“Dasar anak kesayangan!” Selalu itu yang terucap dari mulut Brenda jika kalah adu opini dengan Daniel. Dasarnya mau menang sendiri, kalau dia berkesempatan reinkarnasi, Daniel bisa pastikan, Brenda bakal memilih dilahirkan menjadi anak lelaki, mungkin sebagai anak lelaki satu-satunya dari seorang Agustin Reynand Sanjaya.
Daniel tersenyum kecut jadinya. Ironis, kehidupan ternyata tidaklah sesempurna dan semudah perkiraan orang banyak. Banyak hal yang tidak sinkron. Bapak Agustin Reynand Sanjaya adalah tokoh filantropi, tapi tidak peduli badai yang terjadi dalam hati seorang Daniel. Brenda Adriana Sanjaya adalah teman yang menyenangkan dan murah hati bagi sahabat-sahabatnya, tapi jarang akur dengan adiknya sendiri.
Terus Ferlita, eh? Apa, ya? Sosok yang digila-gilai kakak kelas, kan, kata Romeo? Kakak pengajar yang baik buat anak-anak SBI, dan pasti umat yang dikasihi Tuhan. Tapi kenapa? Kok sikapnya barusan, enggak banget?
Berbagai pemikiran aneh melintas di benak Daniel. Lebih mirip tudingan beberapa jari padanya, tepat menunjuk hidungnya.
‘Maksudnya, masalahnya di aku? No way!’ seketika Daniel menggeleng kuat-kuat.
“Fei, aku ingkar janji apa, sih?” tanya Daniel lembut. Sengaja ia memperlambat laju kendaraan. Dia ogah segera tiba di rumah Ferlita, sedangkan permasalahan aneh yang datang saja begini membingungkan baginya.
Ferlita masih diam saja. Daniel sudah ancang-ancang mau mengambil langkah berikutnya. Dia kan tahu, seorang pendekar saja kalau mau merebut kemenangan harus melancarkan berbagai jurus, ya apalagi ini, mau merebut hati seorang gadis, gitu lho!
“Oke, mungkin tanpa sengaja, ada sikapku yang bikin kamu kesal. Aku minta maaf, Fei. Kalau kamu mau nyebutin kesalahanku, aku bakal sangat berterima kasih. Tapi kalau enggakpun, aku nggak akan maksa. Aku.., cuma merasa nggak enak aja, pulang gereja kok malah begini suasananya. I am really sorry, Fei,” kata Daniel pelan. Faktanya, sebengal-bengalnya seorang Daniel, dia memang mewarisi hati lembut Mamanya. And he meant it! Dia sungguh-sungguh, dengan ucapannya, khususnya dua kalimat terakhirnya.
Hati Ferlita langsung lumer. Dia tersadar.
‘Ya, pulang misa bukannya berbagi damai sejahtera, suka cita, kok malah jutekan begini?’ pikirnya sembari melakukan introspeksi. Dua detik kemudian Ferlita menoleh ke samping.
“Dan, aku juga salah, kok. Nggak semestinya aku semarah ini, sama kamu. Ih, malu-maluin banget,” kata Ferlita lirih.
Daniel tersenyum mendengarnya.
“Nggak apa kok Fei. Serius, nggak apa-apa. Eng.., kamu nggak nyaman, ya, aku tadi sempat ketemu dan ngobrol sama Bu Edna?” tebak Daniel yang segera diangguki Ferlita.
“Ya. Kamu kan sudah janji, mau nunggu di dekat gerbang kompleks. Tapi kenapa?” balas Ferlita.
Merasa mendapatkan petunjuk, Daniel manggut-manggut.
“Oh, rupanya itu masalahnya. Oke, aku ngaku aku salah. Tadi itu, aku tanya satpam kompleks, di mana rumah Bu Edna. Dari keterangan satpam, aku simpulkan posisi rumah Bu Edna lumayan juga, buat ditempuh dengan jalan kaki. Beberapa blok dari gerbang. Satpam juga bilang, posisinya seberangan sama lapangan warga. Nah, pertimbanganku, kamu kan mau pergi misa, masa harus keringetan jalan kaki, sih? Terus, aku kan juga bisa parkir di lapangan, jadi nggak ganggu, gitu. I’m sorry if you think that I broke the promise,” ucap Daniel dengan rendah hati.
Ada tarikan ke atas, di kedua sudut bibir Ferlita, mendengar Daniel mengaku salah dan meminta maaf lebih dari sekali, padahal baru sebentar bersamanya. Setidaknya, itu menunjukkan jiwa besar dan ketulusannya.
‘Pasti ke Papanya begitu juga, deh. Semangat ya, Om, anak Om pasti juga sering minta maaf ke Om, kan? Terusin Om, jadi papanya Daniel, nggak usah ganti profesi,’ batin Ferlita.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau begitu, besok..,” Ferlita ragu-ragu.
Daniel hampir bersorak karenanya.
“Ya? Besok?” sambut Daniel antusias.
Perasaan Ferlita tergelitik.
‘Ih, Daniel, kamu ternyata menyenangkan juga, orangnya!’ pikirnya.
“Ya sudah, besok mau makan di mana?” tanya Ferlita kemudian.
“Eng.., kamu sukanya makan apa?” Daniel balik bertanya.
Ferlita mengedikkan bahu.
“I prefer vegetarian food, actually. Tapi kamu belum tentu suka, kan?” Daniel terkesan pada kalimat Ferlita. Gadis ini tidak ragu mengemukakan pendapat, tapi tetap mempertimbangkan lawan bicaranya. Daniel mesem.
“Kalau Dintaifung, mau? Pilihan sayurnya kan, banyak. Juga menu lainnya,” usul Daniel.
“Boleh,” sahut Ferlita.
“Yang di mana?” tanyanya.
“Kalau yang di PS, kejauhan nggak? Aku jemput kamu saja di rumah. Boleh, ya? Please..,” bujuk Daniel.
Ferlita membeku. Kalimat pertama, tidak masalah buatnya. Yang kedua, oh, jelas masalah. Tak dapat dibayangkannya apa reaksi Pak Pedro kalau Daniel menjemputnya di rumah. Eh, tapi ini bukan pertama kalinya dia dijemput Cowok untuk pergi makan di luar, sih. Menjelang kelulusan SMU, Ernest pernah menjemputnya. Ernest, yang ditaksirnya diam-diam dan ternyata mempunyai nyali mengajaknya keluar. Tapi ya itu, masalahnya. Begitu lulus SMU, Ernest kuliah di Kanada. Jadi Ernest memang spontan saja mau menraktirnya sebelum keberangkatannya. Dalam kapasitas apa, coba? One of his friends, that’s all, sebab ternyata di restaurant, beberapa kawan mereka sudah tiba duluan. Ernest ternyata berbagi tugas sama sepupunya, menjemput teman-teman wanita. Kebetulan, rumah Ernest searah dengan kediaman Ferlita. Game over, kuncup bunga yang belum sempat merekah, sudah keburu menciut. No, no, itu kurang tepat. Lebih pantas perumpamaan putri malu yang tenang damai, mendadak disentil, bukan dengan sentuhan tapi embusan napas. Sial! Tetap saja terusik, kan? Dan bekas ‘pengharapan’ yang sempat ditebarnya itu, menjadi sia-sia. Meninggalkan lubang yang baru di hati seorang Ferlita di penghujung masa remajanya.
Begitu duduk di bangku kuliah, ada pula yang juga mengajak Ferlita keluar untuk makan atau nonton. Sebutlah Julian, atau Nathan. Masing-masing dari mereka malah sempat dua kali mengajaknya makan serta nonton, tentu setelah melalui rangkaian investagasi awal dari Pak Pedro. Buntutnya? Tidak ada perubahan atau perkembangan, atau mungkin mereka memang sekadar testing the water. Come and go easyly. Just like that. Dan Ferlita memang tak perlu bertanya toh, mengapa mereka tak lagi mengajaknya keluar atau bermain ke rumahnya? Di mana pentingnya, coba, mereka toh, belum pernah menyinggung tentang perasaan? Ya apalagi kalau tanyanya ke Nathan, yang jelas-jelas mendekatinya untuk mengorek keterangan tentang Janetta, teman sekelas Ferlita, yang di kemudian hari, menjadi pacar Nathan. Sama halnya dengan Frans yang pernah main ke rumah, itu kan karena mau tanya-tanya ke dia, bisa tidak, memberikan les privat ke adiknya? Itu doang.
‘Masih ingat kan semua? Belum amnesia kan? Jadi, nggak boleh ge er, Ferlita! A big no!’ suara hatinya bagai memperingatkan gadis itu.
“Kalau enggak boleh jemput, ya sudah, deh. Nggak apa. Cuma sebetulnya aku nggak tega, kalau kamu nyetir ke sana. Atau, ke Dintaifung yang lebih dekat sama rumahmu saja, ya?” tanya Daniel kemudian.
Ferlita mengerjapkan matanya. Dia menimbang dalam diam. Cowok ini lumayan baik, di matanya. Duh, mendadak dia tersapa rasa kasihan untuk menolak kemuan Cowok ini.
“Eng, kamu jemput ke rumah juga nggak apa, sih. Tapi jangan kaget, Omku bakal tanya macam-macam. Soalnya, Omku itu..,” Ferlita tak melanjutkan ucapannya.
* * LL * *