Hanya keluarga terdekat yang tahu bahwa Kenzi dan Ellea telah menikah. Tidak menunggu waktu lama, jenazah dikebumikan sore itu juga. Orang tua Ellea sempat datang lagi meski jarak rumahnya cukup jauh. Baru pagi tadi mereka menikahkan anak mereka, di tanggal yang sama datang berita duka itu.
Lepas maghrib orang tua Ellea pulang, meninggalkan Ellea di rumah Kenzi. Banyak orang yang datang untuk takziah dan tahlilan, acara keagamaan yang biasa dilakukan ketika seorang meninggal dunia.
Ellea tidak tahu bahwa rekan-rekan kerja Kenzi pun datang di malam itu. Ellea yang memakai setelan berwarna hitam yang dibawakan oleh orang tuanya itu menyalami mereka dengan tak enak hati. Bisik-bisik samar terdengar.
“Gercep banget udah di sini?” ujar salah satu teman Kenzi yang merupakan teman Ellea juga.
“Tadi kebetulan ada urusan dekat sini, jadi mampir,” tutur Ellea yang jelas saja berbohong syukurlah Kenzi sedang bersama tamu lain. Dia tampak tegar, mungkin memang kepergian ibunya adalah yang terbaik bagi ibunya, kini mendiang tidak perlu merasakan pahitnya obat dan sakitnya jarum suntik lagi.
“Tante,” panggil Tiara, keponakan Kenzi. Ellea melirikkan matanya ke arah teman-temannya. Tiara yang sudah berusia dua puluh tahun itu seolah paham, dia tak menyangka bahwa Ellea sedang bersama teman kerjanya. Sejak dia datang ke rumah sakit dan mengurus jenazah memang Tiara mulai tampak akrab dengan Ellea, Ellea yang menenangkan Tiara saat neneknya harus dikebumikan.
Orang tua Tiara sendiri memang tak terlalu dekat dengan anak tunggalnya itu karena sejak kecil anaknya sudah ikut neneknya. Jelas Tiara sangat kehilangan.
“Kenapa Tir?” tanya Ellea.
“Enggak, hmmm, lupa,” ujarnya sambil menggaruk telinganya, kebiasaan saat dia berbohong. Tiara pun membungkuk hormat pada teman-teman Kenzi lalu kembali masuk.
Ellea menatap rekan satu kantornya dengan pandangan pura-pura tak terjadi apa-apa. Mereka pun tampaknya tak terlalu peduli karena acara pengajian akan di mulai.
Mereka duduk di kursi-kursi plastik berwarna putih yang berada di halaman rumah milik orang tua Kenzi. Berbeda dengan para tetangga dan kerabat yang memenuhi rumah bagian dalam dan teras.
Seorang pria bertubuh agak kekar dan tidak terlalu tinggi itu berjalan menghampiri Ellea dan rekan lainnya. Ellea sangat mengenalnya, dia adalah atasan langsung Ellea bagian Purchasing.
Nando namanya, seorang duda dengan satu anak itu tersenyum melihat Ellea. Ellea hanya tersenyum tidak enak padanya. Usia Nando berbeda sepuluh tahun dengan Ellea, dia kini berusia empat puluh tiga. Usia yang matang, dia pun mapan. Istrinya meninggal dua tahun lalu karena suatu penyakit yang dideritanya, meninggalkan anaknya yang sudah berusia SMP.
“Kamu sudah di sini?” tanya Nando seraya menyalami Ellea.
“Iya, Mas, sama siapa?” tanya Ellea kembali.
“Sendiri,” tutur Nando, dia pun menyalami teman yang lain dan menarik kursi duduk di samping Ellea. Sebenarnya Ellea tidak enak duduk di samping bosnya yang sebenarnya sedang melancarkan aksi pendekatan padanya. Hati Ellea telah tertaut pada Kenzi cukup lama.
Kenzi ke luar dari rumah, melihat ke arah Ellea yang duduk sampingan dengan Nando, ada semburat cemburu yang tercetak dari raut wajahnya. Namun dia segera mengubah raut itu, menyalami Nando dan teman-teman yang sudah datang.
“El, bisa bantu di dalam? Kamu kan cewek satu-satunya di sini,” tutur Kenzi. Ellea merasa seperti terselamatkan, entah mengapa dia selalu ingin lari jika berhadapan dengan Nando? Tak mau salah bicara yang membuat Nando sakit hati.
“Oke, Mas,” ucap Ellea, lalu dia menunduk sopan pada Nando dan yang lainnya. Kenzi duduk menggantikannya. Ellea menarik napas lega. Dia bisa terselamatkan dari Nando. Gaya pendekatan Nando sangat kuno, terkadang dia sangat over perhatian, arah pembicaraannya pun tidak nyambung, kecuali untuk urusan pekerjaan. Di luar itu benar-benar Ellea terkadang harus mencari topik atau mematikan topik itu sekalian. Karenanya dia tidak nyaman jika berdua dengan Nando.
Ellea masuk ke dalam melalui pintu samping, langsung menuju ke ruang dapur. Tampak Tiara sedang membantu merapikan kue di piring untuk sajian para kerabat yang mengaji.
“Tadi mau ngomong apa?” tanya Ellea.
“Ih Tante, ngagetin!” seloroh Tiara, mengerucutkan bibirnya. Ellea hanya tersenyum menimpalinya.
“Mau tanya tentang jurnal keuangan Tan, akuntansi,” tukas Tiara.
“Ish itu mah tanya sama om kamu, dia jagonya, kalau pembelian barang-barang baru tuh ke tante,” seloroh Ellea.
“Ya kan dasarnya pasti tahu, enggak mau ah belajar sama Om, dia mah galak kalau ngajarin,” dengus Tiara. Ellea lagi-lagi tersenyum, membantu Tiara merapikan piring itu.
“Ya nanti kalau semua sudah pulang tante lihat,” ucap Ella pada akhirnya yang membuat Tiara cukup senang. Ternyata acara pengajian berlangsung cukup lama, karena itu Tiara segera mengajak Ellea ke kamarnya, mengecek bukunya.
Kamar Tiara di rumah neneknya ini sama seperti kamar anak muda lainnya, tak terlalu banyak barang besar, hanya pernak-pernik Kpop dan poster idolanya yang menempel di dinding.
Ellea duduk di ranjang yang cukup empuk itu, mulai terasa lelahnya. Dia pun membuka buku akuntansi Tiara.
“Debit kreditnya yang mana Tan?” tanya Tiara. Ellea mengambil pensil dan menandai contoh soal itu, mungkin ini adalah cara Tiara agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan. Kenzi pernah bilang kalau Tiara itu anak yang pintar, dia sering mendapat beasiswa di sekolahnya dan rajin belajar.
Sesaat Ellea tertegun, apakah Tiara memendam sesuatu? Hingga menjadikan belajar adalah sarana melampiaskan emosinya? Tak mau berspekulasi. Ellea pun memilih membantu Tiara meski dia harus ekstra memutar otak untuk mendapat jawabannya.
***
Para petakziah sudah pulang, hanya tinggal keluarga terdekat saja di rumah itu. Kenzi masuk ke kamar Tiara. Ellea berbaring, ketiduran sambil memeluk buku akuntasi tersebut. Tiara berbincang dengan ibunya di luar.
“El,” panggil Kenzi. Ellea membuka matanya dan menoleh ke kanan kiri, dia sangat lelah hari ini.
“Aku antar pulang ya,” ujar Kenzi.
“Mas kan capek, aku naik ojek aja,” ucap Ellea. Besok adalah hari sekolah, dia tak mau anak-anaknya repot menyiapkan keperluan sekolah tanpanya.
“Yakin enggak apa-apa naik ojek?” tanya Kenzi. Sejujurnya Ellea sedikit kecewa, mengapa Kenzi tidak membantah perkataannya? Namun Ellea lagi-lagi berusaha mengerti, mungkin Kenzi juga sangat lelah, apa lagi dia baru kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki.
“Iya, enggak apa-apa,” ucap Ellea, dia menutup buku akuntasi Tiara lalu bersiap untuk pulang. Dia pun berpamitan pada keluarga Kenzi, Kenzi masih menemani dia sampai ojek online yang dipesannya datang. Sejenak Ellea berpikir, tahu gitu tadi dia nebeng Nando terlebih mereka searah. Namun dia menggeleng, tidakkk! Jangan jadikan seseorang pelarian jika tak mau mengalami hal serupa.
Ojek online yang dipesan pun tiba. Kenzi memotret motor dan plat nomornya, Ellea menyalami Kenzi dan naik ke boncengan ojek online itu. Motor melaju meninggalkan perumahan orang tua Kenzi. Ellea menarik napas panjang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dia sangat lelah, ingin langsung berbaring di ranjang nyamannya. Namun perjalanan masih jauh.
Memang jarak rumah kenzi dengan rumahnya itu cukup jauh, bisa enam puluh sampai sembilan puluh menit perjalanan naik motor. Beruntung hari yang sudah malam tidak macet sehingga dalam waktu satu jam dia telah tiba. Setelah membayar biaya ojek dan memberikan tip untuk abang ojek tersebut. Ellea pun masuk ke dalam rumah. Semua keluarga sudah tidur tampaknya.
Dia langsung masuk kamar, membersihkan dirinya. Ghais masih terbangun, mendengar suara ibunya yang membersihkan diri di kamar mandi, dia pun menunggu di kamar sang ibu. Duduk menatap ibunya yang keluar dari kamar mandi di dalam kamar itu.
“Lho belum tidur?” tanya Ellea seraya mengeringkan wajah dengan handuk.
“Mama memangnya benar menikah? Kok aku enggak dikasih tahu?” ujar Ghais sambil melipat tangan di d**a.
“Oh itu, besok mama cerita.”
“Aku maunya sekarang!” ujarnya merajuk. Ellea kehabisan tenaga untuk berdebat. Karena itu dia segera mengganti bajunya dan berbaring di ranjang.
“Nama suami mama om Kenzi, kamu mungkin pernah ketemu sama dia waktu main ke kantor, tapi pernikahan mama dengan om Kenzi tidak seperti pernikahan ayah dan bunda kamu,” tutur Ellea merujuk pada ayah Ghais yang menikah.
“Enggak sama apa? Sama-sama enggak izin sama anak, sama-sama enggak bilang ke anak?” sungut Ghais. Ellea lagi-lagi menarik napas panjang, memang salah mantan suaminya yang menikah tanpa bilang ke anak. Anak tahu pun dari status ayahnya. Terlalu pintar memang, tidak bicara tentang hari pernikahan tiba-tiba update status memakai baju pengantin.
“Ibu dari Om Kenzi, sakit parah, ingin om Kenzi menikah. Karena mama dekat dengan Om, jadi Om meminta mama menikah dengannya, sekarang ibu om Kenzi sudah meninggal. Jadi kamu yang sabar ya, nanti kalau waktunya tiba kita bisa bersama-sama, jangan bilang Ghania ya, dia belum mengerti apa-apa. Mama minta maaf ya karena enggak izin kamu, tadi keadaan benar-benar darurat,” ucap Ellea dengan lembut.
Tadi pagi saat Kenzi ke rumah memang kedua anak Ellea tidak ada, sedang menginap di rumah ayahnya. Mungkin orang tua Ellea yang mengatakan berita itu pada anaknya.
Ghais mencoba mengerti, dia pun kembali ke kamarnya, rasa penasarannya sudah mulai hilang karena jawaban sang ibu.
***
Ellea masuk kerja seperti biasa, dia langsung menuju meja kerjanya dan membuka laptop. Melihat catatan yang telah dia buat.
“Coy!” panggil Tora, teman kerja satu ruangan Ellea. Perawakannya gemuk dan tinggi, kulitnya putih dan rambutnya agak panjang. Usianya jauh di atas Ellea, namun dia belum mau menikah. Katanya single itu seru. Bagaimana bisa menikah jika tipe wanita idamannya adalah para artis? Halu memang!
“Apaan? Pagi-pagi tuh assalamualaikum kek, ini cay coy cay coy,” seloroh Ellea.
“Seperti biasa, pagi-pagi udah emosi,” kekeh Tora sambil menarik kursi untuk duduk di samping Ellea.
“Bukan emosi, biasa aja keles,” celetuknya.
“Udah ah skip. Ngomong-ngomong semalam ke rumah mas Kenzi katanya? Cieeee ada peningkatan,” kekeh Tora yang memang cukup tahu hubungan rahasia Ellea dengan Kenzi, dia sering memperingatkan Ellea untuk berhenti mengharapkan pria yang tidak jelas itu, namun dia juga yang sering menggodanya. Aneh memang.
“Biang gosip! Baru dateng udah dapet gosip aja,” decih Ellea.
“Ish, ngapain di sana?”
“Ngaji lah! Menurut ngana!”
“Tuh marah-marah mulu gimana mas Kenzi mau suka?”
“Bodo amat suka kek, enggak kek! Dia pasti jadi milik gue,” kelakar Ellea.
“Siapa milik siapa nih?” ujar Nando yang ujug-ujug ikut nimbrung. Ellea mengatupkan bibirnya, sementara Tora sudah tersenyum lebar menggoda Ellea, jelas dia pun tahu betapa Nando semangat mendekati Ellea. Bahkan dia ikut menjodohkan Ellea dengan pria itu, dia selalu berkata bahwa dicintai jauh lebih baik daripada mencintai. Apalagi mencintai makhluk tidak jelas seperti Kenzi.
“Eh Mas, baru sampai?” tanya Ellea basa-basi yang benar-benar basi. Tidak mungkin Nando tiba tepat waktu, dia selalu tiba lebih awal dari siapa pun di ruangan ini.
“Habis cari sarapan, kamu sudah sarapan?” tanya Nando.
“Sudah, Mas,” jawab Ellea.
“Tora juga sudah?” tanya Nando yang sepertinya sadar bahwa ada makhluk lain di sana selain mereka berdua.
“Sudah, Mas.”
“Sarapan ghibah dia,” dengus Ellea. Tora menyikutnya sementara Ellea memelototinya. Nando hanya tertawa melihat kedekatan mereka berdua. Lalu dia masuk ke ruangannya. Yang berada di bagian terdalam ruangan Purchasing tersebut. Ruangan atasan memang terpisah oleh dinding kaca.
Ellea melihat gelembung chat ponselnya, tak ada pesan dari Kenzi yang hanya menjawab pesannya dengan kata ok. Malam tadi, setelah Ellea mengabarkan bahwa dia sudah sampai di rumah dengan selamat. Ellea menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, dilakukan berkali-kali untuk menenangkan dirinya, hingga terdengar suara, “BROTTTT!”
“Tora kurang ajar lu ya! Pup sana!!!” geram Ellea seraya memukuli teman di sampingnya dengan tumpukan kertas. Tora hanya tertawa tanpa rasa bersalah.
***