“Aku pesan lumpia mangga dan udang, terus dumpling sayuran dulu, bantuin ngabisinnya, ya?” tanya Ferlita.
“Iya,” sahut Daniel pasrah.
“Kamu mau makan apa?” tanya Ferlita.
“Gampang, aku bisa makan apa saja. Kamu pesan dulu, pilihin buat aku juga boleh,” sahut Daniel.
“Oke,” kata Ferlita, yang lalu memesan segera makanan utama serta taiwanese oolong hot tea untuk minuman mereka. Tak lupa, dipesannya pula mochi lava sebagai dessert. Daniel hanya menambahkan sesekali, ketika sang pelayan mencatat pesanan mereka. Selagi menanti pesanan diantarkan, mereka mengobrol.
“Fei, kamu sama Ray akrab banget, ya? Kalian berdua sama-sama anak tunggal, ya?” tanya Daniel.
“Ray anak tunggal, mamanya meninggal saat melahirkan dia. Aku..., enggak. Aku anak pertama, sebetulnya,” Ferlita menelan ludah yang terasa pahit. Luka itu masih membekas!
Daniel yang terus mencermati ekspresi Ferlita hingga mengabaikan menu pembuka yang telah tiba, melihat selintas kemurungan di wajah gadis itu.
“Eh.., kalau belum mau cerita, lain kali saja. Kita ngobrol yang lain saja. Sambil dimakan, Fei,” ralat Daniel.
“Nggak apa?” tanya Ferlita hendak menegaskan.
“Ya dong, enggak apa-apa. Cerita yang lain saja. Kuliah kamu, hobby kamu, kegiatan kamu ngajar les, bantuin Bu Edna, ikut kegiatannya Ray, apa saja deh, yang aku boleh tahu,” sahut Daniel. Pengertian banget, sih, peka, pula! Juara banget ini, mah!
“Hm, oke. Kalau aku yang tanya ke kamu, nggak keberatan jawab?” tanya Ferlita.
“Enggak,” sahut Daniel mantap.
“Eng, kamu berapa bersaudara, Dan?” tanya Ferlita, padahal dia sangat tahu, Bapak Agustin itu punya satu putra dan dua putri. Daniel tertawa kecil.
“Eh, kenapa?” Fei terusik.
“Yakin, mau tanyanya itu?” Daniel balik bertanya. Jelas dia merasa geli, mana mungkin Ferlita yang menurutnya pasti update info umum, tak tahu jumlah anak pak Agustin. Itu lho, si konglomerat pemilik kelompok perusahaan terkenal di kawasan Indonesia bagian barat yang mayoritas bidang usahanya berfokus ke manufaktur dan sering dipuji media karena menyerap banyak tenaga kerja itu. Tinggal di googling juga muncul informasi macam itu.
Ferlita menyadari, telah melontarkan pertanyaan bodoh, barusan.
“Ya.., kalau nggak keberatan sih, maksudnya, cerita tentang kakak dan adikmu,” cetus Ferlita, mengundang senyum Daniel. Barusan tanya berapa bersaudara, belum dijawab, sudah minta diceritain soal mereka. Ferlita, Ferlita! Bagusnya, Daniel merendahkan hati, pantang mengacau.
“Mulai dari mana, ya, ceritanya? Nggak ada yang istimewa, sih. Aku tiga bersaudara, satu kakak, satu adik, dua-duanya perempuan. Terus, sebagaimana kakak beradik lainnya, kadang berebut sesuatu, kadang baikan. Sudah, begitu saja. Oke, kukasih bonus, ya? Dari kecil, aku tinggal sama tanteku di Singapura, tante Ann namanya. Aku pasti segera kenalin kamu ke dia. Besok, ya, via skype? Boleh? Orangnya asyik, kok, the best auntie in the world!” tutur Daniel ringan, tanpa terkesan hendak menutupi sesuatu. Faktanya, tak perlu usahapun, kalimatnya tentang tante Ann sudah sanggup membuat badan Ferlita panas dingin. Boro-boro Ferlita memikirkan hal lainnya.
‘Dikenalkan? Dalam kapasitas apa? Sepagi ini? Kamu kok, high speed banget, sih!’ pikir ferlita dengan erasaan tak menentu.
“Oh..,”sahut Ferlita macam orang kurang konsentrasi gara-gara dehidrasi.
“Kok, oh, sih? Besok, ya, pas aku jemput dari kampus terus antar kamu ke tempat kamu kasih les?” Daniel melancarkan serangan berikutnya. Ferlita nyaris tersedak mendengarnya.
“Memangnya, aku sudah bilang kalau kamu boleh ke kampusku dan ke tempat kursus?” tanya Ferlita datar.
Daniel memamerkan senyumnya yang biasanya sanggup membuat para teman gadisnya klepek-klepek, lantas berkata, “Belum, sih. Tapi masa kamu tega buat ngelarang, sih? Aku yakin banget, kamu orangnya nggak tegaan. Kemarin sore saja, aku lihat kamu telaten banget ngebujuk salah satu anak yang kelihatan murung dan nggak bersemangat, sampai dia mau bernyanyi dan bermain sama yang lainnya. Ya, masa sih, ke aku tega, sengaja mau bikin aku sedih.”
Ferlita tersipu mendengarnya. Dia tahu siapa yang dimaksud Daniel. Pasti Celia, yang mendadak ngambek di tengah-tengah permainan. Dia pun mengira-ngira, berapa lama Daniel memerhatikan semua kegiatan di pendopo.
“Dih, apa sih! beda, lah! Celia kan, anak kecil,” ucap Ferlita, nyaris manyun.
“Ya, kalau sama anak kecil saja sayang, apalagi sama orang yang sudah dewasa, Fei. Harusnya sih, lebih sayang. Logikanya begini, kalau ngomong ke anak kecil itu kan bisa dibilang, 80% aksi, 20%nya reaksi dari si anak. Itu saja kamu bisa sebaik dan sesabar itu. Nah, kalau ke orang dewasa, itu fifty-fifty. Artinya, usahamu nggak perlu sebesar kalau berurusan sama anak kecil. Timbal baliknya lebih bisa diukurlah. Malah kalau kamu mau, aku bisa kasih kamu 40% banding 60%, atau 35% dibanding 65%? Berapa pun, asal jangan 0% dibandingkan 100%..,” urai Daniel lancar.
Ferlita geleng-geleng kepala.
‘Tahu, tahu, otakmu itu pasti pintar, secara, kamu bisa dapat beasiswa, gitu lho! Belajar IT, pula! Tapi nggak mesti bikin aku speechless juga, kali!’ batin Ferlita.
“Aku jadi penasaran, deh, kamu itu.., tukang paksa, ya? Hm, pastinya, sih! Di mana saja, Dan? Di kampus, di rumah, di..,” ucapan Ferlita terpotong melihat pelayan mengantarkan soup ginseng ayam kampung pesanan Daniel.
“Enggaklah. Kamu juga nggak terpaksa, kan, kemari?” goda Daniel seenaknya.
Ferlita berdecak dan hampir saja menjwab, “Ya memang enggak terpaksa sih, tapi kan juga bukan sukarela. Apa namanya, ya? Terkondisi?”
“Dimakan dulu deh,” kata Ferlita, yang yakin bakal kalah adu pendapat sama Daniel dan mengurungkan niatnya melontarkan opini.
Daniel mengangguk dan menawari Ferlita soupnya. Ferlita menolaknya dengan gelengan kepala, memerhatikan Daniel diam-diam. Sesaat, keduanya menikmati makanan masing-masing tanpa bicara. Begitu hening, hingga percakapan dari meja di mana Edward berada, terdengar oleh mereka.
“Jadi gimana nih, Bro Edo, sang burung yang sudah kembali ke sarang? Sudah siap lahir dan batin, ya, menerima tanggung jawab sebagai pewaris usaha turun temurun Laksana family? Udah nggak menganggap itu sebagai momok lagi, kan? Enggak ada kesempatan mengulur waktu balik ke Jakarta, yang mengharuskan keluar dari kerjaan di cafe yang menjadi tempat perlindungan dan alasan buat tetap di Tucson, kan? Atau, heh? Jangan bilang ke kita kalau elo diultimatum harus balik, diculik paksa, atau... titik-titik!” suara Cowok yang duduk tepat di depan Edward terdengar nyaring.
“Jangan gitu, Honey! Pasti nggak gitu, ceritanya. Edo cukup mature, kan, sadar sama posisinya. Ya, apalagi, ingat nggak, curhatannya dulu soal adiknya yang sejak masih bocah aja sudah mencanangkan cita-cita mau jadi dokter, gara-gara terobsesi sama predikat dokter kecil yang waktu itu disandangnya. Ini flashback sedikit, ya, aku ingat, waktu itu Edo bilang, permintaan adiknya dilabeli dengan harga mati : HARUS! Siapa lagi yang bisa diharapkan buat meraih master of business administration dan sepenuhnya terjun di dunia bisnis jikalau bukan Edo seorang, kan? Proud of you, Bro Edo, lepas dari cerita galaunya kamu dulu kita-kita, sewaktu bilang, adikmu sudah merasa posisinya di rumah bakal aman begitu dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran di sebuah universitas di pinggiran kota Jakarta sekian tahun lalu. Aku kutip bahasamu dulu : jelas banget betapa dia melarikan diri jauh-jauh dari kewajiban meneruskan usaha keluarga, lalu melemparkan tanggung jawab berat itu ke pundak gue, ha ha ha..,” urai cewek yang duduk tepat di sebelah cowok yang tadi bicara.
“Vera, honey! Kamu bikin aku cemburu, tahu nggak! Muji-muji Edo, bilang dia dewasa, di depanku pula, terus masih ingat banget kalimatnya dia. Kamu...!” Cowoknya pura-pura ngambek, tetapi derai tawa teman-teman mereka yang lain menggema.
“Ya ampun, Ivan sayang, siapa juga yang mau bikin kamu cemburu? Enggaklah, kamu tetap juara dan stu-satunya, di hatiku. Yang model Edo nggak usah dicemburuin, teman kita satu gank, juga!” Vera membisiki Ivan sambil mengelus-elus pipinya. Teman-temannya yang lain langsung menyoraki pasangan yang awet pacaran sejak SMU hingga sekarang itu, tak terkecuali Edward.
Edward tidak tahu, di tempat duduknya, Daniel membatu. Terbayang olehnya skala perusahaan papanya yang jauh lebih besar ketimbang usaha keluarga Edward. Dia terheran, Edward yang dipikirnya tumbuh dalam keluarga yang hangat, dan dipastikannya pula tidak mempunyai papa sediktator papanya, bisa segalau itu. Sontak Daniel terkenang upaya papanya membentuknya dengan keras, menempanya menjadi pribadi mandiri dan tegar, demi mempersiapkan sang putera mahkota untuk mewarisi kerajaan bisnisnya pada saatnya.
‘Dia, yang aku yakin enggak dididik sekeras aku, sempat mengulur-ulur waktu biar nggak secepatnya balik ke Jakarta? It means, aku sangat boleh berlama-lama di Tucson nanti. Kalau perlu nggak usah balik ke Jakarta. Eh? Nggak mungkin! I found a home here, where my heart is! Ah, Fei, kamu bikin aku super galau!’ pikir Daniel.
“Dan, dari tadi aku perhatiin, kok kamu cuma lahap makan soupnya aja? Tadi katanya mau bantuin aku ngabisin yang lainnya? Lagi nggak enak badan?” tanya Ferlita, mengejutkannya.
‘Iya, Sayang. Aku sakit parah, kena virus jahat tiga hari terakhir ini. Virus cinta. Aku bisa mati kalau kamu nggak kasih penawarnya. Bilang kamu mau jadi pacarku, Fei. Oh, oke, belum pacar. Teman spesial dulu, deh!’ jawab Daniel dalam hati.
Daniel menengadahkan wajahnya, menatapnya lalu menunduk. Mengenangkan Ferlita ke ekspresi dan bahasa tubuh Rangga pada Cinta dalam AADC 2 usai Cinta berkata, “Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu, jahat.” Mana mungkin hati Ferlita tidak merasa ngilu karenanya? * * Lucy Liestiyo * *