“Dia datang,” Gerald menunjuk pada gadis berkacamata yang baru saja tiba di pelataran parkir gedung kampus mereka yang megah.
“Mana?” Alex ikut-ikutan mengintip gadis itu dari balik jendela dan mengernyitkan dahi.
Jika dilihat sekilas dari penampilannya, gadis itu jauh di bawah standar kecantikan para gadis yang biasa dikencaninya. Tipe wanita ideal Alex adalah tinggi, putih, cantik, dan tentu saja siap ‘ngamar’ kapanpun Alex mengajaknya. Dianugerahi wajah rupawan, otak yang cemerlang, dan kekayaan ayahnya yang tidak terhingga membuat Alex menjadi incaran para gadis di kampus mereka. Tak jarang pula, dosen wanita, kalangan artis, para ibu yang blak-blakan memintanya menjadi menantu mereka. Terkadang Alex kesulitan menghindari kejaran para kaum hawa, walau tak jarang ia memanfaatkan ketampanannya untuk memudahkan urusannya.
Awalnya Alex membenci wajahnya yang rupawan, tapi sekarang ia menikmatinya. Ia berubah menjadi cowok Playboy yang setiap hari selalu bergonta-ganti pacar sebagaimana ia berganti pakaian.
Alex tidak pernah kekurangan wanita cantik. Dimana pun ia berada pasti ada wanita yang terpikat padanya. Terkadang para wanita itu yang mengejarnya terlebih dahulu. Tentu saja, Alex tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mereka berikan. Sekali, dua kali pertemuan Alex bisa dengan mudah membawa mereka ke hotel dan bercinta sampai ia puas menikmati kecantikan mereka.
Satu hal yang pasti, Alex tidak pernah meniduri seorang perawan. Ia memiliki trauma sendiri dengan keperawanan seorang wanita, dan itu menghantuinya selama ini.
“Apa kau yakin cewek itu yang bakal jadi calon istrimu nantinya?” pertanyaan Gerald membuyarkan lamunannya.
“Siapa?”
“Cewek itu.” Gerald mengulangi ucapannya, “benaran kau bakal menikahinya?”
“Entahlah, aku sendiri tak yakin.” sahut Alex tak mau ambil pusing. Ia kembali duduk di kursi sambil melanjutkan permainan game online di gadget-nya.
“Aku heran kenapa orang tuamu memaksamu menikah dengan cewek jelek itu?” Gerald tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia memperhatikan setiap inci penampilan gadis itu yang menurutnya sangat tidak menarik, kacamata super besar yang modelnya nyaris seperti kacamata era tahun 70-an. Pakaiannya pun terlihat seperti pakaian perawan tua berwarna gelap, yang tentu saja tidak menarik minat kaum adam manapun. Rambutnya pun digulung asal, terlihat seperti tidak terawat. Lalu yang paling penting adalah wajahnya yang kusam, bahkan dari jarak ratusan meter, Gerald bisa melihat aura hitam yang menyelimuti gadis yang akan dinikahi sahabatnya tersebut. “Sumpah, kalau dilihat dari sudut pandang manapun, dia jelek!” ucap Gerald jujur.
”Terus?” tanya Alex tak mau ambil pusing dengan komentar sahabatnya.
“Apa kau tidak melakukan sesuatu untuk membatalkan pernikahanmu. Misalnya ancam Mamamu kek, atau apa kek, yang penting kau tidak jadi menikah. Kasihan banget hidupmu jika kau benar-benar menikahinya.”
Alex menanggapi komentar sahabatnya dengan tawa keras, “kau pikir aku tidak berusaha mencegah pernikahan itu terjadi, hah? Aku bahkan pernah mengancam akan bunuh diri kalau mereka tetap menikahkan aku.”
”Benarkah?” tanya Gerald tak percaya, sahabatnya akan seputus-asa itu menghindari pernikahan. Alex menganggukkan kepala berusaha untuk meyakinkan Gerald bahwa ia benar-benar mengancam orang tuanya. “Terus apa kata mereka?”
“Kau pikir, Mama akan rugi kalau kau bunuh diri. Menikah itu ibadah Alex. Mama yakin kau pasti bersyukur karena menikahinya. Dia wanita yang sempurna untukmu. Lagipula emangnya kamu tidak takut hidup di neraka selamanya karena dosa bunuh diri itu besar.” Alex mengulangi ucapan Mamanya, sehingga Gerald tak mampu menahan tawanya.
“Terus kau batal bunuh diri?”
“Iya.”
Tawa Gerald terdengar makin nyaring. “Terus kau akhirnya menerima keputusan mereka menikahi wanita itu?”
“Aku tidak punya pilihan, Ger. Menikah dengannya atau namaku dicoret dari daftar kartu keluarga.”
“Cuma itu ancaman Mamamu dan kau sudah takut, hah?” Gerald nyaris tak percaya, Alex akan menyerah begitu saja cuma karena dicoret dari daftar keluarga.
“Aku bisa apa tanpa uang Papaku? Sedangkan kau tahu kalau papaku pasti akan menuruti semua permintaan Mamaku, meski harus membelah bulan sekali pun. Lagipula selain bunuh diri aku tidak punya ancaman lain untuk menggertak kedua orang tuaku.”
Gerald tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan sahabatnya. “Nggak lucu, tahu!”
“Sejak kapan aku bisa melucu, hah? Memang kenyataannya kedua orang tuaku BuCin satu sama lain. Terkadang aku suka muak dengan kemesraan yang mereka tunjukkan di harapanku.”
Tawa Gerald terdengar semakin nyaring, “hari gini masih ada pasangan suami istri yang bermesraan? Kayaknya udah jarang banget deh aku lihat para orang tua bermesraan di depan anak-anak mereka.” Gerald terdengar tidak mempercayainya.
“Terserah kau mau percaya atau tidak, yang jelas orang tuaku seperti itu.” Sahut Alex, enggan menceritakan kisah orang tuanya lebih lanjut pada sahabatnya.
***
Di area parkir, seorang perempuan yang baru saja tiba di area kampus terlihat kebingungan mencari arah. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kampus barunya.
Sekarang ia tersesat, ia bingung menanyakan arah ruang administrasi kepada para mahasiswa yang lalu lalang di sekitarnya. Ia belum terlalu lancar berbicara Bahasa Indonesia.
“Sepertinya kau tersesat, ada yang bisa aku bantu?” untungnya seorang mahasiswi baik hati datang menghampirinya.
Ia tersenyum kaku, “excuse me, would you tell me where is the Administration room, please?” Lima tahun tinggal di London, membuatnya sedikit kesulitan berbicara Bahasa Indonesia dengan lancar.
“Oh, mahasiswa baru ya?” tebak mahasiswi tersebut sambil tersenyum ramah.
“Yes,” ia menjawab sambil menganggukkan kepala.
Kemudian gadis itu memberikan petunjuk arah menuju ruang administrasi. Untungnya ia masih memahami arahan mahasiswi tersebut. Ia pun mengikuti petunjuk yang diberikan dan tiba di depan ruangan bertuliskan Ruang Administrasi di depan pintu. Tak berselang lama pintu coklat yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka, seorang wanita cantik muncul dari baliknya. Matanya membulat ke arahnya. Wanita itu adalah ibunya yang memasang wajah masam.
“Kenapa baru sampai?” ibunya tampak memarahinya karena dirinya datang telat lebih dari dua jam.
“The plane was delay, Mom. So, I was late.” Ujarnya dengan bahasa Inggris bercampur dengan Bahasa Indonesia.
“Seharusnya kau bilang ke Mommy, biar Mommy yang jemput kamu di bandara.”
“It’s okay, Mom. I was fine.”
“Oh My God,” wanita cantik berpenampilan menarik itu memekik ketika menyadari pakaian yang dikenakan putrinya. “What the hell is this!” Ia memandangi pakaian model kuno, kacamata super jelek, tatanan rambut yang hanya dikuncir asal, dan wajahnya. Apa yang dikenakan putrinya itu? Ia terperanjat tak percaya, putrinya sengaja berdandan ala gadis buruk rupa, padahal ia sangat tahu putrinya mewarisi kecantikan dirinya. Tapi, apa-apaan ini? Ia memukul bahu Olivia dengan kencang hingga gadis itu meringis kesakitan.
“Mom, stop it!” seru Olivia, nama gadis buruk rupa itu. Ia berusaha melindungi dirinya dari pukulan Mommy-nya yang sedikit menyakitkan.
“Cepat hapus riasan jelek itu sekarang!” Mamanya terus memarahi dan memukulinya di depan petugas administrasi yang menemaninya hingga ke luar ruangan.
“Apa dia putri Anda yang akan menjadi mahasiswi di kampus ini?” tanya petugas tersebut sambil meneliti tiap senti penampilan gadis yang baru datang tersebut.
“Iya, Pak.” Ucap wanita itu sambil memaksakan senyum kaku di wajahnya yang cantik memesona.
Gadis ini sama sekali tidak terlihat secantik ibunya, Olivia justru malah terlihat seperti nenek-nenek daripada gadis berusia awal dua puluh tahunan.
“Hello, Sir. Nama saya Olivia Laura Adrienna.” Petugas itu terlihat terkejut ketika Olivia memperkenalkan dirinya dengan cara bicaranya yang sedikit kaku. Sudah sangat lama ia tidak berbicara bahasa Indonesia, sehingga ia sedikit kesulitan berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Kau tampak sedikit berbeda dari yang Ibumu ceritakan.” Ungkap pria itu sedikit kaget melihat penampilan Olivia jauh dari ekspektasinya.
Olivia tersenyum puas, itu artinya penyamarannya berhasil.
“Kau ini!” Mamanya memukulnya lagi dan lagi.
“Aw, it hurts Mom!” Ia meringis kesakitan menahan pukul Mamanya yang semakin keras.
“Mama ‘kan sudah bilang, jangan pakai pakaian jelek itu lagi. Juga kacamatanya. Pokoknya Mama akan buang semua pakaian jelekmu itu.” Ujar Catherine sambil mendengus kesal.
“Silakan saja, Mama buang semua pakaianku. Nanti aku akan datang ke kampus pakai kain sarung.”
“OLIVIA…..!” jerit Catherine frustrasi menghadapi ke lakukan putrinya yang semakin ‘nyeleneh’.
Sudah lima tahun berlalu semenjak hari itu. Siang harinya sepulang sekolah Oliv mengatakan kalau ia akan mengerjakan pekerjaan kelompok bersama teman-temannya. Tapi ternyata, Oliv pulang di sore hari dengan penampilan yang lusuh, rambutnya basah bekas hujan yang membasahi kota mereka di sepanjang hari itu.
“Oliv, kau kenapa? kenapa basah kuyup?” Catherine terkejut melihat putrinya pulang dengan kondisi yang berantakan. “Katanya naik taksi, tapi kok kamu kehujanan?”
Olivia hanya berdiri terpaku di depan rumah ketika melihat wajah cemas Mamanya. Ia tak bergeming tatkala Catherine menyuruhnya masuk.
“Ayo cepat masuk, Sayang. Nanti kau masuk angin.”
Olivia pun segera masuk dan berlari ke kamarnya. Malamnya tubuh gadis itu demam hingga keesokan harinya ia terpaksa absen dari sekolahnya. Entah apa yang terjadi pada Olivia hari itu. Catherine beberapa kali menanyakan kondisinya tapi Olivia cenderung menutupi sesuatu.
Semenjak itu, Olivia mengubah seluruh tampilan dirinya. Wajahnya yang cantik sengaja tertutupi make tebal yang membuat kulit wajahnya terlihat kusam. Gaya busananya pun yang semula selalu modis, kini berubah menjadi gaya monoton yang penuh dengan warna-warna gelap seperti hitam, abu-abu, biru dongker, dan warna lainnya yang tidak menarik perhatian tentu saja. Putrinya yang dulu cantik, kini berubah menjadi seperti itik buruk rupa. Seolah-olah ada kutukan tengah menimpanya.
Olivia melarikan diri dari kejaran Mamanya. Ia berlari kencang melintasi koridor gedung kampus dan tak sengaja ia menabrak seseorang.
“Uups, sorry!” katanya sambil membantu pria itu memungut ponselnya yang terjatuh ke atas lantai.
“OLIVIA….!” terdengar suara jeritan Mamanya menggema memanggilnya. “Alexander?” kali ini Catherine terkejut melihat sosok pria yang bertabrakan dengan putrinya.
Olivia menatap Mamanya bergantian dengan pria berwajah rupawan yang memiliki aroma lemon yang khas. Aroma yang terekam jelas dalam ingatannya. “Alex?” matanya memicing memandangi pria yang menjulang tinggi di atasnya. Apakah dia Alex yang dikenalnya?.
“Tante, apa yang Tante Kate lakukan di kampusku?” suara pria itu terdengar dalam. Persis seperti suara yang dulu pernah diingatnya. Mungkinkah dia pria dari masa lalunya yang ia hindari selama ini.
“Jadi, kau kuliah di kampus ini?” Catherine tampak terkejut. Sedangkan pria yang bernama Alex hanya mengangguk.
“Bagus. Apa kau sudah kenalan dengan Oliv?”
Tatapan Alex tertuju padanya. Olivia hanya terdiam menahan napas. Ya Tuhan… ternyata benar, pria ini adalah Alexander. Pria yang dulu pernah menjalin hubungan panas dengannya malam itu. Pria yang telah menghancurkan hatinya. Pria yang mengubahnya menjadi seperti itik buruk rupa. Sekarang ia bertemu dengannya lagi.
“Belum, tante.” Alex menjawab dengan nada datar, seolah pria itu sama sekali tidak tertarik berkenalan dengannya.
Olive memasang wajah dingin, pria yang harus ia hindari sejauh mungkin. Sebelum ia menyadari siapa dirinya atau mungkin memang Alex tidak pernah menyadari dirinya. Lagipula siapa sih Olive yang cuma gadis biasa yang kebetulan menghabiskan malam panas b*******h yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Alex, ini Olive, anak tante yang sebentar lagi akan jadi calon istri kamu.”
“What?!?” tampaknya hanya Olive yang terkejut mendengar berita tersebut. “Mom, are you kidding me?”
Catherine tersenyum lebar sambil menghampiri Alex yang bersikap tenang, seolah berita tersebut tidak mengejutkannya. “Olive, ‘kan Mommy pernah bilang kalau kau akan menikah. Nah dia ini calon suamimu. Ganteng ‘kan?” tanpa rasa malu Catherine memuja wajah Alex yang luar biasa tampan, tubuh atletis yang sempurna, dan otak yang super jenius. Alex adalah jelmaan manusia sempurna yang pernah diciptakan Tuhan.
Olive tercengang mendengar manusia yang paling ia hindari seumur hidupnya akan menjadi suaminya? apa ini hanya mimpi?, Olive mencubit pipinya nyaris tak mempercayainya, tapi rasa kebas bekas cubitannya terasa sungguh sangat nyata. Artinya, ini bukanlah mimpi.
***