“Benar, Bu Edna yang buka kost-kost an di rumah karena kedua anaknya kerja di luar kota dan suaminya telah lama meninggal dunia?” tanya Ferlita, hendak memastikan dia tidak salah orang.
“Betul. Aku malah belum hafal bloknya, karena sudah lama banget nggak ke sana. Tapi pikirku, gampanglah, bisa tanya ke satpam kompleks atau telepon Beliau lagi pas sampai di gerbang kompleks nanti. Kamu kenal?” tanya Edward lagi.
Ferlita tersenyum kecil dan kelepasan bicara, “Lumayan kenal. Dan bahkan aku berutang penjelasan, soalnya dua kali nolak bantuin Bu Edna ngajar anak-anak SBI.”
Edward terbelalak dan menyahut, “Oh, ya? What a smal world! Mendiang suaminya Bu Edna itu, semasa hidup sering terlibat di proyek yang sama dengan Papaku. Perusahaannya dijual ke orang, karena nggak ada keluarganya yang melanjutkannya sepeninggal suaminya. Mama yang memang bersahabat dengan Bu Edna, menyarankan agar semua grup perusahaan Papa memakai jasa catering Bu Edna, yang dijalankan semenjak suaminya meninggal.”
“Mau ikut sama aku, ke rumah beliau sekarang? Semoga nggak lama, setelah itu aku antar kamu?” Edward menawarkan.
Ferlita terdiam beberapa detik. Ditatapnya langit yang kian mendung. Lalu antrian calon penumpang taxy yang bukannya berkurang malah bertambah. Dibukanya aplikasi taxy online. Percuma. Notifikasi server is bussy diperolehnya berkali-kali. Dia mengangkat bahu.
“Ngerepotin, nggak Bang?” tanya Ferlita yang tampak mulai putus asa.
Edward tersenyum.
“Engga dong Eli. Kan, aku yang nawarin. Tunggu di sini ya, aku ambil mobil dulu,” ucap Edward.
“Eh, nggak usah. Aku ikut ke parkiran saja. Tapi aku sms Om Pedro dulu, bilang mau singgah ke rumah Bu Edna. Biar beliau nggak khawatir,” kata Ferlita.
Hati Ferlita berbisik, bahwa Edward tidak termasuk makhluk berbahaya yang dapat menyebabkan angin p****g beliung dalam kehidupannya. Barangkali dia justru diutus Tuhan untuk menenangkannya melalui pinjaman suara yang khas. Ya, suara yang dulu teramat akrab dengannya.
“Oke,” sahut Edward, menunggu dengan sabar Ferlita mengetik dan mengirim sms.
“Yuk,” kata Ferlita kemudian. Dia heran, mengapa hatinya sedikit terhibur, padahal sejak siang tadi, rasanya demikian berat dan penat. Lantas perasaan riang itu menyertainya hingga mereka tiba di tempat parkir dan Edward membukakan pintu mobil untuknya. Rasa nyaman itu menyapa, bersama godaan untuk mengeluarkan unek-uneknya, seolah pada kawan lama yang dapat dipercaya.
‘Eh? Kawan lama? Memangnya aku punya? Ah. Masa bodoh! Semacam itulah!’ pikir Ferlita ringan.
“Gimana kerjaan, Bang? Enjoy?” tanya Ferlita saat kendaraan yang mereka tumpangi meninggalkan area parkir di dalam gedung.
“Seru. Tapi dasar new bie, masih banyak yang musti dipelajarin, lah. Tadi kamu bilang, ngajar anak SBI? Wah, hebat kamu. Sudah kuliah, ngajar di tempat les, suka bantu-bantu Ray, masih sempat bantu Bu Edna, pula..,” komentar Edward.
“Ah, biasa aja. Justru.., aku lagi bingung nih Bang, belakangan ini kayanya aku rada kacau, deh. Kaya’ bukan aku yang biasa,” Ferlita setengah mengeluh. Dia sampai lupa bertanya, bagaimana Edward tahu bahwa dia mengajar di tempat kursus.
“Kenapa, Eli? Kerepotan ngatur jadwal, ya? Iya sih, waktu itu saja sampai malam, ya di rumah. Pas ngobrol sama aku, setelah semua urusannya selesai, Ray kelihatan nyesel banget,” cetus Edward.
“Bang Edo sempat ngobrol sama Ray? Kok dia nggak cerita, ya? O, jadi Ray juga yang bilang kalau aku ngajar di tempat kursus,” kata Ferlita.
“Bukan cuma itu, Eli. Dia kan juga ditunjuk untuk nanganin acara launching produk baru akhir bulan depan. Kebetulan, aku in charge. Ya jelas kami banyak ngobrol, termasuk ngobrolin soal kegelisahan dia karena kamu..,” Edward urung melanjutkan kalimatnya.
“Karena setiap hari aku pergi sama Daniel? Ah, dia pasti tahu dari Om Pedro,” tebak Ferlita, agak tersinggung. Edward langsung menyadari hal itu dan tahu diri.
“Eli, kalau mau minum, ambil sendiri, ya, di sebelah kirimu, di pintu,” Edward mengalihkan pembicaraan.
“Oh, iya, makasih, Bang. Duh, macet banget, ya. Kalau tadi tetap nunggu taxy, mungkin bisa sampai tengah malam,” komentar Ferlita.
“Dan aku juga pasti masih di sana. Mana tega ninggalin kamu nunggu taxy yang nggak jelas kapan bakal datang. Oh, ya, aku baru ingat, tadi naruh coklat, di laci dashboard. Lumayan buat ngusir bete selagi macet begini,” Edward memencet tombol di laci dashboard, tepat di depan Ferlita. Terpampanglah tumpukan coklat Lindt berbagai varian.
“Ambil varian yang kamu suka, Eli. Tenang, nggak secepat itu bikin gendut, kok. Aku saja yang tiap hari ngemilin coklat, segini-segini saja,” kata Edward mempersilakan.
Ferlita tertawa dan berkomentar, “Baru tahu, ada Cowok yang doyan nyetok coklat di mobilnya.” Edward tertawa kecil menimpalinya.
“Jakarta itu identik sama macet, dan aku masih kekeuh *[1] ogah pakai supir, padahal sementara ini pekerjaanku banyak yang menuntutku mobile. Jadi, yah.., anggap kompensasi, deh,” kata Edward dengan mimik muka lucu. Diam-diam, Ferlita menikmati melihat wajah Edward dari samping. Membandingkannya dengan... ah! Dia auto jengah jadinya.
“Aku ambil yang dark chocholate, tapi bantuin makannya, ya, Bang,” pinta Edward.
“Boleh,” sahut Edward ringan.
Ferlita hendak menutup laci dashboard usai mengambil sebatang coklat, namun tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Edward yang bermaksud menutupkan laci tersebut. Bak terkena setrum, keduanya terkejut.
“Eh, maaf. Nggak sengaja. Benar-benar nggak ada maksud,” kata Edward sungguh-sungguh, lalu menarik tangannya, meletakkannya di atas kemudi.
“Nggak apa, aku tahu kok, Bang Edo bukan Cowok model begitu,” sahut Ferlita spontan. Ditutupnya menutup laci yang terbuka. Tetapi, sebuah foto meluncur keluar, jatuh di atas sepatunya.
Edward nyaris bertanya, “Cowok model begitu maksudnya? Dan gimana caranya kamu bisa menilaiku seyakin itu?” tetapi foto yang terjatuh mengalihkan perhatiannya, terlebih, sekarang Ferlita memungut foto tersebut dan mengamatinya.
“Ini siapa, Bang?” tanya Ferlita saat menimang foto di tangannya. Seorang gadis kecil berwajah menggemaskan, berusia sekitar empat tahun. Pipinya chubby, matanya jeli. Mendadak, pikiran negatif melintas di benak Ferlita.
‘Jangan-jangan, ini anaknya Bang Edo, entah sama siapa. Eh, di mana ibu anak ini sekarang? Tapi kenapa kertasnya sudah agak menguning? Seperti foto lama,’ kata Ferlita dalam hati.
“Eng.., adikku. Tepatnya, mendiang adikku. Namanya Yasmin,” kata Edward.
“Oh, sori. Tapi, kok Daniel nggak pernah cerita, ya? Mustinya karena teman dari kecil sama Romi, dia kenal juga dong,” sesal Ferlita.
Diabaikannya suara mengejek yang singgah di kepalanya, “Ya elah Ferlita, ngapain juga Daniel bahas keluarga jealousan-nya selagi nge-date sama kamu? Suka aneh, kamu mah, mikirnya!”
“Mungkin nggak sempat kenal, atau nggak ingat. Jadi sebenarnya, Yasmin itu adik angkatku. Mama kepengen banget punya anak perempuan, jadi sewaktu tahu bahwa Romi, yang waktu itu masih dalam kandungan, ternyata berjenis kelamin laki-laki, Mama merengek untuk mengadopsi Yasmin, yang kehilangan ibunya saat dilahirkan. Sementara, ibunya Yasmin itu single mother. Ya karena di rumah ada pengasuh, Papa segera mengurus surat adopsi Yasmin,” jelas Edward.
“Oh! Terus, boleh tahu, meninggalnya kenapa?” tanya Ferlita dalam kagetnya.
Edward diam sesaat.
"Bang Edo, kalau nggak mau cerita nggak apa kok," kata Ferlita yang merasa tak enak hati.
Edward tersenyum tipis dan memalingkan wajahnya ke samping, sebelum memfokuskan kembali konsentrasinya ke jalanan di depannya.
“Yasmin mengalami masalah dengan jantungnya semenjak dia lahir. Dia akhirnya pergi buat selamanya, sebulan setelah ulang tahun keempatnya. Padahal, Papa dan Mama sudah mengusahakan segala pengobatan yang terbaik buat Yasmin, walau sembari mengurus anak-anaknya yang juga masih kecil, saat itu, aku sama Romi. Seingatku, dia adik yang manis buatku, dan juga seharusnya berkesempatan jadi kakak yang baik buat Romi,” tutur Edward.
Entah mengapa, Ferlita merasakan suara Edward bergetar barusan. Ini sungguh membangkitkan kenangannya pada rasa kehilangannya sendiri. Air mata meluncur turun ke pipinya, tak tercegah, saat membelai foto Yasmin. Isaknya terdengar, membuat Edward seketik dilanda rasa bingung.
[1] Bertahan, gigih (bahasa Sunda) * * Lucy Liestiyo * *