1. Pertemuan
Hari masih pagi, ketika seorang gadis dengan perawakan kecil bernama Safia tengah sibuk memilih barang belanjaan di sebuah Swalayan. Merasa ponsel pintar di saku celananya bergetar, gadis itu membuka gawainya dan membuka pesan yang masuk.
[ Datanglah ke taman sekarang juga!]
[ Aku tak punya waktu lama]
Begitu membaca isi pesan yang berasal dari kekasih hati, Safia bergegas menyelesaikan belanjaannya. Segera gadis mungil itu berjalan menuju ke meja kasir untuk membayar semua belanjaan.
Sudah dua bulan ini, Vino kekasihnya menghindar. Namun, sekarang ingin segera bertemu, ini membuat Safia tergesa-gesa berjalan.
'Sebenarnya ada apa Vino?' Safia membatin sambil terus berjalan menuju tempat motornya di parkir.
'Brughhh'
Safia menabrak seseorang karena jalannya yang tergesa, membuat barang belanjaan di tangan berjatuhan.
"Maaf," ucap Safia kepada pemuda yang tertabrak olehnya. Pemuda jangkung berkulit eksotis itu hanya tersenyum miring, entah marah atau tidak karena belanjaan di tangannya juga ikut jatuh berserakan. Safia tak peduli, gadis berambut hitam sepinggang itu segera memunguti barangnya yang tercecer di lantai.
"Permisi," pamit Safia kepada pemuda yang wajahnya mirip Morgan Oey itu. Dia pergi meninggalkan sosok jangkung yang masih memunguti barang belanjaannya.
Dengan kecepatan yang lumayan tinggi, Safia memacu sepeda motor matic warna hitamnya ke arah taman yang dimaksud Vino. Taman yang selalu mereka datangi kala berkencan, entah hanya untuk nongkrong atau berjoging bersama.
Setelah memarkir motor kesayangan, Safia bergegas menuju tempat di mana Vino menunggu. Gadis itu mendekati pemuda yang sedang duduk di bangku taman dengan pandangan yang menerawang.
"Vin ...." Panggilan Safia menyadarkan Vino dari lamunannya. Cowok berhidung bangir itu tersenyum.
"Fia ... maaf kalau selama ini telah membuatmu bingung dan bertanya-tanya."
" Ya ... tiba-tiba saja kau menghindar, ada apa?"
"Aku rasa sudah saatnya kita mengakhiri semua," ucap Vino terasa berat. Safia mengernyitkan dahi tak paham maksud ucapan belahan jiwanya itu.
"Aku sudah berusaha berbuat baik di depan Ibumu, tapi tak pernah dianggap." Vino memegang tangan Safia, mengeluarkan sebuah kertas undangan dari saku kemejanya.
"Setelah berpikir matang, aku memilih untuk meninggalkanmu. Carilah pengganti, seorang yang tepat di mata ibumu!" Mulut Safia menganga mendengar penuturan Vino, matanya mulai berkaca-kaca.
"Minggu depan aku akan menikahi Gea," terang Vino sambil menyodorkan sepucuk undangan untuk Safia.
"A a apa ini?" tanya Safia, suaranya bergetar menahan air mata yang mulai menetes.
" Maaf Fia ... maafkan aku. Aku lelah meminta restu dari ibumu," jawab Vino lirih, Safia menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya begitu sakit.
" Tiga tahun kita bersama, dan kau akan pergi begitu saja? ja ... hat kamu, Vin," maki Safia membuat Vino menghela napas dengan berat,berusaha membendung air mata yang siap membanjiri pipinya.
" Maaf aku sudah berusaha, tapi selalu salah di mata ibumu. Sedang Gea ... dia adalah pilihan orangtuaku, jadi biarkan diriku menjadi anak yang berbakti, Fia." Vino menghapus tetesan air mata yang mulai menetes. Dengan langkah yang gontai, pemuda berdada bidang itu pergi meninggalkan Safia yang masih terisak sedih.
" Vino ...," teriak Safia. Namun, separuh nafasnya itu, tetap melangkah pergi tak menghiraukan. Safia menangis meratapi nasibnya.
Setelah puas menumpahkan seluruh air mata, Safia melangkah pergi meninggalkan taman. Dia melupakan motor yang dibawa tadi, dengan air mata yang masih menetes gadis itu berjalan pulang. Sesekali tangannya mengusap bulir bening di pipi tirus itu. Safia berhenti di sebuah jembatan yang menuju ke arah rumahnya. Tubuhnya terasa lelah, dia berjongkok menyembunyikan wajah yang penuh air mata pada kedua lututnya. Kembali dia terisak sedih, dengan bahu yang terguncang.
" Apakah kau baik-baik saja?" tanya seorang pemuda yang menyembul dari pintu mobil SUV berwarna putih. Safia menoleh ke arah suara itu, ternyata milik suara pemuda yang ditabraknya di Swalayan tadi. Gadis itu mengangguk lalu kembali menyembunyikan wajahnya.
" Sepertinya kau sedang ada masalah, emm kau tidak ingin terjun ke bawah sana kan?" Kembali pemuda bermata teduh itu bertanya. Safia menghapus air matanya, kemudian berdiri tegak.
" Tidak. Saya baik-baik saja kok," jawab Safia.
" Syukurlah ... tapi aku lihat kamu kacau sekali, menangis tersedu-sedu tanpa malu di jembatan yang ramai ini." Safia hanya menunduk mendengar penuturan cowok itu.
" Aku akan mengantarkanmu pulang."
" Tidak usah!" tolak Safia.
"Aku takut kau menerjunkan diri ke sungai itu atau menabrakkan tubuhmu ke mobil yang lalu lalang."
" Tapi ...," belum sempat Safia meneruskan ucapan, tangannya sudah ditarik si cowok bertampang maskulin itu masuk ke dalam mobil.
"Orang yang patah hati biasanya suka aneh-aneh," ujar pemuda itu sambil menghidupkan mobilnya.
Safia menatap cowok di sampingnya. Batinnya heran, bagaimana pemuda ini bisa tahu kalau dirinya sedang patah hati.
Di dalam mobil sepasang anak manusia itu tak saling bicara, Safia bersuara saat menuturkan alamatnya.
Mobil itu berhenti di sebuah Toko kue yang berbentuk ruko.
" Mau membeli kue?" tanya sang pemuda.
"Saya tinggal di situ," jawab Safia menunjuk bangunan di atas toko kue. Gadis itu membuka pintu mobil dan keluar.
" Terima kasih sudah mengantar saya," ucap Safia kemudian berlalu pergi.
"Tunggu!" cegat pemuda berbadan atletis itu, dia melangkah keluar mobil lalu membuka bagasi.
"Belanjaan kita tertukar," ujarnya sambil menyodorkan dua kantong plastik putih ke arah Safia. Gadis itu membuka isinya, ternyata benar belanjaan mereka tertukar.
" Ohh ... tadi saya buru-buru, maaf." Gadis itu merutuk yang dibalas senyuman oleh sang pemuda.
"Belanjaanmu ada di motor saya yang masih tertinggal di taman, tapi saya bisa menyuruh adik untuk mengambilkannya."
" Nanti saja, aku akan menyuruh supir untuk mengambilnya. Sekarang sedang terburu-buru, jadi aku permisi dulu ya." Usai berpamitan cowok itu masuk ke mobil dan melaju pergi meninggalkan Safia.
Dengan langkah yang pelan gadis bergigi kelinci itu membuka pintu toko, lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Dia tidak mempedulikan ibunya yang menatap heran, setelah menaruh barang bawaannya ke dapur Safia masuk kamar. Menjatuhkan diri di atas ranjang, kembali menangis. Hatinya terasa sakit diputuskan begitu saja oleh seorang yang telah mengisi hatinya selama tiga tahun terakhir ini.
Safia masih saja menangisi takdir cintanya, sampai sebuah ketukan menghentikan tangisnya. Setelah menghapus air mata, dia membuka pintu kamar. Di hadapan berdiri sang ibu, yang memperhatikan raut muka anak sulungnya itu.
"Ada apa? Kenapa menangis seperti itu?" tanya ibu yang kemudian duduk di tepi ranjang.
"Vino memutuskan aku, Bu." Safia menjawab setelah terlebih dulu menutup pintu.
"Dia memang tak pantas untukmu," ujar ibu datar.
"Apanya yang tak pantas, Bu? Agamanya bagus, orangnya sopan. Dia juga punya usaha."
"Apanya yang bagus? kalau masih suka jalan bareng dengan gadis lain, padahal sudah punya kekasih."
"Mereka itu hanya temannya, Bu ...," ucap Safia sengit.
"Pelan kan suara! Tak pantas bicara keras dengan orang yang telah melahirkanmu," perintah ibu dingin, Safia terdiam menunduk hatinya terasa pedih kembali.
"Oh ... ya dimana motormu? Sabira minta dijemput Sabiru di rumah temannya," tanya ibu kemudian. Safia mengelap matanya yang mulai berkaca-kaca dan menghela nafas.
"Ada di taman. Nanti kalau ada orang yang datang menanyakan kantong belanjaan, tolong kasih yang ada di motor!" ujar Safia sambil menyerahkan kunci motor ke ibunya.
" Simpan air matamu! Allah sudah mempersiapkan jodoh yang tepat untukmu," ucap ibu sambil menepuk bahu anaknya , lalu wanita itu bergegas keluar dari kamar.
Safia hanya mampu menarik nafas yang terasa berat. Sebenarnya dia sudah menyangka hal ini akan terjadi, mengingat bagaimana hubungan mereka yang tak kunjung mendapatkan restu dari ibu. Tanpa alasan yang jelas.
***
Pagi ini Safia bangun kesiangan karena menangis semalam, bergegas dia pergi mandi dan bersiap menuju ke kantor. Dia adalah seorang Admin di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Ketika hendak mengeluarkan motor di garasi, motor kesayangannya sudah tidak ada. Safia berdecak kesal karena kendaraan pribadinya dibawa kedua adik kembarnya ke sekolah tanpa minta ijin dulu padanya, terpaksa dia harus naik bis ke kantor. Safia semakin kesal mengingat hari ini adalah hari senin pasti lalu lintas kota Jakarta akan padat sekali.
Karena saking terburunya menuju halte bis, Safia tersandung batu sehingga membuatnya terjatuh.
"Auwww ...," keluhnya meringis kesakitan sambil mengusap - usap lututnya yang terasa perih.
"Ada masalah?"
Safia menoleh ke sumber suara, ternyata itu suara cowok yang kemarin mengantar dia pulang. Bergegas Safia memberesi isi tasnya yang tumpah ruah, sedang cowok itu keluar dari mobilnya.
"Sepertinya kita satu arah, aku bisa memberimu tumpangan," ujar cowok itu lagi sambil mengulurkan tangannya membantu Safia berdiri.
"Safia ...." Seorang pemuda membuka kaca helm motornya memanggil gadis itu. Lantas pemuda itu turun dari motor dan mendekati Safia.
"Elo gak papa?" tanya cowok itu lagi.
" Yuki ... ini aku telat, jalanku buru-buru jadi tadi kesandung batu," jawab Safia kepada pemuda yang bernama Yuki itu.
"Oh ya udah sini gua anterin."
Safia mengangukan kepalanya, lalu dia kembali menghadap ke pemuda yang sudah menolongnya tadi.
" Kayaknya saya mau ikut teman saya saja, terima kasih ya udah nolongin," ucap Safia. Pemuda di depannya itu hanya tersenyum mengangukan kepalanya.
" Belanjaanmu belum diambil kemarin," kata Safia membuat pemuda yang hendak menuju mobilnya itu berhenti.
"Oh iya kemarin aku lupa, mungkin nanti atau besok akan aku ambil. Permisi," pamit cowok itu kemudian masuk ke mobilnya dan melaju pergi.
Safia bergegas membonceng motor Yuki, gadis itu meminta Yuki untuk sedikit mengebut karna hari yang sudah siang.
" Makasih Ki dah nganterin aku," ucap Safia begitu mereka sampai.
"Iya. Eh salam gua buat Embun udah lo sampein belum?"
"Udah ... tapi Embun mana mau ama pengangguran kek kamu."
" Ini juga lagi nyari. Eh buruan masuk katanya telat, jangan lupa salam buat Embun ya!" suruh Yuki pada sahabatnya.
Safia bergegas masuk ke dalam kantor, setelah melambaikan tangan pada Yuki.
Embun adalah teman sekantornya Safia, sudah empat tahun dia berteman dengan gadis manis tinggi semampai itu. Sesuai dengan namanya Embun, gadis itu begitu menyejukkan dan tenang pembawaannya berbeda dengan Safia yang sedikit ceroboh. Maka tak heran kalau banyak cowok yang naksir padanya.
Seperti siang ini, tiba-tiba saja Embun mentraktir Safia makan siang. Ternyata dia baru balikan lagi sama sang mantan, Safia turut senang mendengarnya karna Embun bertemu kembali dengan cinta pertamanya.
***
Saatnya pulang kantor, Embun mendekati meja kerja Safia.
"Main dulu yuk, Fi!" ajak Embun pada Safia yang tengah berkemas pulang.
"Gak bisa, Ibu sendirian di toko karna si kembar lagi sibuk les tambahan. Ini juga mau mampir belanja lagi, kemarin ada yang lupa kebeli."
"Sibuk banget ya. Ya udah besok aku main ke toko rotimu sekalian mau ngenalin cowokku."
"Ya udah main aja. Sorry ya Bun, aku pergi dulu buru-buru nih," pamit Safia meninggalkan sahabatnya itu.
Gadis itu segera berjalan menuju sebuah Swalayan yang hanya sekitar dua ratus meter dari kantornya. Dia membuka ponselnya dan membaca apa saja yang harus dibelinya sesuai intrusi ibu.
Setelah merasa semua yang dibutuhkan sudah diambil, Safia pun bergegas menuju meja kasir. Ketika hendak membayar semua belanjaan, gadis itu tak mendapati dompet di dalam tasnya.
"Aduh ... gimana nih?"gumannya sambil terus mengaduk isi tas.
"Dompetnya gak ada, apa jatuh tadi pagi? Atau ketinggalan di meja kantor karna tadi buru-buru? Dasar ceroboh kamu, Fi!" Safia merutuki dirinya sambil terus meraba-raba saku celana sapa tahu ada uang di dalamnya. Namun, hasilnya nihil.
"Ada masalah?" sebuah suara yang tak asing di telinga Safia, suara si cowok eksotis itu.
"Ini ... Emmm sepertinya dompetku terjatuh atau kelupaan, gak tau nih," jawab Safia sedikit malu.
Cowok itu tersenyum begitu manis di mata Safia, dia membayarkan semua belanjaan Safia dan belanjaannya sendiri.
"Terima kasih ya. Mari ikut ke rumah biar saya ganti uangnya, sekalian kamu ambil barangmu yang masih tertinggal di rumahku!" ajak Safia begitu mereka keluar.
"Kayaknya besok saja aku ambil barangku, sekarang mau jemput seseorang nih," tolak cowok itu. Dia berlalu meninggalkan Safia.
"Tunggu ...!" panggil Safia. Cowok itu menghentikan langkahnya dan memutar badan, Safia berjalan pelan kearahnya.
"E emmm anu ...,"ucap Safia terbata, dia malu kalau bilang tidak ada ongkos pulang. Gadis itu nyengir dan menggaruk- garukkan kepalanya yang tak gatal.
"Gimana yah ...?"
Cowok itu tersenyum melihat tingkah Safia. Seakan tahu apa yang tengah Safia pikirkan, dia mengeluarkan dompet di sakunya. Diambilnya selembar uang seratus ribuan dan disodorkan ke Safia.
"Buat ongkos pulang, maaf tak bisa mengantar."
"Terima kasih, beneran besok dateng ya! Biar saya ganti semua," pinta Safia sambil menerima uang itu.
Cowok di depannya hanya mengganguk kepala lalu dia melihat jam di tangannya. Setelah pamit cowok itu pun pergi melajukan mobilnya.
Safia bergegas menuju halte bis, tak lama dia menunggu bis sudah datang. Gadis itu masuk dan duduk di jok tengah. Wajah cowok yang selalu saja menolongnya itu, terlintas di mata Safia. Dia merasa tak asing dengan cowok itu, mata teduhnya, hidung yang bangir sampai belahan dagu seperti pernah melihatnya. Namun, kapan dan di mana ia tak tahu.
"Besok akan kubuatkan brownis coklat sebagai ucapan terima kasih," gumannya sambil tersenyum manis.
"Woi ... Senyum-senyum sendiri, kek orang setress tahu!" sebuah tepukan bahu membuat Safia terkejut.
"Yuki ... Sejak kapan ada di bis? Mana motormu?"
"Satu-satu dong nanyanya! Gua udah dari tadi di sini, elunya aja yang gak sadar. Ngelamun terus, tapi bukan ngelamunin Vino kan? Kalo iya gak mungkin senyum-senyum gaje gitu."
"Udalah gak usah bahas dia! Oya mana motormu kok bisa naik bis bareng aku?" tanya Safia.
"Motor gua di bengkel, dan gua abis casting nih, Fi. Alhamdulillah dapet peran,"jawab Yuki ceria, kemudian cowok itu menautkan jari jempol dan telunjuknya di dagu membentuk angka tujuh.
"Udah mirip Adipati Dolken belum?" tanya Yuki sambil berlagak sok kecakepan, Safia yang melihat ulah sahabat kentalnya hanya mampu mencibir.
"Mana ada Adipati kerempeng gitu."
"Tar kalo gua udah kaya, gua akan rajin nge-gym. Anyway, lo udah sampein salam gua untuk Embun belum?"
"Yah telat, dia baru aja balikan ama mantan terindahnya. Eh turun yuuk sampai tuh!" ajak Safia.
Kedua sahabat karib itu turun dari bis dan berjalan pulang menuju ke rumahnya masing-masing.
***
Safia tengah asyik memandangi brownis coklat buatannya, terlihat sempurna dan menggoda. Brownis yang sengaja dibuat untuk cowok yang selalu jadi dewa penolongnya, hari ini cowok itu berjanji mengambil barangnya yang masih ada pada Safia.
"Kak ... ada Kak Embun tuh," ujar Sabiru adik kembarnya yang laki-laki. Safia bergegas menemui teman kantornya yang juga sudah berjanji main ke toko rotinya.
Ternyata Embun datang dengan seorang laki-laki, mereka berdua duduk menghadap ke depan sehingga tak menyadari kedatangan Fia.
"Hai ...." Safia menyapa, kedua orang itu menoleh.
Betapa terkejutnya Fia melihat siapa yang datang bersama Embun, adalah cowok yang akan diberinya brownis.
"Fia ... kenalin ini yang namanya Jevin, pacar aku." Embun mengenalkan kekasihnya dengan wajah berbinar, ada yang berdenyut di hati Fia, terasa sakit.
Cowok itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Safia menerima uluran tangan itu dengan tangan yang bergetar.
"Safia ...," ucapnya lirih dan serak.
Bersambung.