ah, sorry banget, Mika. Saya enggak jaga-jaga tadi. Sorry banget." Mika tak langsung memberikan respon setelahnya. Wanita itu hanya diam, memandangi wajah Jay yang mulai dikerubungi rasa bersalah. "Saya beneran minta maaf banget, Mika. Saya impulsif, saya sadar banget kok. Saya tadi buru-buru, takut enggak bisa menemui dia hari ini." Jay menjelaskan. Mika masih diam. Diamnya Mika semakin membuat Jay cemas. Jay ingkar. Andai Jay tahu kalau dia tidak salah, maka Jay tidak akan se-cemas ini. "Kamu marah banget ya, Mika? Saya beneran minta maaf." Mika menghela napas lelah. Wanita itu menaruh sendok yang dia pakai ke atas piring sebelum berujar. "Jay, aku enggak pernah mempermasalahkan apa pun sama kamu. Urusan kamu menjadi urusan kamu, juga urusan aku tetap urusan aku. Aku enggak masalah kalau kamu mau menemui perempuan itu kapan pun, di mana pun, terserah, Jay, demi Tuhan, terserah." Jay diam mendengarkan. Dia tahu Mika akan meledakan amarah padanya. "Perlakuan kamu hari ini masih susah aku tolerir. Kamu jelas tahu kan alasan kenapa aku bersikap kayak gini? Aku beneran enggak masalah kalau itu hanya menyangkut aku, kemudian kamu. Tapi ini enggak, Jay. Yang akan kena dampak lebih buruk dari sikap kamu, sikap aku, itu Harsa. Harsa yang bakalan jadi bulan-bulanan netizen seandainya mereka tahu kamu datang ke rumah itu buat menemui seorang perempuan, sementara kamu sudah beristri." Jay masih diam. "Aku enggak mau publik men-cap Harsa sebagai anak dari peselingkuh. Kamu tahu itu menyakitkan. Harsa belum tentu sekuat itu." Keduanya hening. Selama beberapa menit, hanya ada suara tarikan napas satu sama lain. "Oke, saya beneran minta maaf sama kamu, Mika. Saya pastiin hal ini enggak akan terulang." Adalah Jay yang pertama kali membuka suara setelah helaan napas berat yang ada di antara mereka. Mika menggigit pipi bagian dalamnya dengan pelan. Wanita itu memejamkan mata, berusaha meredam amarah yang akan meledak lebih dahsyat dalam dirinya. Tahan, Mika, please tahan. Jangan meledak sekarang. Kemudian, Mika mengangguk. "Aku anggap yang ini sebagai kelalaian terakhir kamu, Jay. Aku mohon, setelah ini, jangan lagi lalai. Masa depan Harsa dan hidupnya penting bagi aku." "Iya. Saya janji. Saya akan berusaha enggak lalai," kata Jay. "Harsa juga anak saya, saya juga enggak pengin lihat dia kesusahan, Mika. Saya masih Papandanya dia." • Hari Sabtu minggu ini, jadwal syuting Mika dan Jay agak sedikit lebih senggang. Oleh karena Mika dan Jay yang tidak memiliki kegiatan syuting apa pun dan kebutuhan rumah yang sudah menipis, ketiganya—Jay, Mika, dan Harsa—pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di daerah Yasmin, Bogor. "Mami, Harsa boleh ambil bola-bola cokelat enggak? Satu aja kok." Pinta Harsa. Anak laki-laki itu menatap sang Mami yang sedang berdiri di depan etalase bahan makanan, memilih tepung mana yang akan dia ambil untuk persediannya di rumah. Mika menoleh ke kiri, ke arah sang putra. "Satu aja tapi, ya?" Tawarnya. Harsa mengangguk. "Iya, Mam, cuma satu kok. Harsa kan udah janji." "Oke." Mika mengangguk. Dia mengusap puncak kepala sang putra dan tersenyum. Menjadi seorang aktris yang bayarannya lumayan tinggi, tak membuat Mika dan juga Jay memanjakan putranya. Mereka selalu berusaha mendidik Harsa dengan bijak. Mika dan Jay memberi pengertian kepada Harsa, bahwa tak setiap orang akan ada di fase enak-enak saja. Mika dan Jay juga mengajarkan kepada putranya, bahwa enggak setiap hal bisa dia dapatkan meski dia punya uang yang banyak sekalipun. "Saya temenin Harsa dulu, ya. Kamu sendiri enggak apa-apa?" Jay bertanya. Hari ini, Jay memakai kaus polos berwarna hitam dan juga celana jeans pendek berwarna senada. Dia juga pakai topi dan masker putih untuk menutupi kepala dan wajahnya. Menjadi seorang penggiat hiburan dan wajahnya dikenali banyak orang terkadang membuat Jay dan Mika menjadi lelah. Ke mana pun mereka pergi, pasti ada saja foto candid mereka yang tersebar di internet. Mika dan Jay tidak masalah dengan itu, karena memang, ya itu konsekuensi yang sudah mereka pahami ketika mereka memilih untuk menjadi seorang artis. Namun, Jay dan Mika tak pernah membolehkan orang-orang, terutama fansnya untuk memotret sang anak, Harsa, secara diam-diam. Jay dan Mika pun tak pernah mengunggah foto Harsa tanpa persetujuan anak itu. Mereka paham kalau Harsa punya privasinya sendiri. Baik Mika dan Jay tak ingin di masa depan nanti, Harsa merasa kalau dirinya tidak punya privasi karena orang tuanya mengunggah foto dia tanpa persetujuannya. "Enggak apa-apa kok. Kamu nanti langsung nyusul ke bagian alat mandi aja, ya. Sebentar lagi aku ke sana soalnya." Kata Mika. Setelah mengangguk, Jay pergi ke etalase cokelat bersama dengan putranya, meninggalkan Mika yang sekarang sibuk dengan bumbu penyedap di tangan sebelah kiri. "Kak Mika, ya?" Mika menoleh, mendapati dua orang gadis yang berdiri di depannya dengan pandangan takjub. "Hai!" Kata Mika, membalas sapaan itu. "Ih ya ampun beneran Kak Mika!" Si gadis berkuncir kuda menyahut. Tangannya ia gunakan untuk memukul temannya, sedangkan yang sebelah lagi ia gunakan untuk menutup mulut—reaksi alami ketika seseorang kaget akan sesuatu. "Kak, kenalin, aku Putri, dan ini temenku, Arini. Kita berdua suka banget sama Kakak dan karya-karya Kakak. Kita boleh minta foto enggak, Kak?" Ini. Satu hal ini juga sering sekali Mika dan Jay dapati di mana pun mereka berada. Di bandara, di mall, di swalayan, di parkiran, di lokasi syuting. Mika tak masalah, tapi, terkadang ada satu waktu di mana Mika benar-benar lelah dan tak ingin meladeni siapa pun. Namun, dia tak bisa melakukannya. Dia dituntut harus selalu tersenyum di depan kamera, meladeni fansnya dengan baik dan tidak kasar. Maka, Mika melakukannya sekarang. "Boleh. Mau selfie aja atau gimana?" "Kita gantian aja gimana, Kak? Nanti aku minta tolong temenku untuk fotoin aku sama Kakak, nanti kita gantian?" Tawar gadis itu. Mika mengangguk. "Boleh. Sini ayo foto!" Gadis bernama Putri maju terlebih dahulu. Setelah berpose sebanyak dua kali, Putri bergantian posisi dengan temannya, Arini. "Makasih ya, Kak." Ucap keduanya. "Sama-sama, ya." Kata Mika sambil tersenyum. "Omong-omong Harsanya mana, Kak? Ikut Kakak enggak?" Tanya Arini. "Ikut kok. Harsa lagi sama Papanya, beli cokelat." "Oalah. Okay deh, Kak. Selamat belanja, Kak Mika! Semoga langgeng terus ya sama Kak Jay!" "Amen." Setelah keduanya pamit pergi, Mika kembali meneruskan kegiatannya yang tertunda. Sambil memilih barang yang akan dibelinya, batin Mika penuh gejolak akan doa yang dipanjatkan oleh dua orang yang baru saja berlalu dari hadapannya. Langgeng, ya? Batin Mika. Memilih untuk mengabaikan apa yang batinnya katakan, Mika pergi membawa troli belanjaannya ke area peralatan mandi, maka wanita itu sekarang sedang berdiri di depan etalase sabun mandi. Kuasanya mengambil tiga pouch sabun mandi berukuran sedang dan memasukannya ke dalam troli. "Mami!" Dari jauh, Mika mendengar suara Harsa. Ditatapnya anak laki-laki itu sedang berjalan ke arahnya dengan sesuatu di tangan yang Mika taksir sebagai bola-bola cokelat. "Bicara pelan-pelan Nak. Kalau suaranya besar, enggak enak sama pengunjung lain. Takutnya mereka enggak nyaman." Kata Mika dengan lembut. Harsa tersenyum malu, anak itu mengangguk pelan. "Ups, maaf ya, Mami." "Iya Mami maafin." Kata Mika. "Kamu beli daging banyak banget?" Mika bertanya. Kali ini, pandangannya fokus kepada Jay yang sedang menyusun enam bungkusan daging dan dua bungkus lobster ke dalam troli. "Besok Temen-temenku mau ke rumah, aku ajak bbq-an sekalian nonton bola juga. Boleh ya?" Tanya Jay. Mika menghela napas sambil melihat daging-daging yang jumlahnya tak sedikit itu. "Tapi enggak sebanyak ini kan harusnya? Sumpah, aku takut kamu kena kolesterol aja sih." Kata Mika. Jay tertawa. "Aman kok, Mami. Saya kan berusaha sehat, olahraga juga kok saya. Enggak apa-apa, ya?" "Oke deh." Tak ada lagi yang bisa Mika katakan. Toh, Jay sudah membeli daging-daging itu. Maka yang selanjutnya mereka lakukan adalah kembali berbelanja kebutuhan rumah yang belum mereka ambil. Jika dilihat dari luar, keluarga Jay dan Mika memang terlihat sangat harmonis dan bahagia. Namun, itu hanyalah kamuflase belaka. Sebab, rumah mereka tak seharmonis kelihatannya. Baik Jay maupun Mika, sama-sama belajar untuk bertahan di dalam pernikahan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN