“Iya sih, memang nggak kuliah. Tapi sore besok, giliranku membantu Bu Edna untuk ngajarin anak-anak SBI. Terus, kalau main ke rumah, gimana ya, kayanya agak canggung, karena besok nggak ada Ray, cuma ada Om Pedro. Ray ada jdwal survey lokasi event, di luar kota, terus langsung balik ke apartemennya sendiri. Dia jarang menginap di sini. Nggak enak aja, akunya,” terang Ferlita setelah menimbang sekian saat.
Ada sedikit gerakan halus di sudut bibir Daniel. Sedetik kemudian dia manggut-manggut.
“Kamu bantu di SBI sampai jam berapa? Kalau misalnya, dari sana aku jemput, terus.., ya, kita makan di luar, setelah itu aku antar pulang, bagaimana?” Daniel melempar opsi.
Ferlita terdiam. Dipikirnya, keras juga kemauan anak ini! Karenanya Ferlita tak heran, seorang Daniel Marcello Sanjaya terlahir sebagai putra seorang Agustin Reynand Sanjaya!
“Biasanya kurang dari dua jam, mulai 15.45 wib, paling telat selesai jam 17.30 wib. Tapi karena rumah Bu Edna dekat sekali dari Kapel, biasanya aku sekalian ikut misa sore yang jam 18.15 wib,” jelas Ferlita tanpa maksud menghindar.
“Misa di Kapel? Aku boleh ikutan, nggak?” tanya Daniel.
Ferlita mengagumi pertanyaan cerdas ini. Terlepas dari apapun motif Daniel, mana berhak dia menghalangi seseorang yang hendak beribadah, kan?
Ferlita mengangguk samar. Daniel nyaris bersorak mendapatinya. Rasa percaya dirinya langsung melejit. Signifikan deh, pokoknya!
“Kalau begitu, tolong sms aku alamat tempat kamu ngajar SBI, ya? Aku jemput kamu di sana jam 17.15 wib. Dari situ, kita misa bareng. Kamu nggak usah bawa kendaraan, ya,” tahu-tahu Daniel sudah memutuskan. Ferlita terbayang Toyota Camry Hybrid True Blue Mica, hadiah Pak Pedro atas kelulusannya dari SMU, tetapi jarang dipakainya. Ah, sampai sekarang dia masih merasa mobil itu terlalu mewah buatnya. Dia lebih suka naik taksi kemana-mana.
Ferlita menatap gamang. Dia tak mau Bu Edna melihat Daniel dan bertanya-tanya dengan gaya menyelidik tentang Daniel. Nggak, dia yakin dia nggak bakal punya jawaban apa pun, bahkan sebelum pertanyaan itu datang padanya.
“Kalau ketemu di parkiran Kapel saja, bagaimana? Atau, di dalam Kapel?” tanya Ferlita.
Daniel tercengang. Nyaris dia melancarkan protes, “Apa-apaan itu? Ketemu di dalam Kapel? Benar, namanya kapel pasti mungil dan gampang menemukan Ferlita duduk di mana. Tapi itu nggak menjamin tempat duduk di sebelah Ferlita kosong, kan? Ya apa bedanya, dengan ketemu umat lain? Ya ampun Fei, ngerti dikit dong!”
“Nanti aku sms nama Kapelnya. Kamu bisa pakai google map. Eh Dan, aku musti masuk, nih, takutnya Omku nyangkain aku belum pulang dan telepon-telepon Ray. Entar yang ada, Ray ikutan senewen, takut ada apa-apa di jalan,” ujar Ferlita kemudian.
‘Geez! Aman, kok. Nggak ada apa-apa di jalan. Yang kenapa-napa justru di dalam sini! Sudah mau meledak, tahu!’ jawab Daniel di dalam hati. Ingin benar Daniel mengatakan hal ini sembari menunjuk ke tengah dadanya sendiri. Tapi dia tahu, tidak mungkin mendesak Ferlita begini.
Daniel tersenyum manis dan berkata, “Masa dari rumah Bu Edna kamu jalan kaki, ke Kapel? Gini deh, kalau kamu nggak nyaman kujemput di tempat Bu Edna, ya di dekat situlah. Di pintu gerbang kompleks atau bagaimana? Boleh, ya? Please..,” kali ini Daniel memasang tampang memohon. Dan untuk menambahkan kesan ekspresif, dia menjura pula.
Ferlita mendesah, mulai enggan bernegosiasi dengan Daniel. Dia tahu, bakal sia-sia.
“Iya, iya. Nanti aku sms alamatnya,” kata Ferlita akhirnya.
“Tapi sepulang dari Kapel, aku boleh traktir kamu, ya? Ya, sekadar tanda perkenalan,” Daniel meneruskan jurusnya.
Sungguh terebaca apa maunya Daniel. Sebenarnya, hati Ferlita senang juga sih. Tapi ia merasa, ini terlalu cepat baginya. Sampai dia bertanya-tanya dalam diamnya, sebetulnya Daniel ini injak gigi berapa sih, sampai terasa ngebut begini, dan apakah Daniel sedang kejar setoran, macam supir mikrolet yang mendekati tenggat waktu pemulangan armadanya ke juragannya?
“Terima kasih sebelumnya Dan. Tapi aku nggak bisa. Lain kali saja, ya?” tepis Ferlita.
“Yah, terus kapan ketemunya dong, Fei?” ucap Daniel, menelan kecewa.
“Lho, kan, besok ketemu?” Ferlita nyaris tertawa.
“Iya, tapi kan, cuma misa, terus pulang. Kapan ngobrolnya maksudku?” balas Daniel.
“Ya ampun, Dan, dari Kapel kemari itu, sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Apalagi besok Sabtu, orang pada hang out, bisa lebih macet. Tiga puluh lima menit itu sudah bisa ngobrol banyak banget, kali,” kata Ferlita, yang tak sekadar untuk menjawab Daniel, melainkan berusaha menghibur hatinya sendiri, sekaligus mengantisipasi kemungkinan tak terduga selanjutnya.
Di pikiran Ferlita, berperang dua keinginan yang saling bertentangan. Dia jelas ingin menghabiskan waktu dengan Daniel, tetapi ogah terlarut. Dan memang nggak bakal berlarut, kan? So, dipikirnya, obrolan selama rentang waktu itu pasti belum masuk kategori potensi bahaya tinggi, untuk mengacak-acak pertahanan hatinya dan membuat dirinya baper. Yang pertama, nggak boleh, kedua, enggak mungkin, ketiga... eng... boleh kali ya, senang-senang sedikit dengan teman baru? Ah, belum-belum, pikirannya sudah labil begini.
Daniel terang-terangan memperlihatkan kecewanya. Ferlita langsug tersapa rasa bersalah.
“Om Pedro, papanya Ray, suka khawatir kalau aku pulang malam,” terang Ferlita demi mengurangi rasa bersalahnya. Tapi seusai mengatakannya, dia malah ingin memarahi dirinya sendiri, “Hei! Perlu banget, apa, ngomong begitu? Nggak, lah!”
Sementara Daniel membujuk hatinya sendiri. Ah, di hadapan Ferlita, entah mengapa dia merasa begitu mudah luluh. Tapi ingat deh, bagaimana bang Edward saat dipamiti tadi? Uh, membayangkannya saja, Daniel sudah muak.
...
“Hati-hati di jalan, Eli,” Edward yang menatap wajah Ferlita dengan tatapan serupa yang dilakukan oleh Satrio ke arah Dinda, selama menyanyikan ‘Bukan Sandiwara’ dalam film ‘Kapan Kawin’. Sampai-sampai, Daniel harus berdeham dengan kurang ajarnya, as if Ferlita was taken by him already, sementara Edward adalah penggoda yang harus dilenyapkan sejauh mungkin. Ke Timbuktu juga boleh, menurut pendapat Daniel.
“Terima kasih, Bang Edo. Eeh, bang Edward, maksudnya,” ralat Ferlita yang salah tingkah ditatap sedalam itu.
Di luar perkiraan Ferlita maupun Daniel, Edward malah tertawa kecil.
“Hm, Edo saja. Keluarga dan yang sudah lama mengenalku juga manggil aku Edo, kok,” cetus Edward dengan wajah sumringah.
Daun telinga Daniel serasa habis digampar tangan kekar, mendengarnya. Pedas. Panas. Dan ia yakin, ada kebakaran di hatinya saat ini.
‘Sudah lama kenal? Maksudnya apa, Bang? Coba diperjelas! Helouuuw? Bang, Bang, tolong cari yang sepantaran, deh. Sori, yang ini sudah 75% macthing-nya ke gue! Minggir, Bang, jangan bikin sesak! You’re not invited!’ cela Daniel dalam diamnya.
“Oh, begitu. Mari, bang Edo. Sekali lagi, selamat atas kelulusannya. Selamat menetap di Jakarta. Dan semoga, karir ke depannya supercerah, ya,” senyum Ferlita.
“Amin, terima kasih doanya,” sambut Edward pula. Senaaang, sekali, walau tidak diumbarnya secara berlebih. Ah, Edward memang dewasa banget, dan sejatinya menggemaskan..
Tapi bagaimana di mata Daniel? Wajah cerah dan mata berbinar itu, heh, nggak mungkinlah, Daniel tidak menatapnya dengan cemburu. Daniel yakin sejuta persen, itu pasti bukan lantaran dia senang dengan pesta penyambutannya, dong, melainkan disebabkan seorang Ferlita. Daniel terkesiap mendengar Ferlita begitu lancar memanggil Edward dengan nama kecil Edo.
Andai saja memungkinkan, mau rasanya Daniel menegur, “Edo, Eli, apa sihhh! Kenapa kalian berdua sok kompak begitu! Norak, tahu nggak! Lama-lama kuganti namaku jadi Egi!”
Sepertinya asap sudah mengepul di kepala Daniel. Mujurnya, walau Romeo sedikit terlambat menyadari adanya bunyi genderang perang saudara, isyaratnya pada Edward bahwa ada salah satu tante mereka mencari Edward, untuk berpamitan pulang, membuat Edward terpaksa meninggalkan mereka.
Tapi toh, itu tidak secara otomatis menghadirkan lega di hati Daniel. Sebaliknya, kesadarannya terlecut, seiring hasutan di kepalanya, “Gas pol, Daniel! Lupakan liburan di Moyo dan Labuan Bajo. Robek saja tiket pesawat, hotel dan rental mobilnya! Bilang ke Brenda, balik saja ke itenerary dia yang semula. Jakarta lebih asyik lho, ada proyek F, kan? Nggak mau menyesal seumur hidup kan, kalau kehilangan kesempatan emas ini?”
...
“Kalau hari Minggu siang, boleh nggak, aku jemput buat makan siang sama aku?” tanya Daniel yang pantang menyerah.
Ferlita memasang wajah pasrah, macam kelinci masuk kotak perangkap, tapi mendapati banyak wortel segar, gemuk dan menggiurkan, di dalamnya. Ya, memang, belum teruji, beracun atau tidak, wortelnya.
“Ya, deh,” sahutnya pendek.
“Aku jemput jam.,” sambar Daniel.
Ferlita hampir mengeluh.
‘Geez! Anak ini, ngomong ke aku yang baru dikenalnya saja begini, gimana ke papanya. Pasti jauh lebih ngeyel. Papanya masih bisa nahan napsu buat mites dia aja, sudah bagus banget! Salut, Om! Betah banget jadi papanya Daniel puluhan tahun! Nggak kepikiran mau ganti ‘profesi’ lain? Atau.., nggak ada kesempatan, Om?’ batin Ferlita.
“Besok bilang saja mau makan di mana. Kita ketemu di sana. Aku masuk dulu, ya sekarang,” Ferlita sudah siap membalikkan badan, merasa sudah terlampau lama bicara di depan pagar.
“Bye,” kata Ferlita sambil melangkah menuju pagar untuk menggapai celah kecil, dan membunyikan bel. Sepotong senyum termanis terulas untuk seorang Daniel Marcello Sanjaya. Dia berharap, itu cukup untuk mencegah Daniel memborbardir dirinya dengan deretan permintaan lainnya.
Daniel terdiam di tempatnya. Enggan beranjak. Hatinya terasa berat untuk segera berlalu. Dia sungguh belum siap membiarkan momen indah dan berharga ini berlalu demikian cepat.
“See you,” ralatnya kemudian, penuh niat. Iya lah, dia masih punya sekian hari ke depan buat usaha. Malah hampir empat minggu, kalau rencana escape-nya ke pulau Moyo dan Labuan Bajo dibatalkan. Ya, tampaknya harus, deh. Moyo sama Labuan Bajo kan belum ada rencana pindah tempat, tetap di tempat semula, toh? Jadi masih bisa dikunjunginya lain kali. Tapi Ferlita? Hm.., dia sadar alangkah bahaya kalau nggak segera ditempel! Daniel mematok target, mereka harus sudah jadian barulah Daniel bisa kembali ke Singapore dengan hati tenang.
“Yes, that will be the first step,” gumam Daniel lalu mesem-mesem, mengikuti lyric I Knew I Love You-nya Savage Garden yang mengalun dari cd player di mobilnya.
Like in your eyes, I see my future in an instant and there it goes, I think I found my best friend. I know that it might sound more than a little crazy, but I believe. I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life, I knew I loved you before I met you
** * * LL * *