Bab 1 : Takdir

1221 Kata
Isaac Thunder mengamuk sambil melemparkan segala macam benda yang ada di sekitarnya. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Wajahnya merah padam. Amarahnya memuncak. Dan ia melampiaskan segala emosi yang menumpuk itu dengan satu cara, yaitu meninju cermin besar yang tepat berada di hadapannya. PRAAANGG "DARI BEGITU BANYAK ANAK-ANAKMU! KENAPA AKU YANG HARUS MEWARISI KELEMAHANMU!" Ingatan Isaac melesat ke masa kecilnya yang terintimidasi oleh bayangan pria dewasa di hadapannya. Pria yang ia sebut ayah itu menoleh ke arah Isaac yang ketakutan. Isaac berada dalam posisi terjatuh di lantai dengan kaki yang terluka. Sang ayah mendekati wajahnya lalu beralih ke telinga Isaac kecil. Dengan wajah cemas, Isaac kecil mendengarkan suara sang ayah yang berpenampilan angkuh tersebut. "Kau dan ibumu tidak akan mendapatkan apapun dariku jika kau merengek kesakitan seperti ini." Mengingatnya, membuat Isaac semakin emosi. BRAAAAKK Teriakan Isaac terdengar hingga keluar kamar. Salah seorang pelayan dan juga tangan kanan Isaac yang berdiri di depan kamar, diam membisu sambil tertunduk. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka hanya bisa menunggu di luar hingga tuan mereka kembali tenang. Darah juga mulai mengalir deras dicelah-celah jari. Ada banyak pecahan kaca yang mengitari kamar. Salah langkah, kaki dan tubuh Isaac bisa saja terluka. Namun tampaknya, itu sama sekali tak berarti bagi si pemilik kamar. Karena ada yang lebih menyakitkan yang ia rasakan hingga semua kepingan-kepingan kaca tersebut sama sekali tak membuatnya ngeri. "Anda menderita kanker darah. Kami sudah melakukan beberapa kali tes seperti yang anda minta, dan hasilnya tetap sama." Tangan Isaac gemetaran. Keringat dingin juga ikut serta mengiringi kecemasannya. Isaac mencoba untuk berpikir jernih sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali. Meski ada sesak di d**a yang membuatnya tak tahu harus berbuat apa, Isaac tetap mencoba untuk mengangkat kepalanya, berhadapon dengan masalah yang akan merenggut nyawanya secara perlahan. "Apa aku akan mati dalam waktu dekat?" tanya Isaac dengan napas berat. "Oh tentu tidak pak. Anda bisa terselamatkan jika menjalankan pengobatan yang kami rekomendasikan --" "Kalian tidak sedang menghiburku, kan?" tanya Isaac dengan nada mengancam. "Dokter terkemuka di negeri ini bahkan tak bisa menyelamatkan ayahku!" Dokter ahli kanker itupun terkesiap sambil menyiapkan kalimat yang pantas untuk menjawab pertanyaan pasien khusus yang ada di hadapannya kini. Wajah Isaac bercampur antara kecemasan dengan kesedihan. Di sana juga terselip sebuah kemarahan yang mampu membuat sang dokter tertegun. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk anda, pak. Percayalah pada kami." Isaac tak puas hati dengan apa yang dokter itu sampaikan. Hingga, ia pun berakhir di kamarnya dengan amukan yang menakuti siapapun di sekitarnya. Tak ada yang dapat mengubah takdir seorang Isaac. Ia di diagnosis menderita salah satu penyakit mematikan di dunia saat ini. Isaac meraung-raung. Suara lirihnya itu terdengar di balik pintu yang dijaga ketat oleh asistennya sejak tadi. Merasa cemas, ia pun buru-buru membuka pintu. Padahal mereka berhasil memasuki kamar tanpa ada penolakan tuannya, namun mereka malah diam tak bergeming melihat situasi yang buruk itu. Tangisan Isaac begitu menyayat hati. Tersedu-sedu sembari meringkuk memeluk tubuh kekarnya sendiri. Pelayan wanita yang berdiri memegang nampan berisi obat-obatan pun ikut turut menitikkan airmata. Mendengar raungan kesakitan yang tak pernah bisa ia rasakan itu. ** Dengan tangan yang masih diperban putih, Isaac bersimpuh di depan meja panjang dekat dengan altar salib yang berdiri dengan kokohnya. Pandangan matanya terlihat kosong ketika doa-doa kecil mulai ia ucapkan dengan lirih. Beberapa jemaat mulai penasaran dengan apa yang dilakukan Isaac di depan sana. Tapi setelah mereka mendapatkan tatapan sinis dari asisten Isaac yang bernama James itu di samping mereka, lelaki dan wanita tua itupun berhenti mempersoalkan tingkah Isaac yang tengah berdoa. "Kata James, ini mungkin saja ganjaran bagiku yang telah berdosa terlalu banyak padamu." "Sial...." desis Isaac dengan sedikit tawa kecil yang dibuat-buat. "Apa...cuma aku yang memiliki dosa besar di dunia ini?" Isaac menatap patung Tuhannya dengan seksama. "Apa aku sudah membuat kerusakan besar seperti yang dilakukan Hitler atau George Bush? Kenapa mereka tak kau berikan penyakit mematikan sepertiku? Apa dosa terbesarku hingga aku ha...rus...harus --" Isaac tak sanggup lagi mengutarakan isi hatinya yang tengah kalut. Di tempat suci yang sunyi itu, Isaac kembali menangis lirih. "Baik. Mungkin aku pernah menyakiti seseorang hingga ia menyumpahiku. Beri petunjuk bagiku, apakah aku harus meminta pengampunan darinya? Jika ya, apa aku bisa hidup lebih lama?" Isaac menengadah ke atas dengan seksama. Tak ada jawaban seperti yang ia harapkan. Bahkan sekedar semilir angin yang mungkin menjadi petunjuk bahwa doanya didengar. Seketika itu pula, Isaac mengusap air matanya yang sempat terjatuh. Masih dengan wajah yang tak puas hati, Isaac meninggalkan tempatnya berdoa, setelah ia meletakkan koin emas di depan altar. "Katamu..... Tuhan akan mendengar doaku," sarkasnya. James tertunduk sambil menyalakan korek, "Bukankah keluarga tuan menganut ajaran budha?" Isaac memijat kening sambil tertawa kecil, "Ah iya. Jadi maksudmu aku salah server?" James ikut tertawa sambil menemani tuannya merokok. "Tidak apa jika tuan ingin ikut agama saya." "Apa Tuhanmu pernah mendengar doa-doamu?" James berpikir sejenak sambil membuang puntungan rokok yang bahkan belum ada setengahnya ia hisap. Ia juga melakukan hal yang sama kepada tuannya, seperti memberi isyarat bahwa Isaac tak boleh berlama-lama menghisap racun paru-paru tersebut. "Mungkin pernah. Saya tak mengingatnya karena jarang beribadat." Isaac lagi-lagi tertawa kecil sambil menatap langit senja yang indah. Keindahan itu membuat ingatan Isaac kembali melanglang buana. Kali ini bukanlah ingatan yang menyakitkan, namun sebuah kenangan yang manis bersama seseorang. Isaac dengan seorang wanita tengah berlarian di pasir putih. Dengan erat Isaac memeluk gadisnya dari belakang sambil memandangi langit senja bersama dengan laut biru yang terbentang luas. Kecupan-kecupan ringan ia berikan pada si puteri malunya. Dan potongan-potongan kemesraan mereka, semakin membuat Isaac tersadar akan satu hal. Bahwa....meskipun potongan kenangan itu telah terjadi delapan tahun yang lalu, Isaac masih dapat mengingat jelas nama sang kekasih. Tiba-tiba sebuah bola penuh lumpur melesat tepat ke arah Isaac. Karena tak sempat mengelaknya, bola tersebut tentu saja mengotori pakaian tuannya. James segera bergegas untuk mencari dalang dari pelempar bola. Ia tampak sangat bersemangat sekali untuk memarahi anak-anak tersebut. "Siapa yang menendangnya tadi?" tanya James, mulai menginterogasi. "Noah yang menendangnya!" ucap seorang anak bertubuh tambun. Teman-temannya mulai memanggil nama itu serta nama anak lain yang tak berada di tempatnya. Anak laki-laki itu menatap Isaac dengan pandangan yang bersinar. Entah itu terjadi karena dia ingin menangis ketakutan, atau karena tatapan kagumnya pada kedua pria dewasa yang ada di hadapannya. "Apa anda akan memarahi kami?" "Kami? Kaulah yang menendangnya sembarangan!" Dari balik kerumunan, muncul suara gaduh yang menyalahkan anak bertubuh tambun tersebut. Suasana menjadi riuh karena masing-masing takut disalahkan. "Sean! Kau lagi-lagi mengkambing hitamkan adikku!" ujar seorang anak perempuan yang wajah dan tinggi badannya mirip dengan Noah -- si anak laki-laki. Mereka kini bersandingan sambil bergandengan tangan, untuk saling melindungi satu sama lain. "Jadi kalian yang --" "Ari?" James yang mendengar itu langsung menoleh pada Isaac, "Apa anda mengenal mereka?" Isaac tertegun sambil terus menyebutkan nama yang ia gumamkan tadi. Sebuah nama dari seseorang yang telah lama pergi... "Ari?" Isaac bingung sendiri. Mengapa ia bisa mengingat nama wanita itu di depan sepasang anak kembar yang baru ia lihat hari ini? Dan lucunya, hari ini Isaac sudah dua kali mengingat mantan kekasihnya itu. Yang tentu saja, membuatnya mengorek luka lama yang sudah ia pendam delapan tahun yang lalu. "Apa anda mengenal mereka, tuan?" tanya James memastikan. "Tidak," jawab Isaac tegas. "Aku linglung sejenak, sampai tiba-tiba teringat dengan seseorang yang tak ingin aku ingat lagi." "Apa orang itu musuh anda? Atau --" "Bukan siapa-siapa," potong Isaac. "Dia tak berarti apapun lagi untukku." **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN