Lebih dari Empat Tahun Sebelumnya...
Jakarta, Pertengahan Oktober 2013
“Dan, kenalin nih, temen gue, inceran para kakak kelasnya, bahkan yang sudah alumni dan kebetulan sempat ketemu dia. Termasuk ehm..,” disertai senyum lebar, Romeo Hendardi Laksana menggamit lengan seorang cewek, membawanya kian mendekat pada Daniel.
Sudah pasti, Romeo yang akrab dipanggil Romi itu sengaja menurunkan volume suara. Ia cenderung berbisik bersamaan terlontarnya dua kata terakhir pada ujung kalimatnya. Cukup dua kata, dan itu menyisakan misteri yang teramat mudah ditebak dan terasa basi buat Daniel, terlebih mendapati seringai kecil membayang di sudut bibir Romeo. Rupanya Romeo, sahabat kentalnya semenjak keduanya masih kanak-kanak itu, baru saja sukses menculik si cewek dari sisi Ray, sepupu sang gadis.
Menatap gadis semampai di hadapannya, Daniel terbengong, bak orang yang tengah dihipnotis saja, oleh Cewek yang diyakininya lebih muda darinya. Hampir dia lupa menarik napas. Bola mata Daniel bergerak begitu saja, seolah tengah mempelajari penampilan si Cewek. Dalam pengamatan Daniel, secuil kesan lugu tak tersembunyikan dari paras gadis itu. Ya, secuil saja, bila diumpamakan perbandingan roti baguette utuh dengan cuilan kecil di bagian ujungnya. Selebihnya, cara berpakaian si Cewek yang cukup modis, justru sukses memikat hati Daniel.
Romeo tersenyum miring mengamati perilaku Daniel. Pelan, ia menyikut rusuk Daniel dan mencondongkan kepalanya.
“Jangan kelamaan melongonya. Entar akibatnya ada lalat masuk ke situ Kasihan lalatnya yang terjebak, ha ha ha! Yang ada, tuh lalat langsung mati!” bisik Romeo usil. Sengaja ia mengganggu konsentrasi Daniel yang mungkin saja sedang asyik berfantasi. Bisa jadi, fantasi yang ngelantur dan aneh-aneh.
Dalam keadaan normal, reaksi Daniel pastilah menggebuk sekeras mungkin, punggung Romeo yang terpaut usia setahun lebih tua darinya itu. Namun demi menjaga image di depan sang bidadari yang mencuri hatinya pada pandangan pertama, dia cuma mampu melirik kejam pada sahabatnya.
“Wow, innocent banget tuh muka,” gumam Daniel lirih, seiring pandangannya yang terfokus ke satu titik, raut wajah di depannya. Perhatiannya tersita ke paras innocent gadis itu. Namun tak urung, gumamannya yang samar-samar itu sampai juga ke telinga Romeo yang langsung mengangguk.
“Iya, beda banget, sama muka ente yang penuh dosa,” sambar Romeo samar. Nyaris Daniel terbahak akibat celetukan Romeo yang terlampau jujur dari mulut sahabatnya. Romeo mesem kecil. Pandangannya beralih pada Ferlita, gadis itu.
“Fer, cowok satu ini, dulu tetanggaku sewaktu kami sekeluarga masih tinggal di kawasan Pluit. Temenan dari sama-sama masih bocah. Ibaratnya, dari jaman dia masih suka main kelereng, gitu deh! Jadi, biarpun sesudahnya jarang ketemu, masih keep contact sih. Kalau liburan atau long weekend dia biasa ke Jakarta. Maklum, nih anak dari kecil sekolah di Singapura. Belum lama lulus kuliah, dia. Biarpun bengal, otaknya encer. Bayangin saja Fer, sudah ambil programnya IT, dapat beasiswa pula. Pasti nggak gampang,” sekarang Romeo gantian mempromosikan temannya, Daniel. Dari caranya memberi deskripsi, kalau saja Romeo itu seorang sales, jelas product knowledge-nya layak diacungi jempol.
Ferlita mengangguk kecil dan mengulurkan tangannya pada Daniel.
“Ferlita,” ucapnya ramah, sebagaimana yang diajarkan Ray, sang Sepupu kepadanya..
Perlu waktu sampai beberapa detik bagi Daniel untuk tersadar dari pesona yang demikian kuat membelitnya. Menyambut uluran tangan Ferlita, dia kembali asyik menikmati pemandangan indah yang terpampang tepat di hadapannya. Perasaan sejuk menyapanya, menyentuh hingga ke dasar hatinya terdalam. Keberadaan Ferlita menghadirkan keteduhan yang sulit dijabarkannya. Sesuatu yang sungguh dirindukannya entah berapa lama. Bak oase di padang gurun nan gersang dan tak berujung.
“Daniel,” ucap Daniel sambil menikmati jabatan tangan yang enggan dilepaskannya. Dua telapak tangan itu saling bersentuhan. Daniel tergoda, dipejamkannya matanya barang sedetik, meresapi lembutnya kulit telapak tangan Ferlita dalam genggamannya. Lalu ditatapnya, pantang membuang kesempatan berharga. Mendadak, dirasanya sekelilingnya senyap, seolah dia dan Ferlita sajalah yang berada di ruangan penuh hiruk pikuk itu.
‘Hei, perasaan macam apa ini? Fall in love at the first sight? Yes, maybe, even I also don’t know exactly. Kuat bener magnet yang cewek ini punya,’ batin Daniel.
Keberadaan Romeo terlupakan, bila saja celetukan Romeo urung terdengar.
“Ganggu aja,” keluh Daniel lirih, dalam gumaman yang lebih mirip orang menggerutu tak jelas.
“Udah dong, bengongnya. Ini, ada orang segagah dan setenar ini, yang memperkenalkan kalian berdua, terus enggak dianggap, gitu? Ck ck ck! Enggak pantas!” goda Romeo yang merasa kehadirannya dianggap sepi.
Daniel setengah mencibir.
“Aiyooh…, maunya dianggap apa, dong? Nyamuk? Yang suka berdengung di kuping orang?” cela Daniel sok sadis. Candaaan khas dua teman lama. Logat Singlish-nya yang kental menggelitik, mengundang lengkungan kecil di bibir Ferlita.
“Hmmm… begini caranya ngucapin terima kasih, Bro? Nyesel banget deh, sudah ngenalin ke Ferlita ke elo tadi,” Romeo menonjok bahu Daniel pelan. Membuat parasnya makin enak dilihat saja.
Tawa Daniel tertelan. Sebagai gantinya, dia mesem kecil saja, menyadari Ferlita masih berdiri tepat di depannya. Gadis itu tampak diam dalam ketenangan, terkagum menyaksikan keakraban dua orang Cowok yang jarang bertemu muka namun tetap memiliki suatu ikatan yang sungguh kuat satu sama lain.
Mau tak mau, pikiran Ferlita melayang ke semua kawannya. Semua, baik Cewek maupun Cowok. Teman yang dikenalnya sejak dia kecil hingga kini, menyandang status sebagai mahasiswi semester V fakultas sastra di sebuah perguruan tinggi swasta. Tanpa sadar, Ferlita menggigit bibir, menyadari mereka itu sekedar ‘datang dan pergi’ dalam kehidupannya. Pindah rumah, pisah kelas, lulus sekolah, hijrah ke kota lain dan seterusnya, seakan turut mengakhiri jalinan persahabatan antara Ferlita dengan mereka. Boleh dibilang, tak seorang kawanpun yang benar-benar pernah ‘dekat’ dengannya, apalagi bertahan sampai saat ini. Jarang ketemu, minim komunikasi, hilang nomor telepon, keengganannya bermedsos, dengan mudah merenggangkan bahkan membuat sebuah hubungan pertemanan tinggal kenangan semata. Tergerus, terlupakan untuk selamanya.
Tapi yang ada di hadapannya ini, apa? Romeo dan Daniel itu sama-sama cowok. Frekuensi ketemunya pun bisa dibilang sedikit, tapi uniknya, mereka bisa awet berteman begitu lama. Daniel kuliah IT di Singapura, sedangkan Romeo kuliah kedokteran di kampus yang sama dengan Ray, sepupu Ferlita. Dalam kecamuk perasaan iri, salut, sekaligus takjub, Ferlita menduga-duga, benarkah mereka berdua akrab cuma karena bertetangga semasa kecil dulu, ataukah mungkin mempunyai kesamaan hobby. Dipikirnya, umumnya cewek yang lebih mudah membina hubungan akrab karena sering curhat dan punya pokok bahasan lebih beragam. Dari bacaan bagus, mode, gossip sampai ngomongin gebetan. Pemikiran bahwa Daniel dan Romeo mungkin saja masih terhitung kerabat dekat, hinggap begitu saja di kepala Ferlita.
“Yuk, mending kalian duduknya di sana, lebih tenang. Biar makin asyik ngobrolnya,” ajak Romeo pada Daniel dan Ferlita. Ah, ingin sekali Daniel meresponinya dengan memeluk hangat Romeo, jika perlu, menyembah-nyembah atas pengertiannya yang luar biasa. Ditatapnya Romeo dengan pandangan bromance, sembari mendendangkan sebaris lyric you-know me so well dari lagu I Heart You-nya Smash, yang populer ketika dirinya baru duduk di bangku Sekolah Dasar.
“You are the best, Bro! Top banget, deh, tahu saja yang dimauin sama sohibmu yang terganteng ini,” bisik Daniel super pelandi telinga Romeo. Dirasanya, hatinya disergap suka cita yang demikian membuncah!
* * LL * *