bc

After The Rain

book_age16+
239
IKUTI
1K
BACA
family
HE
fated
second chance
boss
heir/heiress
drama
sweet
bxg
bold
brilliant
city
office/work place
disappearance
assistant
like
intro-logo
Uraian

Rivan & Mila [Winata Family]

_______

Kamila Dahayu Kamandhani (Mila) tidak pernah membayangkan akan menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru genap satu tahun. Dia tidak lagi bisa mempertahankan pernikahannya karena belakangan dia tahu kalau suaminya adalah penyuka sesama jenis.

Runtuh sudah hidupnya. Setelah menggugat cerai, dia mendapat tekanan dari banyak pihak. Disudutkan sana-sini, membuatnya tidak ada pilihan lain selain pergi merantau jauh di Ibu Kota.

Tak pernah Mila sangka sebelumnya. Di sana, dia malah bertemu Rivandra Khalif Winata (Rivan), yakni mantan pacarnya sekaligus bos barunya.

Itu buruk. Harusnya tidak boleh. Rivan adalah orang yang sangat ingin Mila hindari.

Namun, apa mau dikata. Alih-alih menjauh, Rivan malah membuat mereka menjadi kembali dekat. Itu membuat Mila sangat bingung.

Apakah Rivan masih memiliki perasaan padanya, atau laki-laki itu justru sedang membalas dendam masa lalunya?

Lalu, apakah Mila merasa cukup pantas di saat Rivan adalah laki-laki yang memiliki segalanya, sedangkan dia hanyalah seorang janda yang tak punya apa-apa?

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
“Janda, tapi perawan? Istilah macam apa, ini?” Aku menatap akta cerai di tanganku, benda yang tak pernah kuharapkan akan ada di hidupku. Nyatanya, benda ini malah jadi kado anniversary pertama pernikahan. Iya, baru satu tahun, dan akta cerai sudah kudapatkan. Apa aku diceraikan? Jawabannya tidak. Akulah yang menggugat cerai. Akulah yang mengusahakan untuk mendapatkan benda ini secepatnya agar bisa lepas dari suami yang bahkan belum pernah menyentuhku sedikit pun. Jangankan menyentuh dalam arti yang sudah seharusnya dilakukan pasangan suami istri, dia mau menciumku saja tidak. Kontak fisik yang kami lakukan sejauh ini benar-benar sangat terbatas. Sungguh! Lucu, ya? Aneh juga, kan? Kok bisa begitu? Jawabannya tidak lain tidak bukan adalah karena dia menikahiku hanya demi menutupi ketidaknormalannya. Dia menikahiku demi menyembunyikan pacar lelakinya. Tidak, aku tidak salah bicara. Memang benar, pacar lelakinya. Kuulangi sekali lagi, PACAR LELAKINYA. Namanya, Andra Bagus Adipura. Nama yang kuharapkan bisa menjadi suami yang baik dan bisa membimbingku menuju surga, justru malah menghancurkanku dengan begini sadisnya. Dia berhasil menyembunyikan jati dirinya begitu rapat sampai aku mau dinikahi olehnya. “Better jadi janda, Mil, Mil. Daripada tertular penyakit.” Aku masih terus mencoba menenangkan diri dan memvalidasi kalau apa yang kulakukan ini benar. Siapa, sih, yang mau jadi janda di usia pernikahan yang masih seumur jagung? Kurasa, tidak ada. Aku pun inginnya menikah sekali seumur hidup. Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Dia menghendakiku untuk menjadi janda di usiaku yang bahkan baru genap dua puluh enam tahun. Semua salahku karena terlalu mudah luluh dengan laki-laki yang menawarkan kebaikan, kemapanan, juga hal-hal baik-baik lainnya. Aku yang baru kenal beberapa bulan langsung mengiyakan lamarannya. Tak tahunya, aku hanya diperalat saja. Aku terkena love bombing yang sebenarnya hanya bullshit semata. “Minum dulu, Mil!” Syifa datang membawakanku jus nanas fresh hasil panen dari kebun belakang rumahnya. Dia menatapku prihatin. “Buruan minum, mumpung segar.” “Makasih, Syif.” Aku menyeruput jus yang Syifa berikan, lalu merebah di sofa rumahnya. Syifa adalah teman dekatku saat kuliah— bisa dikatakan sahabat, dan dia sudah menikah. Kini suaminya sedang dinas ke luar kota. Aku sengaja datang ke rumahnya untuk menepi sejenak dari ‘amukan’ keluarga. “Aku masih ngerasa mimpi aja, Mil, kalau kamu sama Mas Andra cerai secepat ini. Baru setahun, ya?” “Iya, dua hari lalu harusnya anniv pertama.” “Kamu kapan, sih, mergokin dia check in sama pacar boti-nya?” Ngomong-ngomong, untuk yang belum tahu, boti adalah pelesetan dari bottom. Istilah yang biasa digunakan untuk laki-laki yang berperan ‘di bawah’ atau ‘jadi perempuan’. Kalau melihat dari gelagat, Mas Andra bukan boti. Dia sangat macho. Makanya aku tidak menyangka sama sekali kalau dia penyuka sesama jenis. “Kisaran empat bulan lalu, kali, ya? Aku lupa tepatnya.” “Awalnya gimana, itu?” “Panjang ceritanya, Syif. Kapan-kapan, deh, aku cerita lebih detail. Sekarang lagi enggak mood. Intinya aku mergokin enggak cuma sekali.” “Ya udah, oke. Aku tadi jantungan kamu tiba-tiba datang sambil nangis. Mana bawa akta cerai segala.” “Aku memang sengaja enggak bilang orang luar sebelum akta ini terbit. Sekarang udah terbit, jadi, ya, udah. Semua orang harus tahu kalau aku single lagi.” Aku meraup wajahku, lalu mulai menangis. Syifa segera mendekatiku dan mengusap-usap lenganku. “Yang sabar, Mil, yang sabar.” “Kalau Mas Andra selingkuh sama cewek, meski aku juga akan sulit memaafkan, tapi aku enggak akan gugat cerai secepat ini. Seenggaknya aku akan kasih kesempatan kedua dan ngajuin beberapa syarat hitam di atas putih. Tapi ini selingkuhnya sama cowok, Syif. Dia gay!” Syifa mengusap lenganku lagi. “Kecolongannya fatal, ya, Mil?” “Fatal aja pakai banget.” “Tapi Mas Andra emang menipu, sih. Dari luar dia kelihatan kaya cowok baik-baik. Ya macho juga. Laki banget pokoknya. Mana udah mapan, royal pula. Aku aja enggak heran kamu mau diajak nikah. Pikirku saat itu, akhirnya kamu bisa bener-bener move on dari Mas Riv—” “Jangan sebut dia, Syif. Nanti aku makin nangis.” Lagi dan lagi, Syifa hanya bisa menenangkanku. Kini tangisku semakin deras, terlebih setelah Syifa menyebut nama orang dari masa lalu. “Udah lebih tenang?” tanya Syifa beberapa saat kemudian. “Udah.” Aku duduk, lalu menarik napas panjang berulang kali. Dadaku masih sesak, tetapi sedikit lega setelah meluapkan kesakitanku lewat tangisan. “Kamu emang ditakdirkan enggak boleh melupakan Mas Rivan, deh, Mil.” “Syifa! Malah sebut dia lagi!” “Biarinlah!” Aku menarik tisu di meja, lalu mengusap air mataku. “Sebenarnya, salah satu alasan aku cepat mau sama Mas Andra, ya, emang biar bisa bener-bener move on dari mantan. Aku udah capek. Udah enggak ada harapan lagi soalnya. Udah hitungan tahun kami enggak ketemu, tapi aku masih aja mikirin dia. Udah pisah kota juga kaya enggak ada efek. Mas Andra itu macam angin segar buat aku. Angin yang bisa bawa aku pergi dari bayang-bayang masa lalu. Eh, enggak tahunya malah gini!” “Tapi kamu jatuh cinta atau enggak, sih, sama Mas Andra?” “Aku enggak tahu namanya jatuh cinta atau enggak, tapi kalau suka, ya, suka. Aku mau dinikahi Mas Andra sukarela, bukan karena terpaksa. Alasan melupakan Mas R emang ada, tapi bukan satu-satunya. Aku emang udah siap buat nikah dan move on. Aku juga udah berkomitmen akan selalu berusaha jadi istri yang baik. Aku akan hempaskan semua tentang masa lalu dan mulai hidup baru.” Syifa manggut-manggut. Dia tampak bingung harus bagaimana menanggapi kalimatku. “By the way, kamu kayaknya udah enggak mau nyebut Mas Rivan lagi kenapa, sih, Mil? Mas R, Mas R. Kaya enggak pernah motoran sambil hujan-hujanan aja.” “Diem, Syif! Aku pulang ajalah. Di sini malah diledek mulu.” “Eh, tunggu, tunggu!” Syifa menahan tanganku. “Bercada aja, Mil!” “Enggak lucu, lama-lama. Jangan bahas dia lagi!” “Lagian dulu kalian putus kenapa, sih? Perasaan akur terus. Dikit-dikit disamperin.” “Emang kami pernah pacaran?” “Lah? HTS doang? Enggak mungkin!” Aku diam. “Jawab, coy!” “Pacaran, sih, tapi cuma sebulanan. Sebelumnya emang HTS aja.” “Ya mau sebulan, kek, seminggu, kek, atau bahkan sehari sekalipun, tetap aja statusnya mantan.” “Ya udah, sih. Dia udah tenang di Jakarta sana.” “Tenang, tenang! Kamu kira dia meninggal?” “Maksudnya, dia udah punya kehidupan baru di sana—" “Lho, udah nikah?” “Ya belum. Kehidupan baru dalam arti kesibukan baru. Dia juga entah masih ingat aku atau enggak.” “Aku jamin masih ingat. Enggak mungkin dia lupa sama Dedek Mila kesayangannya.” “Mbuh-lah!” Aku ambruk di sofa, lalu memeluk akta ceraiku. “Tolong jangan bahas Mas R lagi, Syif. Mending bahas gimana statusku setelah ini. Baru setahun nikah, tapi udah jadi janda.” “Tapi maaf Mil, aku tiba-tiba kepo sama sesuatu. Mas Andra udah nyentuh kamu atau belum?” “Belum. Boro-boro ke sana. Ciuman bibir aja belum. Paling suma cium kening dan pipi sesekali atau gandengan tangan doang. Kalau pelukan juga aku yang minta.” “Wah!” Syifa melongo. “Jadi, kamu masih perawan ting-ting?” “Ya menurut situ aja! Dia lebih milih buat check in sama pacarnya daripada menyentuh istrinya yang sexy ini.” Inginku sedikit melucu, tetapi sepertinya tidak lucu juga. “Kalau gay gitu enggak turn on, ya, sama cewek?” “Enggak tahu! Jangankan aku mikirin dia bisa turn on atau enggak. Malam pertama aja aku malah dipunggungi. Dia bilangnya capek. Ya okelah, aku pun capek. Tapi dipunggungi? Yang bener, aja!” “Terus selama berbulan-bulan itu dia enggak pernah kegoda sama sekali?” Aku menggeleng. “Enggak. Pokoknya ada aja alasannya. Paling sering, sih, bahas capek ngurusin kerjaan. Ya udah, aku berusaha maklum. Sebenarnya aku aja yang bodoh. Sejak awal aku udah ngerasa aneh, tapi denial terus. Harusnya aku bisa melakukan pembatalan pernikahan kalau belum enam bulan. Alasannya toh valid. Sayang banget aku telat. Aku sadarnya saat kami nikahnya udah tujuh bulan, hampir delapan.” “Masa selama itu dia sedikit pun enggak pengen sama kamu?” “Enggak, Syif. Serius! Dia selalu aja beralasan. Aku bahkan pernah sengaja pakai baju kurang bahan buat goda dia. Tapi apa? Enggak ada, tuh, dilirik. Seperti yang kubilang barusan, capek kerja selalu jadi alasan utama. Aku sampai sering nangis.” “Tapi kamu kok bisa sadarnya lama banget? Harusnya sebulan enggak nyentuh aja udah aneh. Mas Ajun, lho. Aku haid aja dia tantrum!” “Pengen, Syif, diinginin suami sampai dianya tantrum.” Syifa kembali menatapku prihatin. “Sakingnya diabaikan terus menerus, ya, sampai ngerasa gitu?” “I-iya.” “Tapi kamu beneran aneh. Kenapa sadarnya lama, hah?” “Jujur, saat awal nikah dia pernah bilang kalau dia enggak mau punya anak dulu karena kami kenal belum lama. Katanya sambil bangun kedekatan versi halal. Ya aku iya-iya aja karena kenyataannya emang kami kenal belum lama sampai mutusin buat nikah. Terus jalan beberapa bulan kok kaya enggak ada perubahan. Aku sempet mikir dia mungkin impoten, aku pengen bawa dia ke dokter. Tapi dia sering emosi kalau aku agak bahas ke arah sana.” “Hm … oke, masuk akal. Tapi serius, aku penasaran banget gimana sampai kamu akhirnya mergokin dia check in sama cowok.” “Pokoknya panjang, Syif, ceritanya. Kapan-kapan aja aku cerita. Intinya parah, makanya aku langsung kumpulin bukti dan gugat cerai. Aku sampai bayar mahal biar surat gugatanku lekas di-acc.” “Terus, orang tuamu masih marah besar?” Aku mengangguk. “Masih banget. Ayah sama Ibu kompak mendiamkanku. Mana aku disuruh ganti uang resepsi gara-gara mereka nanggung malu. Ya emang malu, sih, setahun nikah bukannya ngasih cucu, malah cerai.” “Waduh! Mana besar banget, lho, acaramu waktu itu!” “Makanya! Syifaaa …” aku meneteskan air mata lagi. “Habis tiga ratus juta lebih, lho. Harus cari ke mana uang segitu? Double sial-nya, aku udah resign dari kerjaan lama. Tabunganku juga enggak seberapa.” Syifa kini memelukku. “Andai aku miliader, Mil, aku bantu. Pasti aku utangin. Sayangnya, aku sama Mas Ajun lagi nabung buat beli rumah yang lebih luas dari ini.” “Iya, Syif. Aku paham. Aku juga enggak ada niat utang kamu. Entah nanti gimana buat dapat uang segitu.” “Sabar, ya! Pasti ada jalan.” Setelah menenangkan diri di rumah Syifa, aku pamit pulang. Anak itu sebenarnya menyuruhku menginap, tetapi aku tidak mau. Aku tetap harus pulang meski semua keluargaku melakukan silent treatment. Ah, kecuali adikku. Dia masih menganggapku ada. Sejak aku bilang ingin cerai, Ayah langsung memarahiku habis-habisan. Beliau jelas menentang, tetapi keputusanku sudah bulat. Akhirnya, beliau mendiamkanku. Ibu sempat menangis, tetapi tidak banyak berkomentar dan akhirnya ikut diam. “Ck! Gini amat hidupku!” Hari ini aku keluar jalan kaki dan naik angkutan umum. Mobilku disita Ayah, motorku pun sama. Pokoknya aku nelangsa maksimal. Aku merasa disudutkan oleh semua pihak. Salah satu yang paling kusesali adalah aku resign dari perusahanku yang kemarin. Andai belum, mungkin aku baik-baik saja. Memang, sejak menikah, Mas Andra memberi nafkah yang sangat cukup. Makanya aku mau saat dia memintaku untuk resign. Terlebih, salah satu cita-citaku adalah menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Aku tidak ingin kerja dan fokus mengurus anak. Tak tahunya, kini aku malah luntang-lantung tidak jelas. “Duh! Mana halte masih jauh!” Aku bisa saja pesan ojek kalau mau. Namun masalahnya, aku harus irit. Tabunganku menipis, dan aku tidak mungkin minta orang tua. Bagaimana mau minta mereka? Mereka saja menganggapku punya utang. Aku juga tidak tahu akan sampai kapan dapat kerja lagi. Jadi, aku benar-benar harus bijak dalam mengelola uang. “Mila!” Aku langsung menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. Mataku refleks mendelik begitu menyadari kalau orang itu adalah Mas Andra. Detik itu juga, aku langsung lari sekencang mungkin. Aku tidak mau berurusan lagi dengannya. Pasalnya, terakhir kami bertemu, dia memukulku. Tidak hanya memukul, aku pernah didorong sampai punggungku membentur tembok. Itu terjadi saat aku menggugat cerai dan emosinya naik ke ubun-ubun. Bayangkan saja. Sudah gay, tempramental pula. Semakin tidak ada alasan untuk tidak mengugat cerai. Untungnya, pengadilan agama cepat mengabulkan karena selain bukti yang kukumpulkan kuat, Mas Andra juga tidak pernah hadir saat sidang. “Mila, tunggu! Jangan kabur, kamu!” Aku semakin berlari kencang. Kali ini aku masuk jalan perumahan yang aku sendiri tidak tahu apa namanya. Intinya, masih area Jogja kota. Saat aku merasa buntu, tiba-tiba aku melihat ada mobil hitam yang parkir di depan sebuah rumah. Aku menghampirinya, ternyata tidak terkunci. Aku buru-buru masuk dan menutupnya. Aku jongkok dan bersembunyi. Jantungku kini sudah berdebar tak keruan. Rasanya benar-benar seperti akan meledak. “Sialan! Ke mana dia?” Suara Mas Andra terdengar keras, jadi dia pasti sedang berada di dekat mobil ini. “Mas iya, masuk mobil?” Aku memejamkan mata karena panik. Aku berdoa agar tidak ketahuan. “Kamu sedang apa di situ?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang familiar di telingaku. Itu suara laki-laki. “Enggak, enggak papa,” balas Mas Andra. “Saya sedang mengejar istri saya. Dia tiba-tiba hilang di area sini.” Istri, dia bilang? Padahal sudah mantan. Hakim sudah ketuk palu! “Itu bukan urusan saya. Yang jelas, minggir. Saya mau pergi.” “Oke, sorry!” Saat pemiliknya masuk, aku semakin bersembunyi. Dia belum menyadari keberadaanku yang kini meringkuk di bawah jok belakang. Begitu mobil pergi, aku mulai lega. Aku sengaja diam saja sampai mobil ini jalan agak lama. Setidaknya saat aku minta turun, posisiku sudah jauh dari manusia jahat itu. Eh, tunggu! Aku mengendusi wangi mobil ini. Kenapa sangat tidak asing? Saat aku hendak menegakkan badan, kepalaku tak sengaja terbentur benda keras di depanku. Itu membuatku mengaduh. Mobil langsung berhenti mendadak. Membuaku ambruk dan kembali terbentur. “Argh!” “Siapa di belakang?” “S-saya! Maaf, Mas, maaf! Saya yang barusan dicari mantan suami saya. Maaf karena saya lancang masuk mobil Masnya. Tolong turunkan saya di sini. Saya pergi sekarang!” Aku bangun dan membenarkan rambutku yang berantakan. Begitu aku menegakkan badan, si pemilik sedang menoleh ke belakang. Seketika itu, aku memekik kaget sampai terduduk. Kini mataku sudah melebar selebar-lebarnya. Tanganku pun sudah refleks menuntup mulut. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. “Mila?” “M-mas Rivan?” Iya, ternyata mobil ini milik Mas Rivan. MANTANKU! “M-maaf, maaf! Aku keluar dulu! Makasih banyak buat tumpangannya!” Aku buru-buru keluar mobil dan bergegas pergi. Namun, Mas Rivan lebih dulu menahanku. “Kamu tadi bilang apa? Mantan suami?” Aku memembuang muka. “Lalu apa ini?” Mas Rivan merebut map yang kubawa. “Akta cerai? Kamu cerai, Mil?” Aku menepis tangan Mas Rivan kuat, lalu merebut kembali akta ceraiku. “Aku cerai atau enggak, itu bukan urusan Mas Rivan lagi. Maaf karena lancang udah masuk mobil sembarangan. Ah, sekali lagi terima kasih buat tumpangannya.” Aku menunduk sejenak. “Tolong pura-puralah enggak pernah ketemu aku malam ini. Permisi!” Aku buru-buru pergi meninggalkan Mas Rivan. Saat dia memanggilku, aku tidak memedulilkannya. Aku berlari sejauh yang kubisa. Sampai akhirnya, aku terjatuh karena kakiku lemas. Aku terjatuh di pinggir trotoar sepi. Di sana, tangisku langsung pecah. “Kenapa dia harus lihat aku dalam kondisi mengenaskan begini? Kenapaaa?!” ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Mate and Brother's Betrayal

read
472.6K
bc

The Pack's Doctor

read
124.4K
bc

The Triplets' Fighter Luna

read
188.3K
bc

Claimed by my Brother’s Best Friends

read
177.7K
bc

Her Triplet Alphas

read
8.3M
bc

La traición de mi compañero destinado y mi hermano

read
154.6K
bc

Ex-Fiancé's Regret Upon Discovering I'm a Billionaire

read
133.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook