“Jadi, maksudnya? Oh, ya, ya, aku ngerti maksudnya. Aku bukan siapa-siapa, di rumah ini. Aku cuma beban. Beban buat Om dan Ray. Aku menyesal, kenapa waktu kejadian dulu, aku pas di sini. Kalau aku lagi sama Papa, Mama dan adik-adikku, aku pasti sudah bersama mereka sekarang. Dan aku nggak jadi beban buat siapa pun, nggak bikin susah Om dan Ray,” keluh Ferlita dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah berbalik badan, hendak meninggalkan ruangan kerja Om-nya, tetapi tangan Ray menjangkau lengannya.
“Ferli, kamu ngaco! Jangan sekali-kali ngomong begitu! Nggak cuma aku dan Papa yang sedih dengarnya, Tuhan juga, tahu!” kecam Ray dalam kesal yang berpadu dengan rasa sedih.
Ferlita tersentak. Dalam keadaan normal, pasti sudah dibalasnya perkataan Ray dengan histeris. Tapi barusan itu, rasanya dia seperti tertegur. Tertegur lantaran tersadar bahwa dirinya kurang bersyukur selama ini.
Pak Pedro menghela napas panjang, membimbing Ferlita untuk duduk di kursi.
“Ferli, kamu ini salah paham. Kamu itu masih capek, mana bisa diajak berdiskusi masalah begini? Nah, jangan emosional. Istirahat dulu, terus mandi dan makan, sana. Nanti, kalau jetlag-mu sudah berkurang, kita obrolin soal ini, dengan kepala dingin dan hati yang tenang,” bujuk Pak Pedro, yang menyadari tak mungkin lagi dapat menyimpan sendiri semua permasalahannya. Ferlita membeku di tempat duduknya.
*
Segala hal yang seolah saling bertentangan, seakan dengan mudah diterjemahkan orang sebagai ‘lawan’. Terang dengan gelap, sukses dengan gagal, tangis dengan tawa. Padahal, sejatinya tidak sesederhana itu. Masing-masing dari mereka, bisa saja merupakan satu paket yang saling melengkapi. paket yang tidak terpisahkan. Kesatuan.
Itu pula yang dialami oleh tiga orang yang saling mengasihi satu sama lain : Pak Pedro, Ray dan Ferlita. Mulanya Ray tetap berkeras akan mempertahankan rumah penuh kenangan, yang selama ini menjadi saksi bisu tahun-tahun penuh kebersamaan mereka. Namun dia toh tak mampu berbuat banyak, tatakala mengetahui bahwa hutang perusahaan Papanya yang telah jatuh tempo ternyata demikian besarnya.
Sebanyak apa pun gelaran event yang diambilnya, tidak terlampau berarti untuk menutup hutang yang kian membengkak, belum lagi bunga gadai yang tak kecil. Satu persatu asset perusahaan sang Papa terpaksa dijual, karena Pak Pedro melarang Ray berkorban lebih banyak lagi untuknya. Sekian bulan berlalu. Setelah melalui banyak pertimbangan, saling terbuka di antara mereka, keputusannya adalah merelakan keluar dari kediaman Pak Pedro.
Namun, baru saja Ray belajar berbesar hati menyetujui keputusan Papanya, badai lain keburu menerjang. Sebagai akhir dari merosotnya kegiatan operasional sekian lama, perusahaan Pak Pedro dinyatakan bangkrut. Tentu saja itu artinya harus mengeluarkan sejumlah anggaran lagi untuk membayar hak para karyawan yang tersisa. Berbeda dengan ketegaran yang dicitrakannya di depan Ray dan Ferlita, rupanya Pak Pedro amat terpukul. Sulit baginya menerima kenyataan, dirinya tak lagi mampu menyelamatkan usahanya, sementara kedua anak yang dikasihinya justru semakin sibuk mencari peluang untuk mendapatkan penghasilan. Hatinya tidak ikhlas, sungguh!
Pak Pedro tahu, Ray nekad menyewakan apartemennya demi menambah pos pemasukan, lantas tinggal bersama di kediaman mereka agar dapat mendampingi dirinya. Ray juga tak segan ‘turun kelas’, dengan menjual kendaraannya dan menggantinya dengan yang lebih murah, di samping membantu menjual sisa asset perusahaan sang Papa.
Dan Ferlita? Di mata Pak Pedro, Anak itu memang masih mendengarkan larangannya agar tidak pindah ke kelas sore, tetapi Pak Pedro tahu, Ferlita kini tak hanya mengajar di tempat kursus, dia juga membuka kelas privat, baik belajar bahasa Inggris maupun bahasa Mandarin, di ruang tamu. Mengapa di ruang tamu? Agar dia dapat tetap menemani Om-nya tercinta yang kini seharian di rumah. Dua anak terkasihnya itu seperti telah berbagi tugas dengan baik. Pak Pedro tak sanggup menolak permohonan Ferlita yang datang padanya dengan mata berkaca-kaca, untuk menjual kendaraan, perhiasan, hingga koleksi tasnya, sekadar untuk dapat terus mengulur waktu mereka tinggal di rumah tersebut, terus membayar bunga gadai yang terasa mencekik.
Dalam kondisi seperti itu, tentunya komunikasi Ferlita dengan Daniel jauh berkurang. Tak mungkin baginya berbagi cerita atau kesedihan dengan Daniel. Tidak, sebab Daniel sedang ujian trimester. Dia juga letih bersandiwara, membalas ungkapan kerinduan Daniel dengan senyum palsu, seolah dirinya juga sama dengan Daniel, senantiasa dimabuk asmara. Tidak, seringkali apa yang harus dipikirkan dalam hidup bukan sekadar urusan hati dengan seseorang yang jauh di mata saja. Bukan semata tentang perasaan dan janji semu sepasang kekasih virtual. Banyak realita di depan mata, yang, tentu saja, tak seindah American love story yang umumnya berakhir bahagia, tak semanis madu, bukan juga setenang telaga.
Ferlita juga tak mungkin menghubungi Edward untuk sekadar meminta pendapat. Ya, dalam kapasitas apa? Dia tahu, setiap orang punya masalah dan prioritas masing-masing, kan? Pikirnya, siapa tahu Edward juga mulai dekat dengan seseorang, sehingga membuatnya kian jarang berada di Jakarta. Ya, kan? Sementara Bu Edna? Omnya saja kelihatannya mati-matian menutupi apa yang menimpa keluarga mereka, meski telah bersahabat lama. Memangnya dia berhak, membocorkannya? Apa artinya perasaan, dalam kesesakan macam begini? Yang harus diutamakan itu logika, usaha, dan mungkin doa yang lebih kencang, supaya ada keajaiban!
Selepas senja, ruang tamu kediaman Pak Pedro telah sepi. Ferlita telah mengantarkan Fia dan Reni, yang belajar bahasa Mandarin padanya, hingga ke pagar depan. Dengan membawa sepiring puding coklat, dihampirinya Pak Pedro, yang duduk termenung di ruang kerjanya.
“Om, makan puding, ya? Tadi siang pas pulang kuliah, aku sempat bikin puding,” Ferlita menarik kursi dan duduk di depan Pak Pedro.
Pak Pedro menggeleng. Ditatapnya dengan sedih wajah Ferlita. Wajah itu begitu lelah, mirip wajah putranya yang selalu pulang larut malam dan bahkan terkadang tidur di venue, demi memastikan timnya bekerja all out untuk event yang harus berlangsung pagi hari agar berjalan sempurna, tanpa cela, dan tentu saja mendatangkan prospek selanjutnya baginya. Betapa dalam penyesalan Pak Pedro. Sungguh, bukan kehidupan macam ini yang diinginkannya. Mana ada orangtua yang sanggup melihat anak-anaknya membanting tulang, sedangkan dirinya justru terpuruk dan tak berdaya begini? Dia telah berusaha mencari celah usaha akhir-akhir ini, tetapi kesempatan itu belum juga terbuka. Semua pintu seolah tertutup.
“Om, Om harus makan. Hampir seminggu ini Om susah, makannya. Aku panggil dokter, ya, biar diperiksa? Takut Om kenapa-napa,” tanpa menunggu persetujuan Pak Pedro, Ferlita langsung menghubungi dokter keluarga mereka, yang memang membuka praktek di rumah, di kompleks perumahan yang sama dengan mereka.
Pak Pedro menggeleng ketika Ferlita hendak menyuapinya puding di piring. Ferlita menempelkan punggung tangannya ke dahi Om-nya. Agak hangat. Demikian pula lehernya.
“Kalau begitu, Om istirahat di kamar saja. Ayo, kuantar, Om,” Ferlita menggamit lengan Pak Pedro. Dia tak menunggu Pak Pedro bicara, sebab sejak kemarin, Pak Pedro tak mau bicara sama sekali. Bukan semata karena dia tak ingin bicara, tetapi sulit sekali membuka kerongkongannya. Sakit, sebagaimana yang dirasanya di sekujur tubuhnya, yang dalam tempo singkat seperti dihajar berbagai macam kendala kesehatan yang tak mungkin diceritakannya pada Ray maupun Ferlita.
Pak Pedro menatap wajah Ferlita. Matanya membasah, ketika tangannya membelai pipi gadis itu.
‘Om sudah gagal memenuhi janji ke Papamu, Fer,’ sesal Pak Pedro dalam hati.
“Om, jangan begini, ya. Aku tahu semuanya ini berat buat Om. Tapi kan, Om sendiri yang bilang, kita harus merelakannya. Yang penting, urusan hutang piutang di kantor sudah hampir beres. Sedikit lagi, sementara beberapa asset juga belum terjual. Semuanya baik-baik saja, kok, Om. Terus, Ray bilang, beberapa deposito juga hampir jatuh tempo, kok. Tenang saja, semoga jumlahnya cukup, untuk menebus rumah ini dan membayar sisa hutang,” kata Ferlita lembut.
Pak Pedro menggeleng-gelengkan kepala, matanya terpejam.
‘Lalu ke depannya, bagaimana dengan masa depan kalian berdua? Orang tua macam apa aku ini?’ keluh Pak Pedro tanpa suara. Kesedihan yang hebat menderanya, bercampur dengan rasa sesal yang tak terkira.
Melihat air mata bergulir di pipi Pak Pedro, hati Ferlita bagai teriris. Dihapusnya tetes bening itu, dipeluknya Pak Pedro dengan penuh kasih.
“Om istirahat di kamar, ya, dokter Richard nanti datang,” bujuk Ferlita, namun Pak Pedro memberi isyarat agar Ferlita meninggalkannya. Dengan berat hati, Ferlita mengangguk. Dia tidak meninggalkan ruang kerja Pak Pedro, tetapi duduk di sofa, menjauh, demi memberi ruang pada Om-nya. Tak lama, dilihatnya Pak Pedro mengambil kertas dari laci meja, menuliskan sebuah surat yang demikian panjang. Surat tersebut dilipat dan dimasukkan ke dalam amplop, lantas disimpan dalam laci yang segera dikuncinya. Hati Ferlita serasa dibetot, gara-gara sebuah bayangan buruk melintas. Dihalaunya dengan garang.
‘Tidak! Jangan, Tuhan! Jangan ada apa-apa lagi!’ jerit hati Ferlita.
Ketika tangan Pak Pedro melambai padanya, Ferlita segera mendatangi Pak Pedro. Dipikirnya, Pak Pedro akan mengatakan sesuatu tentang surat yang ditulisnya, namun tidak. Om-nya itu seperti minta tolong digandeng ke kamarnya. Ah, tentu saja Pak Pedro lemah, karena dia sudah susah makan berhari-hari.
*
Ray menjauh dari kebisingan venue, kala melihat ada panggilan telepon dari nomor telepon genggam Ferlita.
“Ya, Fer?” sapa Ray.
Ferlita menegarkan hatinya dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata-kata. Ray menanti dengan hati berdebar.
“Ray, ada yang harus aku sampaikan. Tapi jangan kaget, ya?” suara Ferlita terdengar begitu pahit.
* * Lucy Liestiyo * *