Masih Acara Pertunangan

1128 Kata
"Tiba saatnya untuk pemasangan cincin kedua sejoli." Sang MC acara meminta Evelyn dan Ziel untuk berdiri dan menuju ke depan.  Kotak cincin yang dibawa oleh Nancy —tante Evelyn, buka perlahan dan tampaklah dua buah cincin platinum yang sangat indah.  Sang MC mempersilakan Ziel untuk memasangkan cincin di jari manis Evelyn. Kemudian gantian Evelyn yang memasangkan cincin di jari Ziel.  Setelahnya, mereka pun berpoto bersama untuk dijadikan dokumen pribadi. Tepuk tangan dari dua keluarga terdengar riuh menyambut dua sejoli yang sudah bertukar cincin.  "Peluk dong! kok jauhan gitu sih, kaya lagi musuhan aja!" terdengar suara dari arah keluarga Narendra, dan Evelyn yakin itu adalah suara Bella.  "Betul, betul, baru aja saya mau bilang gitu!" ucap si Mas Photograper.  Ziel dan Evelyn tampak canggung. Keduanya tidak terbiasa melakukan hal itu. Bukan pelukan yang biasanya mereka lakukan, tapi gontok-gontokan meski tidak sampai bermain fisik.  Mas Photograper menyadari kecanggungan yang dirasakan oleh dua sejoli di depannya. Pada akhirnya, ia menghampiri Ziel dan Evelyn dan mengarahkan gaya keduanya agar terlihat mesra.  "Masa harus kaya gitu, Mas!" protes Evelyn.  "Ya iya dong, biar hasil potonya terlihat bagus dan tampak mesra. Ini 'kan poto pertunangan, bukan poto pre wedding atau photoshoot." Masuk akal apa yang dikatakan oleh si Mas, begitu pikir keduanya.  "Ya udah sih, kita turutin aja. Enggak tiap hari ini juga," bisik Ziel di dekat telinganya Evelyn.  Terdengar suara sorakan saat Ziel membisikkan hal itu ke telinga sang tunangan.  "Tapi lo jangan ambil kesempatan yah!" ancam Evelyn.  "Tenang aja sih, siapa juga yang mau ambil kesempatan." Ziel menatap sinis pada Evelyn. Meski sebetulnya di dalam hati, lelaki itu tengah merasakan kegugupan akibat jarak diantara keduanya yang sangat dekat.  Hal yang sama juga tengah dirasakan oleh Evelyn, gadis itu tiba-tiba merasakan debaran di dalam hatinya. Ia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.  Setelah mengarahkan gaya pada Evelyn dan juga Ziel, Mas photograper kembali ke posisinya untuk mengambil gambar.  Akhirnya jadilah sebuah poto yang pasti akan dikenang oleh keduanya, di mana titik itulah mereka akan memulai kehidupan sehari-hari nanti, dengan status sebagai seseorang yang sudah memiliki tunangan.  Gaya saling berhadap-hadapan dengan tangan Ziel di pinggang Evelyn, dan tangan Evelyn berada di kedua pundak Ziel, serta kedua mata saling menatap, siapapun yang melihat akan menilai jika keduanya sangat cocok dan serasi.  Evelyn ingin segera duduk ke tempatnya semula. Ia sudah tidak sanggup menatap wajah Ziel yang saat ini terlihat tampan di matanya. Kemeja batik yang dikenakan sungguh pas di tubuhnya yang tinggi dan sedikit berotot akibat olahraga basket yang menjadi hobi lelaki itu.  Namun, karena acara berikutnya belum selesai maka Ziel dan Evelyn belum diperbolehkan untuk duduk.  Ziel yang menyadari jika ada sesuatu yang aneh pada diri Evelyn, berusaha sedikit peduli.  "Lo kenapa?" tanya Ziel pada tunangannya.  "E-eh, enggak apa-apa!" jawab Evelyn terbata, ia tidak menyangka jika Ziel akan mengkhawatirkan dirinya.  "Lo jangan bohong, gua tahu ada yang salah sama lo." Ziel menatap Evelyn yang masih berdiri di sampingnya.  "Iya, aku bohong, tapi enggak mungkin aku bilang sama kamu!" bisik hati Evelyn.  Sang MC mempersilakan para saudara dari dua keluarga memberikan ucapan selamat kepada Ziel dan Evelyn.  *** "Kakek senang akhirnya pertunangan ini bisa terlaksana juga," ucap Tuan Rifki ketika sedang menikmati hidangan pesta.  "Jangan senang dulu, Kek. Ini 'kan baru tunangan, bukan pernikahan." Ziel menatap sang kakek tak suka.  "Kita lihat saja, perjodohan ini akan sampai pada tahap pernikahan." "Kakek PD banget!" "Oh iya dong, memang harus PD biar bisa memenangi pertarungan." "Jadi Kakek anggap perjodohan ini sebuah permainan?" "Anggap saja seperti itu, Ziel! Karena akan ada yang menang di akhir perjodohan ini, apakah kakek dan Opah Harsa, atau kamu dan Evelyn." "Kakek ini benar-benar deh. Tahu pertunangan ini cuma kakek anggap permainan, akan Ziel tolak sampai titik darah penghabisan." "Enggak usah berlebihan, Ziel. Memang siapa tadi yang menatap Evelyn dan seolah enggan untuk memalingkan wajahnya?" sindir kakek Ziel, telak. Ada tawa yang terdengar dari mulutnya.  Ziel tak berkutik. Ia telah kalah malam itu.  "Satu kosong, Ziel!" goda sang papa yang juga berada di dekatnya. Tawa yang sama juga tercipta dari bibir dan mulut Azka. Malam itu benar-benar hari yang sial bagi Ziel karena kesalahan kedua matanya yang terpesona akan kecantikan Evelyn.  Di meja terpisah yang tak jauh dari Ziel duduk, terlihat Evelyn diam-diam mencuri pandang ke arah lelaki itu yang tampak heboh berbicara dengan sang kakek.  "Udah kali ngelihatinnya! Kalau mau samperin aja sih!" goda sang bunda pada putrinya.  "Siapa juga yang ngelihatin dia!" elak Evelyn. "Momy jangan ngarang deh!" lanjutnya.  "Loh, Bunda 'kan enggak bilang kamu lihatin siapa. Kok kayanya udah feeling aja sih!" Amelia semakin menggoda.  "Mom! Udah deh jangan mulai!" "Emang Bunda ngapain, kok jadi GR gitu sih, Eve?" sahut Amelia tersenyum.  "Dad? Momy nih!" Evelyn mengadu kepada sang ayah yang terlihat serius mengobrol dengan opahnya.  "Loh, kenapa Bunda?" seru Amelia.  "Itu gangguin aku terus!" sahut Evelyn.  "Bunda, jangan gangguin anaknya dong!" Gadis itu seolah mendapat seorang pembela, ia mencibir menatap sang bunda.  "Terus Bunda gangguin siapa, Yah?" tanyanya dengan sedikit manja. Malah mendapat tatapan jijik dari sang putri dan putra bungsu di sampingnya.  "Nanti malam aja gangguin Ayah!" jawab Dirga. "Oh, ok!" seru sang istri tersenyum.  "Dad! Apaan sih. Kalian berdua ini pada enggak jelas banget deh!" Evelyn dan Athila terlihat menggelengkan kepalanya. Namun, kedua orangtua Evelyn dan Athila malah tertawa melihat putra putrinya menatap tak suka kepada mereka. Pun yang dilakukan oleh Tuan Harsa dan Nyonya Ninta, mereka tertawa melihat tingkah lucu cucunya yang cemberut melihat kemesraan orang tuanya.  "Mbak, lo dipanggil sama Kakek Rifki." Bella menghampiri meja Evelyn, setelah ia bertemu dengan keluarga Kusuma. Bella memang anak yang supel maka tak heran ia akan cuek menemui siapa saja yang ingin ia temui. Termasuk keluarga Kusuma yang sebetulnya tidak ada hubungan dengan dirinya.  "Jangan bohong?" seru Evelyn "Ngapain aku bohong, Mbak! Enggak ada kerjaan banget." "Evelyn!" panggil Tuan Rifki dari meja sebelah.  "Tuh 'kan, apa gua bilang? lo enggak percaya banget." Bella memanyunkan bibirnya.  "Iya, iya, maaf!" ucap Evelyn. "Ya udah permisi, aku ke sana dulu yah!" Semua yang ada di meja itu mengangguk. "Ada apa, Kek?" tanya Evelyn setelah ia sampai di meja keluarga Ziel.  "Duduk sini, Nak," pinta kakek Ziel.  Dengan perlahan Evelyn duduk di sebelah Tuan Rifki dan secara otomatis juga ia duduk bersebelahan dengan Ziel.  "Apakah kamu sudah siap untuk tinggal di rumah Ziel?" tanya Tuan Rifki tersenyum.  "Seandainya pun Evelyn tidak siap, tetap harus dijalankan bukan, Kek?" tanya Evelyn balik.  "Betul. Kamu pintar." Tuan Rifki kini tertawa. "Jadi mau tidak mau kamu harus siap!" Evelyn tersenyum membalas ucapan dari kakek Ziel. Ia berusaha bersikap hormat pada pria tua di sampingnya. Meski sejujurnya ia sangat menghindari berada dekat dengan keluarga Kusuma karena otomatis, gadis itu akan berada dekat dengan Ziel.  Padahal si lelaki pun sama. Ia tidak mau berada dekat dengan Evelyn karena takut pertahanannya untuk tidak menyukai gadis itu akan roboh.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN