"Kau adalah jawaban dari semua pertanyaan di otakku."
***
"Apa di sini ada jus?" tanya Jessy pada bartender berwajah tampan, yang dijawab dengan anggukan serta senyum manis pria itu.
"Berikan satu padaku jus lemon," pintanya.
"Baiklah, tunggu sebentar cantik," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata menggoda.
"Kau sendirian?" Tiba-tiba saja ada seorang pria yang duduk di sebelahnya.
Jessy hanya melirik sebentar, lalu kembali memfokuskan dirinya ke lantai dansa.
"Hey, aku bertanya padamu, Sweety," tegur pria itu gemas.
"Oh, memangnya kau lihat aku bersama siapa?" tanya gadis itu tak acuh.
"Wow ... kau ternyata galak sekali," komentarnya seraya tertawa lucu.
Belum sempat wanita itu menjawab, Jus lemon pesananannya datang.
"Jadi kau datang sendirian?" tanya pria itu lagi. Ternyata dia belum menyerah juga.
"Tidak."
"Lalu, kau bersama siapa?" "Teman."
"Di mana temanmu? Aku tidak melihatnya," ucapnya sambil menoleh ke sana ke mari seolah mencari seseorang.
Jasmine memutar bola mata malas. Apasih mau orang di hadapannya ini? Fikirnya.
"Di lantai dansa," jawabnya malas.
"Boleh aku menemanimu?" tawar pria itu penuh senyuman.
OMG! Pria menyebalkan.
"Tidak!"
Bukan, itu bukan suara Jessy yang menjawab. Suara milik gadis itu tidak semenyeramkan yang baru saja terdengar.
Seketika itu juga keduanya memutar tubuh, menoleh ke belakang, dan di situlah dia berdiri, pria dingin yang sialnya berwajah tampan itu sedang menatap tajam ke arah mangsa di depannya. Jasmine mendengus pelan. Dia lagi!
"Mr. Peterson!" Sapa pria di sebelah Jessy dengan kaku.
"Menjauh dari wanitaku!" ucap pria itu dingin.
Pria di sebelah Jessy segera menyingkir, enggan mencari masalah dengan malaikat setengah iblis itu.
"Kenapa kau belum pulang?" pria itu menatap ke arah Jessy.
"Aku belum puas di sini," jawabnya santai.
"Kau bisa kupuaskan di ranjang milikku." Pria itu tersenyum miring sambil mendekat.
Sementara Jessy hanya memutar bola mata jengkel.
"Ikut aku!" Tiba-tiba saja pria itu menarik pergelangan tangan Jessy.
"Hey, kau mau apa?" Wanita itu mencoba melepaskan tangannya, tapi hasilnya nihil. Pria itu terlalu kuat memegang pergelangan tangannya.
" ... " Tak ada jawaban.
"Tunggu sebentar, aku belum membayar jusku!" serunya lagi mencoba bernegosiasi.
" ... "
"Liaaam!" Jeritnya kesal.
Langkah pria itu berhenti, dan Jessy menarik napas lega, ia mengedarkan pandangan, lalu tersadar bahwa mereka sudah keluar dari club tersebut dan sedang berada di areal parkir.
"Jangan datang ke tempat ini lagi!" ucap pria itu tegas.
"Memangnya kenapa?" tantang gadis itu.
"Turuti saja kata-kataku, Angel!" Kilat marah terpancar jelas di mata Liam.
"Menuruti kata-katamu?" tanya jasmine santai, "Jangan bercanda! Kau bukan siapa-siapa bagiku" lanjutnya sarkastik.
Liam menggeram marah. "Aku masih tunanganmu!" geramnya berapi-api, setelah itu ia kembali menarik Jessy ke arah di mana mobilnya berada.
Liam membuka pintu dengan kasar dan mendorong Jessy untuk masuk. Gasis itu ngin melawan, tapi melihat kemarahan di mata Liam membuat nyalinya menciut.
Setelah menutup pintu kembali, pria itu berjalan mengitari mobil lalu masuk dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jessy nyaris mati ketakutan melihat Liam menyalip mobil yang berada di depan mereka. Sedari tadi dia ingin menghentikan pria itu, tapi terlalu takut melihat kemarahan di mata iblis itu.
Liam semakin memacu kemudinya, hendak kembali menyalip mobil di depannya. Melihat itu, Jessy sudah tidak tahan lagi, ini benar-benar menakutkan.
"Liam stooop!" jeritnya hampir menangis, tapi tak ada jawaban dari bibir pria itu.
"Astaga! Liam berhenti! Kumohon!"
" ... " Masih tidak ada respon dari Liam.
Jessy menyerah, ia benar-benar sudah tidak tahan lagi, mobil di depan mereka semakin mendekat, refleks gadis itu memeluk erat tubuh Liam dari samping. "Kumohon berhenti!" Setetes air matanya mengalir tanpa permisi.
Ciiiiiiiiiit!
Hening!
"Sudah kukatakan jangan ke tempat itu lagi! Kenapa tak mendengarkanku?" Suara itu memecah keheningan.
"I ... iya," ucap Jessy sambil masih memeluk Liam erat. Dia ketakutan! "Aku tidak akan ke sana lagi," lanjutnya.
Liam menundukkan wajah, kedua tangan miliknya menangkup pipi gadis yang sedang memeluknya ketakutan. Bibir itu turun mengecup lembut kedua mata yang basah karena air mata secara bergantian.
"Maaf membuatmu takut," bisiknya parau.
Jessy hanya diam menikmati kecupan lembut dari pria itu.
"Aku hanya tidak ingin pria-pria tak tahu diri itu mendekatimu," sambung pria itu lagi.
Jessy mengerutkan dahi bingung. "Maksudmu?” tanyanya pelan.
Liam mendengus jengkel. "Kau tidak sadar? semua pria sialan di dalam club itu menatap lapar ke arahmu!"
Jasmine semakin bingung, memangnya apa yang dia lakukan?
Melihat wajah tak mengerti Jessy, Liam menarik napas dalam, semaki jengkel dengan kepolosan wanita itu.
"Lupakan!" lanjutnya dongkol.
Jessy duduk tegak melepaskan pelukannya dengan kikuk. Melihat gelagat itu muncul seringaian di wajah Liam."Sudah puas memelukku, eh?" tanyanya menggoda.
Gadis itu memalingkan wajah ke kaca jendela mobil, berpura-pura memandangi jalanan malam kota New York, berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah.
Liam tetawa melihat tingkah manis gadis itu. Menggemaskan! Pikirnya.
***
Malam ini Jessy tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukan pukul dua dini hari, pikirannya terus melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu, di mana ia dengan tanpa malu mememeluk tubuh Liam erat. Benar-benar memalukan! Pikirnya.
Apa yang akan Liam Pikirkan tentangnya? Pasti sekarang pria itu sedang menertawakan tingkah konyol yang dilakukannya beberapa saat lalu. Ahhh menyebalkan.
Di sisi lain, seorang pria tengah duduk di kegelapan ruang kerjanya, mata abu-abunya menatap sendu bingkai poto yang dielus perlahan oleh jemarinya.
"Kapan kau kembali?" bisiknya, "Aku merindukanmu. Sangat!"
Tok ... Tok ... Tok ….
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Masuk," ucanya datar.
"Permisi, Mr. Peterson! Ini data yang anda minta!" ujar pria kepercayaan Liam sambil meletakan sebuah amplop cokelat di atas meja kerja tuannya.
"Kau sudah mendapatkan bukti-buktinya?" Liam membaca sekilas isi dari lembaran kertas itu.
"Sudah, Tuan, tinggal mengirimkan ke pihak hukum sesuai perintah anda."
"Bagus! Pastikan w***********g itu membusuk di penjara!" Liam menatap lurus penuh kebencian ke arah amplop cokelat tersebut.
"Baik tuan! Saya permisi" pria itu mumbungkuk hormat lalu pergi keluar ruangan berkabut hitam itu.
"Tunggu, Angel ... tunggulah sebentar lagi!"