"Hai, yang kemarin mau bercerai?" Amira mendongak dan menemukan Harras disana, pria itu mendudukkan dirinya di depan Amira bahkan tanpa meminta izin lebih dulu.
Amira melihat sekitarnya, dia berada di sebuah kafe untuk makan siang, tapi yang terjadi dia hanya menatap kosong makanan di depannya yang mungkin sekarang sudah mendingin.
"Berubah pikiran? Atau kamu menemukan pengacara lain." Harras penasaran sebenarnya karena sejak pertemuan mereka Amira tak juga menghubunginya dan hari ini dia baru saja bertemu klien dan menemukan Amira duduk di salah satu kursi, jadi dengan rasa penasaran Harras pun menghampirinya.
"Bukan urusan kamu," kata Amira sambil mulai menyendok makanan dan menyuapkannya ke dalam mulutnya dan benar saja makanannya sudah dingin.
Harras memperhatikan Amira dengan seksama, awalnya Harras kira dia salah lihat , mengingat penampilan Amira terakhir kali, tapi rupanya benar ini Amira, hanya saja rambutnya sudah terpotong dan gaya pakaiannya yang lebih santai.
Nampak dari raut wajahnya Harras tahu Amira sedang frustasi, tentu saja Harras tahu, dia adalah seorang pengacara yang diharuskan bisa membaca raut wajah seseorang.
"Aku bisa bantu kamu Amira, kalau kamu mau." Amira mendongak dan menatap Harras yang menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan.
Amira menghela nafasnya "Aku gak jadi cerai, jadi gak perlu."
Harras mengerutkan keningnya, Harras tak tahu pasti permasalahan apa yang membuat Amira ingin bercerai, tapi yang dia dengar dari Rendi jika suami Amira berselingkuh, dan untuk kasus perselingkuhan biasanya jarang yang ingin rujuk kembali, tapi Amira ...
Harras mengangguk "Apapun itu kamu sudah pikirkan baik- baik?" Amira menunduk lalu mengangguk.
"Oke, kalau gitu ... Tapi seandainya kamu butuh bantuan kamu bisa hubungi aku," ucap Harras dengan raut wajah serius.
Amira mendongak "Kamu sangat serius, sepertinya Leoni sudah banyak berubah." Amira terkekeh, mengingat dulu pria di depannya adalah jenis pria yang cenderung jahil dan usil.
Harras tertawa "Ini karena membicarakan pekerjaan, tapi di luar itu aku masih bisa untuk menjahili kamu."
Amira mendengus "Sudah tua, jangan membuat ulah."
Tawa Harras semakin berderai "Ya, kamu benar, Tapi aku rasa wajah kamu enggak berubah ya, aku jadi ingat wajah ini menangis mengelilingi sekolah gara- gara aku gantung sepeda kamu di atas pohon."
"Kamu membangkitkan dendamku sepertinya, dan itu sebenarnya sudah tindakan bullying."
Harras menghilangkan tawanya dan menggantinya dengan senyum kecil lalu mengangguk "Kamu ingat saat itu kamu menyumpahi aku."
Amira mengerutkan keningnya dengan kepala di miringkan, Amira memutar kejadian itu ... hari itu jam kelas berakhir dan saat orang- orang sudah keluar gerbang dia justru sibuk mencari sepedanya yang tidak dia temukan dimana pun.
Dengan menangis sambil mengelilingi sekolahan untuk mencari sepedanya, Amira terus menyumpahi Harras, hingga dia tiba di dekat pohon di belakang sekolah dan melihat sepedanya tergantung disana.
"Mengingat itu, aku gak nyangka kamu bisa jadi pengacara, kamu itu penjahat sekolah." Amira menyeruput minumannya, makanan yang dingin membuatnya semakin tak berselera, terlebih masalah hidup yang sedang dia hadapi.
"Aku sendiri bahkan tak menyangka." Harras terus memperhatikan Amira dengan senyum kecil di bibirnya, dan memalingkan wajahnya saat Amira melihat ke arahnya.
"Jadi, kenapa gak jadi bercerai?" Harras tahu harusnya dia tidak menanyakan ini, sebab ini adalah masalah pribadi Amira. Jadi dengan segera Harras mengubah cara bicaranya sedikit menyeringai jahil "Atau kamu gak punya uang buat bayar pengacara." perkataan itu di sertai kekehan.
Amira menipiskan bibirnya "Ya, sepertinya memang begitu," katanya dengan lesu.
Harras menyurutkan senyumannya, lalu berdehem "Kalau itu maksud kamu, aku gak masalah dibayar harga teman."
Kini Amira yang tertawa "Lupa kalau kita bukan teman?"
Harras tersenyum melihat Amira tertawa "Kalau begitu bayar harga musuh saja."
Dan Amira semakin tertawa ... "Mana ada harga musuh, yang ada mungkin harganya akan semakin mahal."
Harras menyunggingkan senyumnya "Apa sudah lebih baik?" Mendengar pertanyaan Harras Amira menghentikan senyumnya, lalu tatapannya jatuh tepat di mata Harras yang menunjukan ketulusan.
Amira terpaku, melihat mata itu menyipit sebab si pemiliknya tengah tersenyum.
Amira menelan ludahnya lalu memalingkan wajahnya. "Kamu cantik saat tersenyum Amira, begitu pun saat kamu mengumpati aku, tapi aku tidak suka melihat wajah kamu bersedih."
Amira menunduk dengan wajah yang seketika memerah. "Aku gak tahu kamu sekarang jadi cowok yang suka menggombal."
Harras menegakkan tubuhnya lalu bersandar di kursi menatap lurus pada mata Amira "Aku gak seperti ini sama wanita lain."
Amira berdehem lalu dengusan keluar dari bibirnya "Pria memang selalu berkata begitu kan." buktinya Frans juga begitu, berkata manis, berkata cinta dan memujinya lalu tiba- tiba pria itu selingkuh, dan menduakannya.
"Manusia memang akan selalu memiliki masalah hidup, tapi bagaimana cara kita menyelesaikannya. Dan yakin semua akan ada jalan keluarnya. Jadi kamu jangan menyama ratakan semua pria hanya karena sudah disakiti oleh satu pria."
Amira tersenyum kecut, dia bahkan tak tahu caranya lepas dari masalahnya, bercerai adalah jalan satu- satunya menurutnya, tapi bagaimana jika dia terdesak dan di ancam, tentu saja Amira tak ingin adiknya menjadi taruhan.
Tapi jika terus bersama Amira tak yakin akan kuat menghadapi ini, terlebih Frans membawa madunya ke rumah. Mengingat itu Amira melihat jam di ponselnya sudah pukul satu siang, tak terasa waktu yang dia lewati. "Aku harus pulang," ucapnya pada Harras. Amira memanggil pelayan dan meminta tagihan, lalu mengeluarkan kartunya, belum juga Amira memberikannya Harras sudah menyimpan kartunya di atas tagihan Amira.
"Aku yang bayar."
"Loh?"
"Anggap ini permintaan maaf karena aku yang nakal dulu," katanya saat melihat wajah Amira nampak bingung.
Amira mengulum senyumnya "Kalau begitu ini gak akan cukup."
Harras mengangguk "Kalau gitu kita bisa makan lagi lain kali, dan aku akan bayar sampai lunas." Amira tertegun, padahal dia hanya bercanda. "Aku serius."
Harras membuka pintu mobil Amira dan membiarkan Amira masuk ke kursi kemudi, Amira sempat terkejut, Amira juga tak menyangga jika Harras akan mengantarnya hingga parkiran, tapi akhirnya dia masuk dan duduk dengan canggung, lalu memakai sabuk pengaman.
"Hati- hati di jalan," ucapnya setelah menutup pintu mobil Amira.
Amira mengangguk lalu pergi meninggalkan parkiran kafe, meski dahi Amira mengerut bingung dengan perlakuan Harras, tapi Amira tak ingin berpikir berlebihan, masalahnya lebih serius di banding perlakuan Harras, dan Amira harus memikirkan bagaimana dia bersikap saat tiba dirumah dan menghadapi madunya yang pasti sudah ada disana.
"Ah, aku malas pulang." Amira melajukan mobilnya tak tentu arah, hingga tiba di sebuah danau di pusat kota. Amira menghentikan mobilnya di tepi jalan, dan diam menatap danau di luar sana, lalu tiba- tiba air matanya menetes,
Satu ...
Dua ...
Tiga ...
Hingga akhirnya tetesan itu menjadi semakin deras seiring isakan tangisnya yang mengencang "Tega, kamu mas ... Tega. Hiks ... Hiks ... Aku harus apa sekarang?" mengkhianati tapi tak mau melepaskan sungguh Frans sangat egois, tapi begitu kan sikap orang serakah, dia bilang mencintai Amira, tapi dia juga berkata mencintai Kinan.
Sakit, hati Amira sakit, mendengar ucapan Frans kala itu. Bagaimana dia bisa mendengar jika suaminya mencintai wanita lain. Dan sekarang dia juga harus tinggal satu atap dengan madunya.
Harras menghentikan mobilnya tak jauh dari mobil Amira, sejak keluar dari parkiran kafe Harras mengikuti Amira, dan saat ini Harras menatap mobil Amira yang berhenti di tepi jalan di dekat danau. Amira berbohong saat bilang dia akan pulang dan wanita itu justru diam disana sudah hampir satu jam lamanya.
"Apa yang sudah kamu Alami Mira," gumam Harras sambil terus menatap mobil Amira.