Bab 1. Mimpi Atau Bukan

1047 Kata
Berlian mencoba mengerjap beberapa kali dengan napas tersengal menatap pada pria yang tidak ia kenali di depannya. Pria itu mengikat dan menindihnya di atas ranjang lalu tangannya mencengkeram rahang Berlian yang kaget setengah mati. “Di mana anakku?” dia menggeram dengan mata tajam menyala pada Berlian yang pucat ketakutan. Berlian menggeleng cepat dan cengkeraman itu makin kuat membuatnya seperti tidak bisa bernapas. “ Jawab!” pria itu berteriak lagi. “Aku gak tahu, sungguh. Aku gak tahu,” isak Berlian ketakutan setengah mati. Ia ingin memejamkan mata tapi tidak bisa. Kelopak matanya seperti dipaksa mendelik lebar tanpa bisa mengerjap. Rasanya mimpi tapi tidak mungkin. Pria itu lalu berdiri dan berbalik mengambil sesuatu. Berlian masih terengah satu-satu tidak bisa melepaskan diri. Matanya kembali membesar kala melihat sebuah senjata ditodongkan di keningnya. Ada apa ini? apa aku sedang dirampok - batin Berlian bertanya. “Katakan di mana anakku, Berlian?” Berlian semakin mengernyitkan keningnya. Apa maksudnya pria itu berkata seperti itu? Memangnya Berlian menculik anaknya? Dia bahkan tidak mengenal pria itu. “Jika kamu tidak bicara, aku akan menembakmu,” ujar pria itu lagi. Namun Berlian masih menggeleng seraya menatap wajah pria itu tanpa berkedip. Dia memakai jas biru dengan kemeja putih di dalamnya dan rambutnya berwarna coklat agak terang. Matanya kecil tapi tajam, siapa dia? “Katakan padaku!” pria itu lalu berteriak dan menembak. Berlian terbangun dan langsung terduduk sambil tersengal cepat. Dia seperti baru berlari puluhan meter. Ah mimpi itu lagi. Mimpi yang sama yang mengusiknya hingga selalu membangunkannya pagi pagi sekali. Selama dua minggu ini dia selalu mimpi yang sama, pria yang di dalam mimpinya memaksanya agar memberi tahukan dimana anaknya. “Ah kenapa aku gak bisa bangun tidur dengan cantik dan anggun? Kenapa harus selalu kaget ama cowok yang aku gak kenal! Ah sial!” umpatnya kesal sambil bangun dari ranjang dengan kesal, kusut dan kucel. Berlian melirik sekilas pada jam kecil di atas meja di samping tempat tidurnya yang sempit. Hari masih cukup pagi dan ia sudah terbangun lebih awal. Dengan malas ia menyeret kakinya ke kamar mandi. Hidupnya bisa disebut setengah pengangguran. Ia tinggal di kamar kos kecil dari berkuliah hingga lulus. Terlebih saat ia diusir dari rumah orang tua angkatnya karena masalah dengan kakak angkatnya yang menikah dengan kekasih Berlian. Ia semakin tidak mendapatkan tempat tinggal. Sambil menyikat giginya, Bunga menatap dirinya di depan cermin yang kecil di dinding kamar mandi. Pikirannya melayang mengingat pria yang menghantui mimpinya selama dua minggu belakangan ini. “Kenapa ada orang yang mengejarku di mimpi? Padahal, aku gak kenal anaknya yang mana. Huff ... hidup sial, mimpi pun sial,” gerutu Berlian lalu kembali menyikat giginya di depan cermin kamar mandi. “Gimana kalau itu tanda tanda aku bakal dirampok orang? Ah, gimana ini aduh mampus aku. Aku gak punya apa-apa. Kalo aku ditembak bagaimana? Ah, aku belum siap mati!” pekik Berlian paranoid sendiri. Lima belas menit kemudian, Berlian sudah berada di depan warung yang menjual sarapan pagi. Saat sedang menanti pesanannya dibungkuskan, iseng-iseng ia melihat ke arah televisi yang sedang diletakkan di sudut atas warung. Berita pagi hari ini adalah berita bisnis. Seorang pembaca berita wanita sedang membacakan berita tentang kepulangan seorang pengusaha yang selama tiga tahun menetap di luar negeri. Ia membawa investasi yang besar yang merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Video wawancara seorang pengusaha yang sedang memberikan keterangan kepada wartawan lalu kemudian berjalan ke mobilnya terlihat cukup jelas di TV itu. “Itu kan cowok yang mirip sama di mimpiku,” gumam Berlian tak sadar. Tak lama ia dikejutkan ibu warung yang memberinya bungkusan makanan yang ia pesan. Berlian hanya sempat melihat sekilas pada televisi itu dan memilih pulang. Tanpa mau berpikir aneh lagi, Berlian langsung pulang. Selesai makan, Berlian segera berangkat ke tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah penerbitan kecil. Sesungguhnya, Berlian bercita-cita ingin menerbitkan bukunya di tempatnya bekerja. Sayangnya kesempatan itu belum datang. Setelah 45 menit ia akhirnya sampai di kantor milik Santi Rahman dan suaminya Indra Rahman. Baru melangkahkan kaki masuk ke dalam ia melihat beberapa rekan kerja yang berkumpul sedang bergosip. Berlian hanya menggeleng dan sudutnya bekerja. Posisinya sebagai editor dan desain cover menuntutnya untuk bisa memenuhi standar yang diinginkan. “Aduh, ganteng banget, sih. Gue pengen banget kalo anak gue ntar seganteng ini. Sayang laki gue muka nya pas-pasan!” ujar seorang pegawai wanita yang sedang hamil lalu teman temannya menertawainya. Salah satu dari staf yang sedang santai mengobrol kemudian melihat pada Berlian. Berlian masih sibuk melakukan pekerjaannya. “Tumben banget lo pagi-pagi uda nyampe, ada deadline ya?” cibir staf itu lagi. Berlian sudah paham dan ia hanya diam saja. Staf itu mulai kasak-kusuk berbisik lagi. Entah apa yang dibicarakan sehingga mereka menertawai Berlian. Sinta lalu datang dan membentak sehingga semua orang membubarkan diri. Ia lalu mendatangi Berlian dan berkacak pinggang. Ia separuh melempar sebuah amplop di atas meja. Berlian berhenti mengetik dan menaikkan matanya ke atas. “Sekarang lo datang ke alamat perusahaan itu. Lo kasih penawaran buat mereka,” perintah Santi seenaknya. “Penawaran apa, Mbak?” “Mereka mau bikin pameran buku, jadi mereka butuh penawaran dari kita tentang buku-buku yang boleh masuk booth. Jangan sampai gagal.” Santi mendelik seraya menunjuk pada Berlian tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Berlian terpaksa menunda pekerjaannya. Ia bergegas menuju ke alamat yang tertera di dalam amplop yaitu Joenadi Grup tanpa mencari tahu tentang perusahaan tersebut. Betapa terkejutnya, Berlian saat ia menemukan jika perusahaan itu bergerak di bidang pertambangan serta properti dan bukan produksi buku atau semacamnya. Merasa telah salah sangka, Berlian sampai menunjukkan surat yang dikirimkan ke kantornya. “Benar, ini surat dari kami. Silakan, Anda sudah ditunggu di atas.” Resepsionis yang menyambut Berlian dengan ramah malah menuntunnya masuk ke dalam lift. Seperti orang bodoh, Berlian menurut saja dan masuk ke dalam lift yang besar dan mewah. Resepsionis itu membawa Berlian pada seorang staf wanita yang lebih cantik dan anggun. Sangat jauh berbeda dengan Berlian yang hanya menggunakan celana jeans untuk bekerja. Ia lalu masuk ke sebuah ruangan serba kaca dengan sebuah meja panjang dan beberapa kursi. “Silakan, CEO akan menemui Anda.” Berlian hanya mengangguk dan ditinggalkan di ruangan tersebut sendirian. Matanya melihat ke seluruh sudut di ruangan tersebut sampai salah satu pintu terbuka. “Halo Berlian, kita ketemu lagi,” ujar Damian berjalan berhenti tepat di depan Berlian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN