4. Kesambet

1286 Kata
“Ra, tidur, Ra. Mbok ya jangan begadang terus. Nanti sakit.” Lagi-lagi, Ibu membuka pintu kamarku dan mengingatkanku untuk segera tidur. Ini sudah ke tiga kalinya, atau mungkin malah lebih. “Sedikit lagi, Bu. Nanggung.” “Sudah beberapa hari terakhir ini Ibu lihat kamu tidurnya telat terus. Jangan dibiasakan—“ “Dikit lagi, Bu. Dikiiit, lagi!” Ibu akhirnya mendekat, lalu satu usapan lembut mendarat di pundak kananku. “Apa dosenmu terlalu menekanmu, sampai tiap hari kamu begadang terus?” Aku melirik jam dinding, dan ternyata saat ini sudah pukul setengah satu dini hari. “E-enggak, kok, Bu. Ini mumpung lagi mood aja, jadi sayang kalau ditinggal.” “Tapi kesehatanmu itu ya penting lho, Ra.” “Inggih, Bu. Sebentar lagi aku tidur.” Akhirnya Ibu keluar, lalu kali ini aku segera mengunci pintu serta mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu yang remang-remang. Aku bukannya mau berhenti, tetapi aku ingin mengelabui Ibu. Maafkan aku, Bu, tetapi aku tidak bisa berhenti begitu saja sementara mood sedang bagus-bagusnya. Mood-ku skripsian seringnya datang tengah malam begini, jadi rasanya sayang sekali kalau aku sia-siakan. “Untung Iqbal beliin lampu ini!” aku tersenyum senang setelah mengambil lampu portable yang Iqbal belikan awal tahun lalu. Lampu itu pakai sistem baterai, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari colokan kabel. Iqbal memang terbaik, dia selalu saja tahu apa yang aku butuhkan. Terkadang aku bertanya-tanya, apa Iqbal menyukaiku? Tetapi kurasa sifatnya yang easy going memang dia tunjukkan untuk semua orang. Aku tidak boleh terlalu kepedean dalam hal ini. Lagipula, aku merasa persahabatan kami lebih dari segalanya. Drrrt! Tiba-tiba saja, ponselku yang tergeletak di sebelah laptop bergetar. Aku mendelik ketika melihat ada pesan masuk dari Pak Davka. Bon Cabe Level 50 : Ya. Bussset! Pak Davka membalas pesanku selarut ini hanya dengan satu kata yang terdiri dari dua huruf? Aku memutuskan untuk tidak membuka pesan itu dan hanya membacanya lewat notifikasi saja. Besok kami sudah janjian akan bimbingan jam sepuluh. Duh, bahasaku janjian. Ini terdengar seolah kami akan pergi kencan. Padahal boro-boro kencan, yang ada aku merasa seperti akan masuk kandang Singa. Iya, Singa. Singa dengan sejuta kalimat pedasnya. *** “Makan yang banyak, Dek Ara. Biar gembul!” Iqbal mulai mengeluarkan satu persatu makanan dari tas doraemonnya. Kenapa aku menyebutnya tas doraemon? Itu karena, Iqbal selalu saja membawakanku banyak makanan —atau terkadang barang— yang dimasukkan ke dalam tas itu. “Kamu enggak takut bangkrut apa, Bal, hampir tiap kali kita ketemu selalu bawain makanan sebanyak ini?” “Supaya kamu enggak kurus karena kebanyakan mikir omongannya Pak Davka.” “Tapi sebelum aku bimbingan sama Pak Davka juga kamu udah sering bawain aku kaya gini.” “Santai aja, Ra, biar kulkas rumahku enggak penuh-penuh amat.” Aku terkekeh. “Orang mah biasanya bangga lihat kulkasnya penuh, ini malah disedekahin mulu.” “Dah, jangan bawel! Buruan dimakan.” Aku benar-benar selalu merasa beruntung memiliki sahabat seperti Iqbal. Dia tidak hanya baik, tetapi juga sangat perhatian. Bukankah wajar kalau aku pernah hampir salah paham padanya? “Nah ... nah ... nah! Kamu jatuh cinta sama aku, Ra!” Iqbal semena-mena menyentil dahiku. “Iya. Aku memang jatuh cinta sama kamu. Puas?” “Tunggu Abang lamar Adek sebentar lagi, ya?” Aku langsung bergidik mendengarnya. “Geli banget, Bal!” Iqbal terbahak-bahak sampai dia tersedak ludah sendiri. Lihatlah, bagaimana mungkin aku akan terus salah paham kalau Iqbal begitu santai bercanda tentang perasaan kami? Aku pernah dengar kalau di dunia ini tidak ada persahabatan antara cowok dan cewek karena salah satu atau mungkin malah keduanya akan saling jatuh cinta. Namun kurasa, itu tidak berlaku untuk aku dan Iqbal. Ah entah. Entah sebenarnya tidak berlaku atau kami saja yang terlalu denial. “Eh, Ra, Ra ... Pak Davka udah datang!” “Mana, Mana?” “Tengok kiri!” Ah, benar. Aku sudah sangat hafal dengan mobil range rover putih milik Pak Davka. Mobil itu entah kenapa terlihat sangat gagah di mataku. Kapan ya, aku bisa naik mobil itu? Eh, ralat! Maksudku, kapan ya, aku bisa naik mobil semahal itu? “Kamu nanti bimbingan jam berapa, Ra?” tanya Iqbal setelah melihat Pak Davka menghilang di pintu samping fakultas. “Jam sepuluh. Masih ada waktu dua puluh lima menit lagi, aman.” “Hari ini bimbingan sama Pak Davka aja? Atau sama Bu Anis juga?” “Sama Pak Davka aja, Bu Anis kan sibuk banget. Sama Bu Anis itu, bisa bimbingan dua minggu sekali udah syukur banget. Aku udah bimbingan berkali-kali sama Pak Davka, tapi sama Bu Anis baru tiga kali. Bayangin, Bal!” “Sesibuk itu, ya?” Aku mengangguk. “Banget!” “Tapi tahu enggak sih, Ra?” “Apa?” “Aku kalau lihat Bu Anis itu kaya lihat kamu.” “He? Apanya? Ngawur!” Iqbal meringis sambil menggaruk pelipisnya. “Kadang aja, sih.” “Aku anggap ini pujian ya, Bal. Soalnya Bu Anis kan cantik. Haha!” “Kamu tahu Faris enggak?” “Faris siapa pula? Nama Faris itu pasaran, Bal.” “Adik tingkatmu itu. Dua atau tiga tahun di bawah kita. Dia anak kandung Bu Anis.” Aku terdiam selama beberapa saat. Faris? “Eh, dia ikut kelompokku, Bal. Praktikum C++. Masa iya dia anaknya Bu Anis?” Iya, aku ingat sekarang. Faris itu yang waktu itu pernah menyapaku ketika aku baru saja setor dagangan ke kantin fakultas. “Aku cuma pernah dengar kalau anak bungsu Bu Anis itu anak Teknik Informatika. Terus dengar kabar namanya Faris.” “Kamu itu anak Teknik Industri, tapi tahu banget gosip anak Teknik Informatika. Heran!” Iqbal tertawa pelan. “Soalnya ada calon istri di Teknik Informatika, Ra.” “Lama-lama kulakban juga mulutmu.” “Sadis, Buk!” Kelamaan bercanda dengan Iqbal, aku sampai tidak sadar sebentar lagi sudah jam sepuluh. Aku buru-buru mengemasi barangku, juga merapikan bungkus makanan ringan yang kumakan dengan Iqbal. “Bal, aku duluan. Ini minta tolong buangin ke tempat sampah, udah kurapiin.” Iqbal mengangguk, seolah paham kalau aku tidak boleh telat menemui Pak Davka, atau aku akan kena ceramah tujuh hari tujuh malam. Oke, ini berlebihan, tetapi aku tidak bohong tentang Pak Davka yang akan menceramahiku kalau aku telat barang beberapa menit saja. “Duluan ya, Bal!” “Ya, hati-hati. Enggak usah lari.” “Enggak bisa, udah mepet!” Ngobrol dengan Iqbal sering sekali membuatku lupa waktu, padahal kami kadang hanya ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas arahnya. Pembawaan Iqbal yang asik memang selalu sukses membius lawan bicaranya. Aku pernah dengar dari teman, katanya banyak sekali anak Teknik Industri yang mengidolakan Iqbal. Wajar sih, selain dari keluarga berada, Iqbal ini juga good looking. Ini hanya penilaian objektif, tidak lebih. Aku juga tidak tahu kenapa dia betah sekali berteman denganku yang sering dia juluki sebagai ‘kecoa berjalan’. “Jam sembilan lima sembilan!” aku mempercepat jalanku, bahkan nyaris berlari memasuki lantai satu laboratorium. Begitu belok di lorong, aku langsung berlari karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Karena saking buru-burunya, aku sampai lupa mengetuk pintu sebelum masuk. Tanpa diduga, ketika aku mendorong pintu, ternyata pintu itu lebih dulu ditarik dari dalam. Alhasil, badanku otomatis ketarik maju dan agak kehilangan keseimbangan. “Eeeh!” Satu detik, Dua detik, Tiga detik, ... Wangi! “Ara, bisa singkirkan wajahmu dari d**a saya?” “Hah?” Karena aku terlalu buru-buru, begitu aku menyingkir ke belakang, kepalaku terjedot pinggiran pintu. “Aduh!” “Ara, kamu ini!” tiba-tiba saja, aku ditarik masuk dan ada tangan besar yang mengusap kepalaku beberapa kali. “Hati-hati, Ra. Silakan duduk dulu, saya ke toilet sebentar.” Setelah mengatakan itu, Pak Davka tiba-tiba pergi begitu saja, meninggalkanku yang mendadak nge-blank di tempat. “B-bentar ... barusan Pak Davka kesambet, kah?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN