Sinting!
Gila!
Otak lo simpan di mana, Wala Ganteng?!
ARGH!
Bahkan batin sendiri pun mencemooh. Hari ini Wala sampai nggak mau masuk kamar. Gila, sih. Di sana ada Flora! Membuat Wala rungsing sendiri, perang batin. Selepas tadi dia diajak menepi oleh tiga kawannya. Tahu?
Di hari pernikahannya itu, saat malam tiba tentunya, ketika tamu sudah bubar, dan masih di gedung pernikahan. Well, hotel bintang 5 milik kenalan papinya. Dapat bonus kamar pengantin juga. Dan di sudut ruangan lain, Wala digeret oleh Arief.
Sementara, Adit duluan yang bilang, "Lo sakit, ya, Wal? Gak beres otak lo."
"Jujurly, gue pengin ketawa banget. Tapi, anjir ... frustrasi lo nular ke gue!" imbuh Arief.
Wala telah didudukkan di sofa kamar hotel itu. Yup, kamar yang mendadak di-booking oleh mereka untuk mengomeli Cakrawala agar tidak diketahui mami papinya.
Di situ pun Wala cuma mengusap wajah, menyugar rambut, terus melirik Agil yang pijit-pijit kening.
Capek banget, Ya Allah! Mau nangis, tetapi jagoan neon. Mau ketawa, tetapi ngenes juga. Haduwww!
"Gil, sorry, Gil ...." Cuma itu yang dari tadi Wala ucapkan, bila memang mulutnya dibuka. "Sumpah, gue kepepet banget."
"Dan lo nikahin putri berharga gue dengan berlandaskan kepepet? Anj--"
"Istigfar, Gil," celetuk Adit, dia tahan tubuh Agil yang sepertinya tadi mau menerjang Wala dengan bogem mentahnya. Lihatlah, Agil tampak berapi-api, tetapi kemudian lemas lagi.
Amsyooong!
"Gue ngerti perasaan lo, Gil," celetuk Adit. "Dan di sisi lain, gue juga ngerti posisi Wala, Gil. Aduh ... kok, gue ikutan pusing kayak kalian, sih?"
Ya, kan?
Keempatnya dilanda depresot berjemaah. Kena mental semua di hari pernikahan Wala yang seharusnya membahagiakan. Serempak, mereka mengacak-ngacak rambut, yang paling berantakan adalah Wala. Tuxuedo-nya sampai kusut. Sempat ditarik juga kerahnya sama Agil tadi ketika baru memasuki ruangan ini.
Agil ngamuk maksimal.
"Oke, sekarang gini ...." Arief buka suara. "Rencana lo ke depannya soal nikahan ini gimana, Wal?"
"Otak gue kosong," lirih Wala.
Agil menatap mantunya. Eh, mantu? AGSBSNSNSMKSKSHHB!!! Paham, nggak? Yang sulit didefinisi. s**t! Melihat Wala, Agil sebal sekali, padahal biasanya fine-fine saja.
"Oke, oke. Yang penting Flora udah luluslah, ya? Udah bukan anak sekolahan lagi walau umurnya masih delapan belasan," kata Arief. Mencoba jadi yang paling optimis dan bersahaja di sana.
"Yang jadi masalah itu umurnya Wala, bangs--"
"Agil, istigfar. Syakira denger, abis titit lo."
"Hush!" tegur Arief, teruntuk Adit. Eh, malah cekikikan. Bisa-bisanya tertawa di saat kabut tebal melingkupi hidup Wala.
"Sorry, sorry. Oke, gue serius kali ini," tukas Adit. Melirik Agil, bilang, "Emosi lo diredam dikit, Gil. Kita bicarakan baik-baik, Wala juga korban soalnya."
"Korban ndas lo belah dua, hah?!"
"Astagfirullah, Agil." Arief geleng-geleng kepala. "Jauh dari Syakira, mulut lo gak ada remnya, ya?"
"Gimana gue--"
"Paham, Gil, paham!" potong Wala. Akhirnya, dia nimbrung juga. "Makanya, kan, ini gue minta maaf banget sama lo."
Agil cuma mendengkus. Berkaca-kaca matanya. Mungkin ngenes sama nasib sang putri. Bisa-bisanya anak cewek semata wayang Agil yang paling-paling disayang itu nikah sama om-om! Makin ngenes kalau misal Agil minta Wala ceraikan Flora di masa depan nanti. Oh, tidak! Agil dilema badai. Adik-adik Flora yang jauh di pesantren sana pasti kaget banget nanti pas tahu kakaknya sudah sold out dipersunting cowok seumuran papa mereka. Sungguh kegilaan hakiki.
Kebayang betapa ruwetnya pikiran Agil, kan?
Nah, apa kabar dengan Wala di sana?
Menatap Agil ... si papa mertua. Sungguh, dunia sudah gila! Ah, salah. Wala yang membuat dunianya jadi edan. Ya Allah, tolong!
"Udah, Guys ... gini aja. Kita pikirkan poin positifnya--"
"Menurut lo, punya mantu seumuran itu ada positif-positifnya?" Agil sewot. Mata pun melotot memandang Arief.
Padahal maksud Arief baik, lho!
Jadi serba salah karena emosi masih memeluk Agil di sana. Ya, gimana, ya?
Wala makin semrawut.
Mereka pun terdiam sampai akhirnya Agil nyeletuk, "Jangan hamilin anak gue, lo, Wala. Awas kalo sampe itu terjadi!"
Buset.
Adit elus-elus bahu Wala. "Kasian amat hidup lo, Wal ... mertua lo gak ada obat galaknya," gumam Adit.
Arief berdeham. "Sorry, nih, Gil. Soal itu ... Wala udah tiga tujuh tahun, lho. Masa--"
"Pedofiiil!" desis Agil kejam. Dia menatap Wala super tajam.
Sabar, Wala.
Dalam hati, satu kata itu yang terus Wala ucapkan. Sabar. Oh, nggak. Namun, banyak hal yang terngiang-ngiang dalam hati Wala seperti: Mampus, kelar hidup lo, dahlah.
Misal Wala bilang, "Pernikahannya nggak akan bertahan lama, kok, Gil. Andai nanti lo minta gue buat gugat cerai Flora ...." Kayaknya Agil akan jauh lebih sewot, ya? Karena itu berarti, kehidupan Flora sengsara di pernikahan ini.
Haduh.
Wala berpikir keras.
Dia juga nggak mau, sih, buntingin bocil. Dih, ya kali?! Bukan selera Wala banget. Nggak yakin juga alat tempurnya bisa bereaksi sama cewek yang Wala anggap ponakan. Namun, hati kecil Wala berbisik, biar bagaimanapun ... ada naluri kelelakian yang terlalu tulen hingga bisa membuat orang sewaras Wala jadi khilaf.
Jadi, gimana, dong?
"Oh, ya, waktu tadi lo ngasih pengertian ke ortu, gimana? Kok, hebat mereka bisa setuju dan ngasih restu? Padahal ganti pengantin, gantinya sama bocah pula," seloroh Adit.
Wala menghela napas berat. "Mereka udah pasrah ...." Wala pun mengusap kasar wajahnya. "Udah nyerah dan terserah soal hidup gue."
Wah ....
"Kebayang betapa bebannya lo di keluarga." Arief nyengir.
"Iya, tau. Emang gue tuh beban keluarga. Puas, lo?"
"Haha! Canda doang, elah. Gitu aja baper, lo."
Wala mencibir. Dasar teman toxic, jahat!
"Ya udah, sekarang gini aja ...."
Apa pun itu, pada intinya obrolan mereka di sana tidak menemukan titik terang. Hingga akhirnya, satu per satu dari mereka dapat telepon dari pasangan. Kecuali Wala, lho, ya. Sisa dia di kamar itu, yang Wala pijat-pijat keningnya.
Tuhan ... salah apa coba Wala di masa lalu sehingga masa depannya kelam macam dunia tanpa siang?
Kan, dulu cuma nakal dikit mainin hati perempuan. Ehm! Wala menolak menerima kenyataan.
Oke, sip. Itu tadi. Sekarang Wala sudah keluar dari sana, tetapi tidak masuk kamarnya sendiri, tak langsung menemui Flora. Wala cari udara segar dulu dengan tuxedo yang sudah dia buka, menyisakan kaus putih di badan alotnya. Tuxedo itu Wala tenteng. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Wala pun meninggalkan ponselnya di kamar pengantin.
Begitu dia kembali ke kamar pengantin yang disediakan pihak hotel, Wala mendapati sesosok perempuan berbalut selimut sampai leher terlelap di ranjang.
Oke, orang tua dan keluarga memang sudah pulang dan cuma bilang, "Kami tunggu di rumah Semesta. Untuk sekarang ... nikmati aja dulu momen malam pengantin kamu di sini."
Pasti Wala mau disidang.
Fix, Wala sakit kepala.
Dia pun kunci kamar hotel itu, lalu beranjak ke kamar mandi. Namun, sebelum itu ... Wala pastikan dulu pengantinnya ini betulan sudah tidur atau cuma merem pura-pura.
"Ra?" Wala panggil-panggil tanpa berani menyentuhnya. "Tidur?"
Nggak ada jawaban. Oke, fix, Flora tidur. Yang demikian itu, akhirnya ... Wala nyusul. Dia juga tidur. Tentu, setelah mandi dan ganti pakaian. Rupanya kamar pengantin ini difasilitasi juga dengan piama dan baju dinas malam perempuan.
Ngomong-ngomong, Flora tidurnya bukan pakai kebaya, kan?
Yang langsung Wala sibakkan selimutnya. Eh, eh ... gegas Wala selimuti lagi. Geleng-geleng kepala.
"Bisa-bisanya dia tidur nyenyak di situasi begini ...," decak Wala, "pake baju dewasa pula!" lanjutnya, menggerutu.
Ah, sudahlah.
Wala pun rebah mengistirahatkan raganya. Semoga besok pas bangun, ini cuma mimpi.
***
Paginya ....
Wala mengerang, mengerjap-ngerjap, lalu menguap, sampai akhirnya mata itu terbuka sempurna. Matahari sudah terbit rupanya.
Seakan diriset, otak Wala loading meng-update memori sebelum-sebelumnya.
Agak linglung. Wala celingak-celinguk. Hanya ada dirinya di sini.
Dia pun cari-cari ponsel. Oh, di nakas. Gegas Wala ambil. Namun, nggak nyala. Kehabisan daya sepertinya. Ya sudah, Wala pun lengser dari sana. Yeah, sesekali Wala memang suka nginap di hotel, sih, kalau merasa penat di rumah.
Setelah mandi, tak lupa tadi sambil isi daya ponsel selagi Wala sibuk urus diri, hingga kemudian Wala pakai kaus yang menggantung di sana, juga celana bahan yang agak mengilap. Tampaknya itu pakaian Wala ketika check in di sini, digantung di kamar mandi, tanpa tengok-tengok ke sekitar lagi, Wala langsung ambil kunci mobil, ponsel, berikut dompetnya, dan itu Wala masukkan ke dalam tas--isinya memang charger dan lain hal--bahkan atasan tuxedo itu pun nggak sempat Wala lirik, apalagi sadar kalau semalam tidurnya ada yang menemani. Ponsel pun segera Wala nyalakan sambil jalan.
Yeah ... intinya, dia pulang detik itu. Niat mau lanjutkan tidur yang tadi. Ah, apa tidur ronde duanya di studio saja, ya? Sekalian sore nanti dia laksanakan tugasnya di sana, yakni take video. Toh, ini sudah biasa. Tidur di rumahnya kalau kondisi sedang memungkinkan saja, di saat papi dan mami mau berdamai sama kehidupan lajang Wala di 37 tahun ini, misalnya?
Sementara itu, Flora ....
Dia mendapati pintu kamar hotelnya terkunci.
Lho?
"Om?"
Flora ketuk-ketuk. Dia bawa bungkusan makanan di tangan. Itu tadi habis sarapan lebih awal, Flora lapar maksimal gara-gara semalam beres resepsi langsung tidur tanpa makan saking capeknya. Dan Flora bawakan buat Om Wala. Cuma ... kok, dikunci, sih?
Untung saja pas keluar tadi Flora bawa ponsel, bawa tas malah, dengan kebaya pink yang mestinya jadi kostum pagar ayu, eh, malah cosplay jadi pengantin.
Gegas Flora telepon cowok yang mempersuntingnya kemarin.
"Om di mana?"
Alhamdulillah, langsung diangkat.
"Di jalan. Kenapa?"
Flora mengernyit. "Jalan mana? Mau ke mana?"
"Jalan pulanglah. Kenapa?"
What?!
"Om pulang duluan?" Agak memekik.
Di seberang telepon sana sejenak terjadi keheningan.
"Om, ih!" Flora mengentak kaki. Serius dia ditinggal?! "Kok, ninggalin, sih?!"
Sampai suatu waktu, Flora mendengar suara mobil ngerem dadakan diiringi suara, "Astagfirullah!"
"Om?"
Yang seketika itu, ganti jadi panik dia mendengar decit remnya.
"Om Wala?"
Satu detik ....
Dua ....
"Flora ...." Om Wala bersuara. "Om lupa." Juga ringisan pelannya dan berkata, "Kita udah nikah, ya?"