Tapi euforia yang mencuat di benaknya, telanjur menyelingkuhi dirinya.
“Eng.., jam berapa, Dan?” tanya Ferlita.
Daniel tersenyum samar, lalu menjawab, “Saya pikir, selambatnya jam delapan sudah antar Ferlita pulang, Om. Semoga saja nggak macet.”
Pak Pedro diam sesaat, seperti menimbang, lalu mengangguk-angguk.
“Ya sudah, jangan kemalaman, ya,” pesan Pak Pedro.
“Iya, Om. Terima kasih, Om,” sahut Daniel santun.
*
“Kamu gila!” Ferlita menoyor bahu Daniel dengan gemas. Mereka baru saja melewati gerbang perumahan tempat Ferlita tinggal. Daniel terbahak-bahak.
“Kan, aku sudah bilang, aku bakal lulus pakai grade A, dari Om kamu,” ujarnya.
“Tapi kamu kan belum bilang ke aku kalau mau ngajak nonton!” protes Ferlita sebal. Lagi-lagi hatinya membelot darinya, bertingkah umpama bunga yang disirami air di pagi hari, menggeliat genit. Payah, sekaligus parah!
“Ya deh, sekarang bilangnya,” kata Daniel.
“Udah telat!”Ferlita mengerucutkan bibirnya.
“Telat gimana?” tanya Daniel pula.
“Ya telat, telanjur diijinkan Om Pedro. Percuma aku nolak juga. Nanti musti bilang apa kalau tahu-tahu pulang, setelah makan? Ih, kamu tuh nyebelin banget, tahu nggak, sih! Kamu apain Om aku? Baca mantra apa, tadi?” cerocos Ferlita.
Alih-alih menjawab, Daniel meraih tangan Ferlita. Eh? Apa-apaan? Maksud hati ingin menarik tangan itu, tapi godaan rasa nyaman menuntut Ferlita untuk membiarkannya. Aduh, hati, hati, bukannya melindungi pemiliknya, tapi malah berpihak sama Daniel.
“Dan! Yeee! Jawab, dong!” keluh Ferlita untuk mengimbangi debar-debar di dadanya. Bukan, bukan jenis debar yang dirasakan seseorang ketika kepergok mencubit pipi adiknya yang masih kecil karena merasa adiknya itu terlalu cengeng. Ini cenderung mirip debaran ketika seseorang mendapat kehormatan melakukan test drive kendaraan baru dari sahabatnya yang harganya selangit, tetapi teringat, kendaraan merk yang sama pernah merenggut nyawa orang yang ia kasihi.
Daniel memalingkan wajah dan mengedipkan matanya.
“Sudah, deh, itu nggak usah kita bahas lagi. Kamu percaya aja, pokoknya bakalan seru. Nanti kamu yang pilih filmnya, ya. Terus, kan masih banyak waktu setelah nonton. Entar kita makan lagi, ya, yang searah sama rumahmu. Fei, Om Pedro suka makanan apa? Nanti tolong ingatkan aku, biar sekalian kita beli, pas pulangnya,” kata Daniel ringan.
Ferlita enggan menjawab, biarpun Daniel menggoyangkan tangannya yang berada dalam genggaman Daniel, dengan lembut.
“Jangan cemberut begitu, dong. Iya deh, lain kali kalau mau ngajak kamu kemana-mana, aku tanya ke kamu dulu deh,” bujuk Daniel.
Mata Ferlita mengerjap. Hatinya sungguh tergelitik.
‘Eh? Lain kali? Maksudnya? Ah, masa bodoh, yang penting sekarang happy-happy dulu saja, ya! Orang ini kelihatannya nggak bahaya, kok, dan paling setelah ini juga nggak muncul lagi, toh? Dia bakal balik ke Singapura, terus setelah itu, dia kuliah ke mana itu, ke daerah yang jaraknya setengah bola dunia dari Jakarta. Syuh, pergi sana!’ pikir Ferlita sok simpel.
“Lain kali jangan semena-mena. Tanya aku dulu,” sahut Ferlita kemudian, lantaran tak menemukan kata yang tepat.
“Pasti, Fei Sayang,” ucap Daniel, membuat hati Ferlita bergetar.
Namun dasar sedang mengaktifkan mode jaim alias jaga image, yang terucap dari mulutnya adalah...
“Ih, tolong, deh ya! Sudah sesuka hatinya manggil aku Fei, sekarang pakai embel-embel sayang. Ck ck!” dalam gugup yang melandanya, Ferlita berlagak tidak suka. Dan bagi Daniel yang punya seabreg teman cewek, kepura-puraan itu terlalu kentara. Dia suka, juga mulai yakin, progress proyek F ini tampaknya melampaui ekspektasinya.
“Habisnya, Fei sayang itu kedengaran lebih manis ketimbang Fei,” alasan Daniel sembari pasang wajah sok polos. Dasar kambing yang lagi nyamar jadi domba, si Daniel ini! Sukses, pula memerankannya. Akibatnya, Ferlita speechless.
“Fei, besok pulang kuliah jam berapa?” tanya Daniel setelah hening yang aneh beberapa saat lamanya. “Kenapa?” tanya Ferlita.
“Kalau jawab pertanyaannya bukan dengan pertanyaan, boleh nggak, Fei?” tanya Daniel pelan.
Ferlita mengerling. Dia baru tersadar, Daniel lebih ganteng dilihat dari samping begini, terlebih dengan kaca mata hitam yang dikenakannya.
‘Ih, dia nggak kalah macho dari... Bang Edo! Eh? Kok, jadi keingat bang Edo?’ bisik hati Ferlita yang langsung mesem jengah. Mujurnya, itu luput dari pengamatan Daniel.
“Tadi nanya apa, Dan?” tanya Ferlita.
“Besok kamu pulang kuliah jam berapa Fei? Aku jemput, ya?” tanya Daniel, mengulang.
Kalau saja Ferlita sedang minum, pasti dia tersedak, deh. Daniel itu, yang di depan mata belum dijalani, sudah main tanya yang besok-besok!
“Ya ampun, Dan! Ini, makan aja belum. Nonton belum. Sudah rencana mau makan pas pulang nanti, terus besok mau ke kampus. Kamu tuh..,” Ferlita setengah mengeluh.
Daniel menggoyangkan lagi tangan Ferlita yang berada di genggamannya.
“Aku ganggu kamu, ya?” tanya Daniel sok memelas.
Entah mengapa, Ferlita secepat kilat Ferlita menggeleng.
“Bukannya begitu, Dan.. aku cuma..” Ferlita menggantung ucapannya. Mana mungkin dia harus mengatakan yang sesungguhnya, kan?
“Cuma apa?” tanya Daniel sabar.
“Enggak. Enggak ada apa-apa. Tapi setiap hari Senin sama Jumat, aku itu kasih les bahasa Mandarin, sama beberapa anak di tempat kursus seberang kompleks perumahan, setelah pulang kuliah, gitu,” terang Ferlita kemudian. Danielpun tercengang.
“Hah? Kasih les bahasa Mandarin? Aku mau dong, ikut kelasnya? Boleh, ya? Please,” pinta Daniel.
“Buat apa? Biar lancar, pedekatein target yang di Singapura? Ih! Belajar sama yang lain saja, jangan belajar ke aku. Ogah, aku!” cibir Ferlita.
Tawa Daniel meledak. Gila, Ferlita masih ingat persis percakapan sepulang dari pestanya Edward. Kalau bukan sedang di mobil, pastinya Daniel sudah berjingkrak-jingkrak dan meng-update prosentase kemajuan proyek F-nya sampai dua digit!
“Ngapain ketawa? Nggak lucu, tahu! Aku memang nggak mau kok, ngajarin kamu!” sewot Ferlita. Kali ini, Daniel tak ragu untuk cengengesan.
“Fei, kamu kan guru bahasa Mandarin. Itu tuh, teman-temanku yang cowok, suka ngomong wo zhen de hen xi huan ni ke teman cewek. Apa sih, artinya? Kayanya, aku bego banget, deh, begitu aja nggak ngerti,” ucap Daniel setelahnya.
“Wo zhen de hen xi huan ni artinya..,” Ferlita ragu-ragu.
“Artinya apa?” kejar Daniel, berlagak penasaran.
“Eng.., itu.., aku suka banget sama kamu,” kata Ferlita lirih.
“Wo yen hen xi huan ni *[1],” sahut Daniel penuh penekanan.
Ferlita menggigit bibir, menyadari Daniel baru mempermainkannya. Tersadarlah dirinya, mana mungkin sih, kata sesederhana itu, Daniel nggak tahu, ya kan? Masa di keluarganya, nggak ada yang berkomunikasi pakai bahasa Mandarin. Sedangkan, dirinya saja yang bisa dikata ‘blasteran’, papanya dari Jawa sedang mamanya masih ada keturunan Tionghoa dari sang garis keturunan sang Oma, sudah diperkenalkan dengan bahasa tersebut oleh Pak Pedro semenjak kecil, malah dikursuskan intensif, pula!
“Kamu nyebelin, ya!” Ferlita menarik paksa tangannya dari genggaman Daniel. Daniel tak tahan lagi. Ini saatnya berterus terang. Dia sudah tak peduli soal momen dan cara mengungkapkan perasaan yang sempurna. Buat apa memikirkannya, kalau kesempatannya terbatas dan sekarang dia bersama gadis yang merampas hatinya?
“Hei, jangan marah, dong! Tapi sungguhan, aku memang suka banget, sama kamu. Dari pertama kali Romi ngenalin kamu ke aku. Dan karena aku sadar, sainganku bejibun sedangkan aku nggak punya peluang sebanyak mereka, makanya sebisa mungkin aku tutup saja peluang mereka. Tapi jujur, aku nggak rela deh, kalau kamu jadian sama orang lain. Apalagi setelah kamu dengar cap miring soal aku. Maaf ya, kalau bikin kamu nggak nyaman atau merasa aku kurang mikirin perasaan kamu. Sori ya, Fei,” ungkap Daniel.
Ferlita membisu. Perasaannya bergejolak. Hatinya bertanya-tanya : Barusan itu, ungkapan perasaan, kah? Seorang Daniel Marcello Sanjaya, mengungkapkan perasaan pada dirinya... yang ... hanya... ah! Sudahlah! Ia memutuskan, mMungkin sebaiknya bersikap biasa-biasa saja, nggak perlu marah, atau menambah musuh. Pasalnya, diketahuinya Daniel merupakan teman akrab Romeo, kan, yang awet berteman sama Romeo? Artinya, pasti banyak hal yang bisa dibagikannya, buat mendapatkan teman sejati, teman yang bertahan lama, bukan sekadar berpapasan, melintas, singgah sekejap, lalu pergi selewatan angin.
[1] Artinya : Aku juga suka kamu * * Lucy Liestiyo * *