Bab 3 : Keluarga

1739 Kata
"Isaac?" Rie sempat terdiam sejenak. Namun, setelah mobil sedan mewah itu menghilang dari pandangannya, Rie kembali melangkah menuju jalan setapak yang akan membawanya ke sebuah rumah kayu dengan nuansa tropis Amerika di sana. "Mana mungkin itu Isaac." "Orang seperti dia, mana mungkin pergi ke tempat seperti ini," ucap Rie sembari memandangi menara gereja. Ketika langkahnya baru saja sampai di deretan pagar tanaman, Rie disambut oleh dua bocah yang tengah menunggunya sejak tadi. Pelukan hangat dari keduanya membuat senyum Rie merekah lebar, begitu pula yang dirasakan oleh Noah dan Nia -- si kembar penghuni panti asuhan KASIH TUHAN. "Huumm kalian sudah mandi?" tanya Rie pura-pura terkejut. Reaksi Rie tersebut membuat si kembar ikut senang. "Apa kalian buru-buru mandi agar ibu tak tahu kalau kalian kembali bermain hujan dan lumpur?" "Ibu selalu saja tahu apa yang kami lakukan. Apa ibu seorang cenayang?" ucap Noah dengan polosnya. Rie tertawa gemas sambil merangkul keduanya untuk masuk ke dalam rumah kayu. Rumah yang dihuni oleh anak-anak yang kurang beruntung ketika mereka dilahirkan. Nuansa hangat dan nyaman begitu terasa. Bila memasukinya lebih dalam lagi, maka akan terdengar suara canda tawa bercampur tangisan bayi yang merengek kepada para pengasuhnya. Mereka berada di ruangan besar yang telah disulap menjadi taman-taman surga bagi para bayi untuk beraktivitas. Di ruangan yang lain pula, terdapat anak-anak berusia lima tahun ke atas melakukan kegiatan positif seperti belajar dan membantu pekerjaan rumah. Seperti yang sekarang yang tengah dilakukan si kembar Noah dan Nia. "Ibu! Besok akan ada donatur keren yang akan datang ke sini membawa banyak makanan dan mainan!" Kabar gembira tersebut terdengar oleh anak-anak yang lain. Mereka penasaran hingga mengerubungi Noah untuk mencari tahu lebih jauh. "Donatur keren?" tanya Rie geli. "Benarkah? Kau tidak sedang membual kan Noah?" "Tentu saja! Paman itu akan datang besok!" "Itu karena kau mendesaknya. Padahal kalau dilihat dari penampilannya, paman itu pasti orang sibuk," tukas Nia, ketus. Mendengar hal itu, Noah berubah menjadi murung. Namun ia tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa paman yang tak sempat ia ketahui namanya itu akan datang esok. "Paman itu pasti datang —" "Kenapa kau begitu berharap? Kau mengaguminya?" "Tentu saja. Mereka keren. Kalau sudah besar nanti, aku juga ingin berpenampilan seperti mereka." Noah berucap dengan bangga. "Baiklah. Waktunya siap-siap untuk makan malam. Harap semuanya tenang dan tertib yah," tukas Rie untuk mencairkan suasana hati Noah yang tampak murung itu. Mendengar arahan Rie, semua anak-anak yang berkumpul mulai melakukan kegiatan mereka masing-masing. Termasuk Noah dan Nia yang bersiap untuk menemani bayi-bayi yang memasuki waktu tidur dan minum s**u. Rie teringat dengan mobil sedan yang ia lihat sebelumnya. Dan menerka-nerka apakah mungkin orang-orang itu yang datang sebagai paman-paman keren? ** "Bagaimana kau akan menangani hal ini? Masih belum ada laporan dari cabang Amerika. Kita harus sedikit lebih menekan mereka untuk menyetujui proyek ini!" ungkap seorang pria paruh baya yang memiliki tag name sebagai analis tersebut. Suasana rapat pagi ini memang cukup menegangkan sejak dimulai sejam yang lalu. Rapat yang dihadiri sekitar dua puluh orang dengan jabatan penting di TAEHAN Group itu tampak alot karena seseorang yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Isaac — menjadi sorotan setelah ia datang terlambat. Tangan kanan yang diperban, juga ikut menjadi perhatian. Banyak yang menduga bahwa Isaac terlibat perkelahian dengan seseorang di luar sana. Sebagai pesaing internal keluarga, mereka telah mengirimkan orang-orang untuk memantau Isaac sebagai pemangku utama group setelah pimpinan utama alias ayah Isaac meninggal dunia. Mereka tentu tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjatuhkan Isaac jika pemuda itu melakukan kesalahan sedikit saja. Namun berita itu tak sampai di telinga para keluarga TAEHAN yang ikut menghadiri rapat hari ini. Tentu saja mereka menjadi gelisah karena dugaan kegaduhan yang dilakukan Isaac, sama sekali luput dari pantauan mereka. Isaac menyadari hal itu. Menyadari penuh sejak kecil apa yang dilakukan saudara-saudaranya untuk merebut kekuasaan yang tengah ia pegang saat ini. Bukan mudah untuk mencapai titik seperti sekarang. Isaac tentu akan berhati-hati, meskipun dengan cara yang sunyi senyap. "Isaac! Apa jawabanmu?" desak paman Isaac dari cabang TAEHAN yang ada di kota barat. "Apa kau sedang mencari-cari alasan tentang kelalaian ini?" oceh seorang direksi TAEHAN yang ada di kota selatan. "Bilang saja kalau kau memang tak sanggup untuk --" "Aku sedang berkirim pesan dengan tuan Parker. Baru saja beliau membuat janji untuk datang ke sini," balas Isaac santai yang tentu saja membuat para direksi yang ada di sana saling berbisik. "Kalau kau memang sudah melakukannya, kenapa mengumpulkan kami di sini?" tanya seorang wanita yang diketahui sebagai istri kedua dari ayahnya tersebut. "Tentu saja ntuk bertemu kalian! Yang kita tahu sejak ayahku meninggal, kita jarang sekali berkumpul, Benarkan, bi?" "Aku bukan bibimu!" balasnya, tak terima. "Sejak kau duduk di posisi itu, kau sering bermain-main. Setahun ke belakang, sama sekali tidak ada peningkatan yang signifikan pada perusahaan ini!" "Bukankah itu tugas kalian semua sebagai bawahanku?" Isaac nyengir. Ucapannya tersebut berhasil membuat semua orang tercengang sekaligus kesal. "Paman yang paling tahu berapa persen uang yang dihamburkan untuk memancing tender. Hasil dan juga rekapannya sampai hari inipun masih belum masuk ke dalam laporanku. Apa sekarang itu menjadi tugasku juga? Ayah terlalu baik memberikan jabatan itu kepadamu, paman. Tapi aku tidak akan sebaik itu. Karena sudah diingatkan, aku akan memberikan waktu tiga bulan untuk menaikkan performa. Jika tidak, maafkan aku jika harus ikut campur." "KKAAAU! BERANI-BERANINYA MENGANCAMKU!" "Can! Hentikan. Kau semakin terlihat memalukan," tukas paman yang lain. Isaac lagi-lagi tersenyum menang karena merasa telah membungkam orang-orang yang ada di hadapannya itu. "Baiklah. Karena —" Isaac tiba-tiba merasa pusing. Ia berdiri dengan cepat lalu mengeluarkan sapu tangan dari dalam sakunya. James yang menyadari tuannya mengeluarkan darah dari hidungnya itupun segera menghampiri untuk menutupi keadaan tersebut. Semua yang di sana tak sempat menyadari. Mereka masih sibuk berbincang tentang gertakan Isaac yang baru ia lontarkan tadi. Meski begitu, ada satu orang yang tengah memantau keduanya. Meski ia tak bisa melihat secara jelas apa yang terjadi pada Isaac, ia seperti bisa merasakan ada sesuatu yang janggal tengah terjadi. "Apa terlihat jelas?" bisik Isaac. James menggeleng sambil memantau sekitar dengan hati-hati. "Tuan sebaiknya ke toilet dulu," sarannya bijak. Isaac bergegas dengan berpura-pura mengeluarkan ponsel sambil mengangkatnya. Ia membuat dirinya berbicara dengan seseorang lalu pergi dari ruangan. Semua yang ada di sana tentu menjadi bingung dan kesal. Tak berapa lama, mereka pun diberitahu untuk meninggalkan rapat karena ada urusan penting yang dilakukan oleh Isaac. Sementara itu di toilet, Isaac duduk bersandar di atas closet sambil memandangi sapu tangannya yang telah berlumuran darah. Isaac menghela napas sejenak, lalu keluar dari closet setelah pusing yang ia derita telah berangsur-angsur menghilang. Di luar, James terlihat tengah mengawasi sekitar dengan memeriksa setiap closet yang memungkinkan ada orang di dalamnya. Menyadari bahwa hanya ada mereka berdua di dalam, James pun memberi kode aman untuk tuannya keluar. "Anda baik-baik saja, tuan?" "Kapan jadwal kemoterapinya?" tanya Isaac sembari menatap dirinya sendiri di depan cermin. Isaac terlihat pucat. Namun ia berhasil membuat orang-orang di dalam ruangan tak menyadarinya. "Besok lusa, di Singapore. Saya sudah membuat jadwal ini agar tak terpantau." Isaac tersenyum lega, "Lalu...bagaimana dengan hadiah-hadiah itu?" James berpikir sejenak, "Maksud anda hadiah untuk panti asuhan KASIH TUHAN?" Isaac mengerutkan kening, "Jangan bilang kalau kau melupakannya." James terlihat kikuk. Ia lantas cepat-cepat mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Saya pikir, anda hanya berbual —" "Aku jadi kepikiran terus. Anak-anak itu membuatku bersenang-senang. Suasana di sana juga cukup menenangkan. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di sana." "Maksud tuan...bersama Noah dan Nia?" Isaac mengangguk dengan antusias, "Ya. Kemarin aku melihat album lama, ternyata benar. Mereka sepertiku saat masih kecil." James ikut terkekeh mendengar ocehan majikannya tersebut. Ia juga tak lupa untuk melakukan tugas yang tak ia lakukan itu. "Mereka memang terlihat seperti anda —" James terkejut ketika membuka pintu toilet. Di sana berdiri seorang wanita yang ia kenali sebagai sekretaris Rihanna. James langsung membuat wajah tak senang di hadapan sekretaris itu. Begitu pula dengan Rihanna yang tak menyangka pintu itu terbuka ketika ia tengah menguping pembicaraan. "Apa yang anda lakukan di sini?" Rihanna terlihat kebingungan. Ia mencoba untuk mencari alasan atas aksi tak pantasnya tersebut. "Sa—saya mencari pak Isaac. Karena nyonya Sally ingin bertemu." "Sampaikan pada bibi bahwa aku ada urusan penting. Jika mendesak sekali, dia bisa meneleponku. Oke?" tukas Isaac sambil mengerlingkan sebelah matanya. Rihanna benar-benar kikuk, lalu memilih meninggalkan tempatnya berdiri untuk menghindari rasa malunya. ** Sejak tadi pagi, Noah tampak antusias melakukan pekerjaan mandiri di panti. Selesai belajar dan makan siang, ia langsung duduk di teras panti sambil bermain dengan anak-anak yang lain. Rie melihat ke antusiasan Noah tersebut dengan perasaan gugup. Takut jika apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya. "Nia. Apa kamu tahu siapa paman-paman itu?" Nia yang sejak tadi tengah asik membaca, menjawab pertanyaan dari Rie tersebut dengan menggelengkan kepalanya dua kali. "Kami lupa menanyakannya." Bukan hanya Noah yang bersemangat menantikan kunjungan Isaac hari ini, namun juga Isaac sendiri. Pria dengan postur cukup besar dengan tinggi seratus delapan puluh senti itu bahkan memilih langsung mainan apa saja yang ingin ia bawa ke panti. Selesai dengan urusan p********n dan pengiriman, Isaac dan James memasuki mobil tanpa menyadari ada seseorang yang mengawasi. Mobil box yang membawa seluruh mainan mengikuti kemana James mengemudi diikuti pula dengan orang tak dikenal yang diam-diam mengawasi. Perasaan riang gembira majikannya itu menular ke diri James pula. Pasalnya, ia juga tak pernah melihat tuannya begitu bersemangat apalagi untuk kunjungan amal yang pertama kali ia lakukan tersebut. "Saya ingin mengingatkan bahwa kita tak bisa berlama-lama di sana. Karena malam ini, anda sudah harus sampai di Singapore untuk melakukan pemeriksaan." Isaac tiba-tiba terdiam. Fokusnya malah teralihkan ke arah jendela mobil. Di sana Isaac kembali melamun, mengingat penyakitnya mulai tak bisa ia kontrol. James menyadari perubahan ekspresi dari Isaac itu. Ia lantas mencari topik lain, agar tak merusak suasana hati tuannya tersebut. "Tuan. Anda --" "Ibu menelepon," potong Isaac sambil menghela napas panjang. Mau tak mau, ia harus mengangkat panggilan tersebut daripada mendapatkan masalah nantinya. "Ada apa, bu?" Setelah berkendara selama tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di panti asuhan KASIH TUHAN. Di sana mereka telah disambut oleh anak-anak panti, termasuk Noah dan Nia yang telah menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Rie menyusul setelah mendengar suara riuh anak-anak yang ada di halaman. Setelah mobil hitam tersebut terparkir sempurna diikuti dengan mobil box pengantar barang yang mengikuti mereka, pintu mobil pun terbuka menampakkan sepatu hitam seorang pria. Rie ikut menyambut di belakang barisan anak-anak yang antusias. Tapi setelah beberapa saat memantau, Rie justru terdiam. Rie terpaku di tempatnya, dengan mata yang tak sedikitpun terlepas ke arah seseorang yang baru saja turun dari mobil mewah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN