Chapter 45

2190 Kata
          Aku bersender di kursi. Ah, akhirnya kenyang juga. Piring- piring di depanku bersih, hanya menyisakan tulang belulang ayam. Aku mengelus- ngelus perutku. Kayaknya berat badanku bakal naik deh kalau makannya enak begini melulu.             “Sudah kenyang?” tanya Rendra. Aku mengangguk dan mengacungkan jempol.             “Udah kenyang b**o kayaknya dia deh,” timpal Kara.             “Mantap banget makanannya! Enak pol!” jawabku. Rendra nyengir dan tersenyum tipis.             “Syukurlah kalau kamu suka,” ujar Rendra. Kara menyikutku.             “Lu tau gak, yang lu makan itu siapa yang masak?” tanya Kara.             “Siapa memangnya?” tanyaku balik. Kara menunjuk Rendra dengan dagunya. Aku terkesima.             “Semua dia masak, khusus buat elu katanya,” jawab Kara.             “Ya ampun Ren, ini semua kamu yang masak?” tanyaku. Rendra mengangguk dan nyengir lebar. Aku bertepuk tangan.             “Gila, keren banget. Enak semua masakan lu. Juara!” Aku mengacungkan kedua jempolku. Rendra nyengir semakin lebar.             “Ah, gak sebegitunya sih. Aku udah biasa masak kok,” ujar Rendra. Ia hendak mengambil piring- piring sisa makan yang ada di meja. Aku mencegatnya.             “Ah, gak usah. Biar aku aja yang bersihin, kan kamu udah masak,” ujarku. Aku mengangkat piring kotor satu persatu dan menaruhnya di westafel. Aku menyalakan keran air dan mulai mencuci piring yang ada. Ah, sebenarnya aku sangat jarang mencuci piring, karena di rumah punya mesin dishwasher yang akan mencuci semua piring kotor secara otomatis.             “Maaf merepotkanmu. Padahal gak apa sih kalau aku yang cuci piringnya,” ujar Rendra. Aku mengeleng.             “Gak, aku malah yang merepotkanmu. Kamu udah masak banyak makanan enak untukku,” jawabku.             “Ya ampun, itu sama sekali gak merepotkan! Aku malah senang, bisa masak untuk adikku,” ujar Rendra sambil mengusap pelan rambutku. Aku tersipu. Manis sekali. Dia benar- benar memperlakukanku layaknya adik sendiri. Ah, ya aku memang adiknya sih. Adik yang baru ia temui hari ini.             “Apa kamu gak pernah kesal denganku?” tanyaku. Rendra mengernyitkan alisnya.             “Kesal karena apa?” tanya Rendra balik.             “Ya kesal … karena papa ninggalin kamu karena aku dan mama?” tanyaku lagi. Rendra berdecak. Aku meliriknya. Raut wajah Rendra berubah menjadi sendu. Ia menghela napas.             “Yah, mungkin. Sempat sebal. Karena ayah tega banget ninggalin ibu sendirian mengurusku. Demi keluargamu, demi kekayaan yang lebih,” jawab Rendra. “Tapi itu dulu. Sekarang aku udah ikhlas. Yah seengaknya aku sedikit lega, karena aku punya keluarga. Aku gak sendirian bangetlah,” ujar Rendra. Ia tersenyum manis dan mengacak- acak rambutku. Aku tersipu malu dengan tingkahnya.             “Sudah selesai cuci piringnya? Biar aku lap ya,” tawar Rendra.             “Ah gak us..” Belum juga aku selesai bicara, Rendra sudah mengambil kain lap dan mengelap piring- piring yang sudah aku cuci tadi. Ia menaruhnya kembali dengan rapi di lemari. Setelah semua selesai, aku mengelap tanganku dengan kain lap.             “Sudah selesai kegiatan kakak adiknya?” tanya Kara. Ia duduk di meja makan sambil menompang dagu. Rendra nyengir lebar dan mengangguk.             “Sudah. Ayo kita balik ke kamar tadi,” jawab Rendra.             “Oke, ayo.” Kara bangkit dari duduk. Ia sedikit membungkuk dan mempersilahkan Rendra untuk membuka pintu tersembunyi di balik dinding. Rendra menaruh jarinya di sembarang tempat di dinding dan terbukalah dinding itu menampakkan pintu lift. Pintu lift terbuka otomatis saat Rendra menyentuhnya. Kami semua masuk ke dalam lift. Rendra menekan tombol tempat tidur dengan angka 1 di dekatnya. Lift menutup pintunya dan bergerak menuju tempat yang di tuju. ****             Pintu lift terbuka dan tampaklah kamar yang tadi kami datangi. Tapi ada sedikit perubahan di sana. Ada sebuah pemanas ruangan dengan cerobong seperti yang ada di rumah klasik barat.             “Sejak kapan ada cerobong asap di sini?” tanyaku sedikit penasaran.             “Sejak tadi. Sudah ada,” jawab Kara. “Yah walaupun kayaknya gak pernah di pakai sih. Mau pake buat apa coba, kan negara kita sendiri juga panas toh.” Kara mengangkat bahunya. Benar juga sih kata Kara. Pemanas ruangan seperti ini tidak begitu di perlukan di negara tropis seperti ini, kecuali kamu tinggal di dataran tinggi dengan suhu yang dingin.             “Oh, itu peninggalan. Sebenarnya dulu rumah ini bergaya barat, yah yang punya juga orang Eropa. Aku sengaja sih tinggalin pemanas itu buat hiasan. Tapi cerobongnya udah aku ratakan,” jelas Rendra.             “Terus kalau mau di pakai gimana?” tanyaku lagi.             “Gak bisa. Itu udah kujadikan hiasan semata,” jawab Rendra. “Ayo kita duduk di sana,” ajak Rendra sambil menunjuk ke sofa di sudut ruangan. Tempat itu terlihat sangat nyaman dan pas di jadikan sudut ternyaman untuk membaca buku. Kami duduk di sofa kecil yang mengelilingi sebuah meja.             “Oh ya, kamu belum bilang hal lain yang papa lakukan.” Aku membuka pembicaraan. “Jadi, apa itu?” tanyaku. Aku menompang daguku dan menatap mereka berdua. Rendra dan Kara saling bertatapan.             “Kamu penasaran banget ya,” gumam Kara. Aku mengangguk.             “Iyalah! Aku anak papa, tapi malah gak tahu apa- apa tentang papa. Padahal kami tinggal serumah …” gumamku. Aku menundukkan kepala. Ternyata aku memang tidak tahu apa- apa tentang keluargaku.             “Baik. Kamu pasti akan terkejut dengan kabar ini, jadi tolong nanti jika kamu ketemu ayah, bersikaplah biasa saja, oke? Janji?” tanya Rendra. Ia menjulurkan jari kelingkingnya. Aku mengaitkan jari kelingkingku di atas jarinya.             “Janji. Udah sekarang kamu ceritain aja, papa sembunyiin apa sebenarnya?” tanyaku lagi. Rendra menghela napasnya.             “Kamu tahu kan, kalau sekarang keadaan lagi chaos banget dimana- mana?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Yang kamu bilang tadi, keadaan chaos ini karena kehadiran virus baru? Tapi belum ada informasi apa- apa kok di berita. Darimana kamu bisa narik kesimpulan itu?” tanyaku beruntun. Ini sungguh tidak masuk akal. Apa Rendra hanya menduga saja? Melakukan cocokologi?             “Ya, belum di beritakan saja. Mungkin mereka belum sadar. Mereka hanya melakukan antisipasi saja, untuk menjaga agar tidak semakin menyebar. Tapi sayangnya, mungkin itu agak terlambat,” jawab Rendra.             “Wait wait, tapi kamu belum jawab pertanyaan aku. Darimana kamu tahu hal itu? Kamu narik kesimpulan darimana? Apa cuma dari cocoklogi semata?” tanyaku beruntun.             “Orang kayak Rendra gak mungkin cuma berdasarkan cocoklogi aja,” timpal Kara. Rendra menahan Kara. “Biar aku aja yang jelasin Kar,” ujar Rendra. Ia menarik napas.             “Jadi begini adikku Althea. Aku tahu hal ini karena aku pergi ke tempat kerja ayah. Aku mencoba mencari tahu segala hal tentang ayah. Dimana rumahnya, tinggal dengan siapa dia sekarang, termasuk kantor tempat papa bekerja. Saat aku menemukan alamat kantor ayah, aku mencoba menyelinap masuk dengan menyamar menjadi petugas di sana. Ya, di sana memang aku bertemu dengan ayah,” jelas Rendra.             “Kamu tahu gak di mana kantor papamu kerja?” tanya Kara memotong penjelasan Rendra. Aku mengernyitkan alis.             “Papa kerja di PT. Firma Tech kan?” tanyaku balik. Rendra terkesiap kaget mendengar jawabanku.             “Lihat, sudah aku duga dia bakal jawab begitu,” gumam Kara. Ia melirik Rendra. “Coba kamu jelaskan, biar nampak kedok papanya semua,” pinta Kara. Rendra geleng- geleng kepala.             “Ya ampun, ayah ini parah banget. Dia bilang ke kamu kerja di PT. Firma Tech? Pasti di bagian IT kan?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Memangnya di bidang apa lagi? Kan papa memang kerja di situ dari dulu,” jawabku. Rendra kembali geleng- geleng kepala.             “Ya, memang. Tapi itu dulu. Sekarang ayah kerja di anak perusahaan PT. Firma yang lain. Ayah sekarang kerja di PT. Firma Chemist Pharmacy,” ujar Rendra. Aku melotot kaget. Sungguh, ini sangat berbeda dengan yang papa ceritakan. Rendra merogoh sesuatu dari kantong celananya dan memberikannya padaku. Itu foto copy kartu kerja papa. Benar, di sana tertera nama papa dan nama perusahaan tempat papa bekerja.             “Tapi gimana …” Aku terbata.             “Sudah lumayan lama, agaknya. Papa kamu hanya di pindahkan kerja ke kantor cabang lain yang kebetulan masih dalam satu kota. Karena itu mungkin kamu gak tahu, karena seperti gak ada perubahan toh? Tapi ya, berubah tetap. Papa bekerja di bagian laboratorium,” jelas Rendra.             “Tapi ini berbeda jauh dengan pekerjaan papa sebelumnya,” ujarku.             “Bisa. Karena papa pintar, makanya bisa. Papa itu pintar hampir di segala bidang, karena itu papa di mutasi,” jelas Rendra.             “Sampai sini kau sudah temukan titiknya belum?” tanya Kara. Aku mengeleng.             “Aku masih belum ngerti,” jawabku.             “Tak apa. Aku juga belum jelaskan sepenuhnya kok. Jadi papa kerja di bagian laboratorium. Dulunya, sih papa di bagian peracikan obat. Tapi sama bossnya di ajak ke bagian laboratorium penelitian. Kau tahu, yang mereka teliti di sana adalah bakteri dan virus yang menyerang tubuh. Termasuk virus Mahkota yang sempat di bekukan untuk keperluan vaksin dulu,” jelas Rendra. Aku mangut- mangut.             “Lalu?” tanyaku lagi.             “Ya, lalu tim papa ini buat kesalahan fatal, yang malah di setujuin oleh pihak atasan. Jahat memang. Papa dan tim tidak sengaja malah menemukan virus baru yang lebih berbahaya daripada virus Mahkota. Virus ini peranakan dari virus Mahkota, yah bisa di bilang begitu. Nah dari pihak atasan meminta papa dan tim untuk menyebarluaskan virus itu untuk di lihat akan bereaksi seperti apa,” jelas Rendra. Aku terkesiap kaget.             “Gak mungkin …” ujarku.             “Yah, nyatanya begitu. Mereka meminum sendiri cairan berisi virus itu untuk menguji coba di tubuh mereka. Coba kamu ingat, apa ayahmu pernah sakit sebelum ini?” tanya Rendra. Aku mencoba mengingat.             “Ah, papa pernah sakit di hari pertama nenek datang. Papa sempat demam dan drop sehari, terus sembuh dan kerja lagi,” jawabku.             “Nah. Itu demam karena uji coba virus itu. Ada kemungkinan virus itu akan menyebar ke nenek atau ibumu, karena mereka kan yang mengurus ayah waktu sakit?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Dan kau tahu, obat yang aku kirim tempo hari? Paket yang kamu bakar habis isinya?” tanya Kara. Aku mengangguk. “Itu obat, bukan obat biasa. Obat itu bukan menyembuhkan, malah akan mencoba mendorong reaksi penyakit yang pernah ada di dalam tubuh seseorang agar semakin mudah masuk virus ke dalam tubuhnya,” jelas Kara. Aku terkesiap kaget. Selama ini papa menyuruh nenek mengonsumsi multivitamin itu secara rutin, begitu juga mama.             “Gak mungkin, jadi …” Aku menghentikan perkataanku.             “Siapa yang minum obat itu di rumahmu?” tanya Rendra.             “Nenek, dan mama sesekali. Papa sering suruh nenek meminum obat itu. Katanya itu multivitamin dari temannya, bagus untuk nenek …” jawabku menjelaskan semuanya. “Sekarang .. nenek … mama .. di rumah sakit …” gumamku.             “Ya, kemungkinan besar nenekmu sudah mulai terjangkit virus itu. Nama virus itu belum tahu apa, mereka belum menentukan namanya. Tapi virus itu dapat menyebar dengan cepat. Kau ingat apa yang ada saat perayaan Nyepian Mahkota kemarin?” tanya Rendra lagi.             “Nyepian Mahkota kemarin? Maksudmu, malam waktu perayaan kembang api?” tanyaku balik. Rendra mengangguk. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Tak ada hal yang aneh, rasaku. Kecuali saat bang Arya jatuh tumbang di tengah acara kembang api itu.             “Gak ada yang aneh. Cuma kembang api biasa yang di nyalain, terus di pertengahan ada bang Arya yang pingsan …” jawabku. Aku terdiam sesaat. Tunggu sebentar. Tampak ada yang janggal di sana. Aku menatap Rendra lamat- lamat. Ia mengernyitkan alisnya.             “Sekarang paham?” tanya Rendra.             “Jangan- jangan virus itu …” jawabku terbata. Rendra mengangguk.             “Ya, di sebarkan waktu acara kembang api itu. Entah lewat media apa mereka melakukannya. Mereka yang duluan tumbang adalah mereka yang sejak awal memiliki masalah pernapasan sejak dulu,” jelas Rendra. Aku kembali terkesiap. Semua ini begitu campur aduk di kepalaku. Terlalu sulit untuk aku mengerti.             “Sekarang kamu paham kenapa aku sering bilang ayahmu jahat? Karena tingkahnya menyusahkan banyak orang!” ujar Kara.             “Tadi papa telpon aku … waktu nenek di rumah sakit … papa bilang papa minta maaf …” gumamku.             “Ya, mungkin ayah merasa bersalah. Yah tapi apa mau di buat, semua sudah kejadian. Untuk saat ini kita tidak bisa sembarangan keluar, virus itu menyebar bebas di luar sana,” pinta Rendra.             “Bagaimana dengan nenek dan mama? Mereka masih di rumah sakit! Aku harus menjemput mereka!” tanyaku. Mana bisa aku meninggalkan nenek dan mama sendirian di rumah sakit.             “Rumah sakit tempat yang rawan, Teh. Virus menyebar dengan cepat di sana. Kemungkinan besar ibu dan nenekmu sudah terinfeksi, namun pihak rumah sakit belum menyadarinya. Bisa jadi gak hanya mama dan nenek, orang lain juga. Sampai mereka sadar akan virus ini, jangan sampai kamu pergi ke rumah sakit. Mengerti?” tanya Rendra.             “Tapi, mama … nenek …” ujarku terbata.             “Hei, kita cari ayah. Kita tanya obat penawarnya apa. Semoga saja ayah sudah menemukannya dan bisa menyebar luaskannya ya. Oke?” tanya Rendra. Aku mengangguk. Rendra memelukku erat.             “Tak apa. Aku yakin nenek dan mama baik- baik saja. Mereka akan di urus oleh perawat dan dokter di sana,” gumam Rendra. “Ini sudah malam. Kamu menginap saja di sini dulu. Ada banyak kamar, kamu bisa pilih yang mana. Ada juga baju ganti, punya ibuku dahulu. Kau pakai saja dulu untuk sementara,” pinta Rendra. “Besok, kita susul nenek dan mamamu ke rumah sakit. Aku temani. Oke?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN