Bab 5 :Bertemu Mantan

1483 Kata
Ari..." ucap Isaac lirih. Beberapa kali Isaac memalingkan dan mengusap wajahnya seraya tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Napasnya mulai sedikit memburu karena jantung yang memompa darah dengan begitu cepat. Kehampaan yang pernah menyergapnya delapan tahun yang lalu, seolah datang kembali menerpa wajah dan sanubarinya. Serpihan-serpihan kenangan buruk yang ia rasakan, turut berputar dalam pikirannya. Isaac termenung sesaat. Ia juga sedikit limbung karena faktor kesehatan yang tengah ia alami. Isaac mencoba mencari pegangan, namun akhirnya ia memilih untuk berdiri tegap seolah tak ada apapun yang menyakitkan di dalam dirinya. "Ariadne..." Tak berbeda jauh dengan keadaan Rie atau yang memiliki nama lengkap Ariadne itu. Wanita yang belum genap tiga puluh tahun itupun merasa kesal dan tertegun di saat yang bersamaan. Hatinya ikut bergemuruh melihat mantan kekasihnya itu berdiri di hadapannya dalam keadaan baik-baik saja. Sialnya, hal itu turut didukung oleh ocehan Jinny yang tak sengaja menyaksikan keduanya saling bertemu setelah sekian lama. "Aku pikir eksekutif muda itu hanya ada di dalam drama atau film. Ternyata benar-benar ada di depan mata, Kak!" bisiknya, seru. Rie tertunduk sambil memperhatikan langkah Isaac yang mulai mendekatinya. Setiap ketukan di lantai, seperti memberi detak waktu baginya. Entah detak waktu untuk apa. Yang jelas, Rie tak ingin berada di sana lebih lama. Namun ia tertahan karena bucket bunga yang telah ia persiapkan untuk lelaki yang jaraknya hanya antara meja kasir dengan dirinya. "Jadi selama ini kau bersembunyi di sini?" Isaac tersenyum miring. Senyum yang dipaksakan. Mendengar ocehan Isaac itu, Rie yang tertunduk langsung mengangkat kepalanya. Sejajar dengan wajah Isaac yang sama sekali tak berubah sejak dulu. Alis tebal berwarna hitam. Begitu halus dan rapi seperti semut yang beriringan. Mata yang tajam dengan iris mata berwarna cokelat emas. Rahang tegas serta hidung mancungnya tentu tak kalah menarik. Dan...seperti ditarik dari sisi masa lalu, Rie berhenti menatap bibir Isaac yang sedikit pucat. Ia tak ingat jika Isaac memiliki bibir yang berbeda dari sebelumnya. Tapi ia bisa ingat, bagaimana bibir itu pernah menyentuh miliknya. Tapi semua itu tinggal masa lalu. Beberapa detik yang lalu Rie merasa menyesal telah mengingatnya. "Bersembunyi? Aku tak pernah bersembunyi dari siapapun, Isaac Thunder." Nada kesal Rie terhadap Isaac cukup menarik perhatian dua orang di sekitar mereka. Jinny dan James saling mengerutkan kening ketika kedua pasangan itu mulai saling berbicara. "Lalu....kenapa kau pergi?" "Apa kau pernah berusaha untuk mencari ku? Kurasa tidak." Pembicaraan keduanya semakin memanas. Tak ada yang berupaya untuk meleraikan ataupun mengalihkan pembicaraan tersebut. Jinny hanya bisa pura-pura tak tahu dengan berusaha untuk tetap tenang melayani pesanan. Sedangkan James mencoba melihat sekitar untuk memastikan keadaan tidak di luar kendali. "Oh...jadi kau pernah berharap untuk itu? Sekarang aku paham kenapa kau melakukan itu." Isaac bertolak pinggang, menunjukkan keangkuhan. Debaran jantung Rie semakin tak terkendali. Ia ingin meluapkan emosi yang tiba-tiba terasa penuh di kepalanya setelah mendengar ucapan Isaac itu. Tangannya juga mulai gemetar. Ia ingin menjelaskan, tapi air mata turut ikut campur dalam urusannya. Dan ia tak ingin jika air mata berharganya itu mengalir di hadapan Isaac. Lelaki yang sudah lama ia kubur di dalam ingatan dan hatinya. "Apapun katamu, ini bucket bunganya. Silahkan bayar dan pergi lah dari sini," ucap Rie tegas lalu memberi kode kepada Jinny untuk melanjutkan pekerjaannya. Rie keluar dari meja kasir lalu pergi ke belakang. Meninggalkan Isaac yang masih menggerutu sendiri. Jinny yang tengah menghitung p********n untuk pesanan bucket bunga tersebut mencoba untuk mencairkan suasana dengan mengajak Isaac berbincang. Meskipun ia tahu, ia nanti hanya disebut sebagai orang yang suka ikut campur, tapi Jinny tetap melakukannya hanya karena ia tak bisa biarkan suasana canggung tersebut tetap terjadi. "Totalnya 350 dollar. Bucket ini cukup spesial karena belum pernah kami rangkai sebelumnya —" "Oh iya. Terima kasih atas penjelasannya nona. Bisa dibayar menggunakan kartu kredit, kan?" potong James yang ternyata telah menggantikan posisi Isaac yang sudah lebih dulu beranjak dari sana. "Tentu saja. Kami menerima p********n lewat kartu kredit." Jinny hanya bisa menggaruk keningnya yang tak gatal itu karena merasa malu telah diabaikan. James menyadari hal itu dan dia pun ikut menggaruk kepala belakangnya karena canggung. "Maaf atas apa yang terjadi." Jinny menangkap pembicaraan tersebut, "Saya juga tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa saat yang lalu semuanya masih baik-baik saja. Bahkan kakak merangkai bunga itu dengan penuh keceriaan." James tersenyum tipis sambil menerima kartu kreditnya kembali. "Mungkin ada kesalahpahaman. Terima kasih bunganya," ucap James sembari meninggalkan toko. Jinny sendiri lantas menoleh ke belakang, berpikir dengan ragu-ragu apakah ia harus ikut campur lagi atau tidak. ** Selesai melakukan p********n, James segera bergegas dari toko menuju mobil yang terparkir di seberang jalan. Isaac — tuannya, telah pun berada di dalam lebih dulu. Sambil menghela napas panjang, James pun masuk ke dalam mobil dan bersiap menyalakannya. Isaac dengan segala macam pikiran yang bergelut di kepalanya, dapat dilihat secara nyata oleh James lewat cermin tengah mobilnya itu. Selama memanaskan mobil, James berusaha keras untuk memilah percakapan apa yang harus ia utarakan agar dapat memecah kesunyian itu. Tapi ternyata usahanya menjadi mudah ketika Isaac sendiri lah yang lebih dulu memulai pembicaraan. "Apa selama ini kau tahu dia ada di sana?" James menelan ludah dengan susah payah. Meski begitu, James mencoba untuk menjawab dengan tenang, "Maaf tuan. Saya tidak mengerti situasi dan hubungan seperti apa antara anda dengan nona Rie. Jika saya tahu, pastinya saya akan mencegah hal ini terjadi." "Cih..." Isaac meringis kecil. Ia lupa jika James baru empat tahun ikut bersamanya. Tentu saja segala macam masa lalu Isaac sebelum itu, menjadi hal yang harus dihapuskan dari tugas James sebagai asisten pribadinya. Dan tentunya, itulah yang dilakukan ibunya agar tak ada orang lain lagi yang ingat tentang dirinya bersama Ariadne. "Kau benar. Hubungan kami sudah berakhir delapan tahun yang lalu sebelum kau bekerja denganku." Isaac menghela napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "Ya sudahlah tak perlu dibicarakan lagi." "Baik." Setelah perbincangan singkat itu, James pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan toko beserta orang-orang yang ada di dalamnya. Rie ternyata tengah memantau dari jendela kantornya. Ia segera menutup tirai jendelanya tersebut setelah mobil Isaac benar-benar pergi dari tempatnya. Perasaannya yang sejak tadi baik-baik saja lalu berubah menjadi buruk, membuat Rie nyaris tak sanggup berdiri dengan kedua kaki jenjangnya. Rie akhirnya terduduk lemas dengan kedua tangannya yang menutupi wajah kecilnya. Hal itu turut menjadi perhatian Jinny yang diam-diam memperhatikan dari depan pintu. "Kak. Kakak baik-baik saja?" "Bisa tolong ambilkan air?" pinta Rie dengan nada lirih. Jinny segera pergi ke pantry toko untuk mendapatkan sebotol air mineral, lalu kembali lagi ke hadapan Rie untuk menyerahkannya. Jinny tanpa perintah membuka tutup botol minuman tersebut sebelum memberikannya kepada Rie. Dengan senang hati Rie meminumnya hingga tersisa tinggal setengahnya. Meski suasana hatinya sudah mereda, Rie tetap tak menjelaskan apapun. Jinny yang memahami hal tersebut, lantas tak mendesak bosnya itu untuk menjawab. Ia pun memilih untuk membiarkan Rie sendiri terlebih dahulu dengan meninggalkan tempat tersebut. "Jika kakak butuh sesuatu, katakan saja padaku. Aku harus kembali ke kasir karena sepertinya bel pesanan berbunyi." Rie mengangguk tanpa melihat ke arah Jinny. Jinny pun memakluminya dan ia pun segera bergegas dari sana. Membiarkan Rie hanyut dalam pikirannya yang masih tak keruan. Setelah beberapa jam menenangkan diri, Rie memutuskan untuk pulang lebih awal. Hari sudah mulai gelap, dan hujan masih tetap awet menuruni bumi. Seperti biasa, Rie akan menaiki bus lalu berjalan sebentar untuk bisa sampai ke panti asuhan. Hari yang cukup melelahkan itu, membuat waktu terasa begitu panjang untuk dilalui. Namun Rie telah berjanji, bahwa ia tak boleh terlihat sedih di hadapan anak-anak. Rie tak ingin menambah pikiran, orang-orang yang menyayanginya. Rie menepuk kedua pipinya untuk memberi semangat. Setelah cukup yakin bahwa ia sudah bisa mengukir senyum, Rie pun masuk ke dalam rumah panti yang dari luar bisa terdengar canda tawa anak-anak di dalamnya. Rie sempat kebingungan dengan kebisingan ini. Namun ia langsung menyiapkan senyum, begitu ia pikir bahwa tawa itu mungkin datangnya dari orang yang ia kenal. Anak-anak memang selalu begitu jika orang tersebut datang berkunjung. "Itu pasti pak Yoon," pikirnya. Rie bergegas menanggalkan flat shoes-nya untuk segera bergabung. Ia berjalan sedikit mengendap-endap untuk memberikan kejutan kepada yang lain. Namun, rencananya malah berbalik kepada dirinya sendiri. Rie harus dikejutkan oleh kemunculan Isaac yang menyadari bahwa Rie telah kembali ke panti. Keduanya nyaris bertabrakan dan Rie akan terjatuh ke belakang jika Isaac tak menarik lengan wanita itu dengan cepat. Keduanya sempat saling beradu pandang. Sampai Rie lebih dulu melepaskan diri yang tentunya dengan raut wajah kesal dan kemerahan di pipinya. "Apa yang membuatmu datang ke sini?" "Bukankah di telepon, kau berharap bisa bertemu denganku — donatur yang memberikan anak-anak hadiah hari ini?" sindir Isaac dengan senyum miringnya yang membuat Rie bertambah kesal. "Aku tahu tujuanmu sekarang bukan itu!" Isaac mengangkat tangannya lalu meletakkannya ke belakang tembok dimana Rie tengah berdiri. Keduanya terlihat begitu dekat, hingga Rie sendiri bisa mencium aroma mint yang keluar dari tubuh mantan kekasihnya itu. "Ya. Tujuanku sekarang adalah kau...Ari —" Mendengar hal itu, Rie menelan ludah dengan susah payah. "— ada banyak hal yang ingin aku dengar darimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN