Guncangan ringan di bahu membuatku perlahan membuka mata. Kepalaku berdenyut sakit. Tubuh lemas bagai tak bertulang. Aku menggerakkan tubuh yang terasa panas dingin lalu beranjak duduk, menatap Mamak dengan pandangan berputar.
Mamak menempelkan tangan ke keningku. “Wajahmu pucat. Kamu sakit, Nduk?” tanyanya dengan wajah khawatir.
“Semalam gak bisa tidur, Mak," sahutku sambil mengusap mata yang terasa lengket, masih begitu mengantuk.
“Bagaimana keadaan Mamak?” tanyaku, memperhatikan wajahnya lekat. Masih tak menyangka Mamak terkena penyakit mematikan.
"Mamak sudah sehat, Nduk. Badan Mamak sudah enakan."
Kuperhatikan wajah pucat Mamak yang dipenuhi kerut halus. Kasihan Mamak, diusia senja harus menanggung rasa sakit. Apa aku akan kehilangan Mamak? Juga Mas Yus? Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan.
Mamak menyentuh tanganku. “Kamu sembahyang dulu, Nduk. Nanti Mamak buatkan wedang jahe. Sudah jam setengah 6." Lagi-lagi, Mamak memandangku khawatir.
Sambil memijit pelan bagian belakang kepala yang berdenyut pusing, kuanggukkan kepala. Apa aku sudah sebegitu kacaunya sampai tak mendengar alarm dan gema subuh?
Biasanya, selelah dan tidur selarut apa pun, pasti aku selalu terjaga sebelum jam 5 pagi. Apa karena semalam otakku terlalu lelah berpikir? Apa karena kelelahan menangis? Kepalaku semakin berdenyut pusing.
“Mamak akan buatkan kamu wedang jahe.” Mamak berdiri.
Aku mengangguk, nyaris terhuyung ke samping saat berdiri.
“Makanya, Nduk, kalau tidur jangan malam-malam. Tugas sekolah kan bisa diselesaikan besok lagi,” nasihat Mamak, menggelengkan kepala kemudian berjalan ke luar kamar. Kudengar gemeresak kertas-kertas yang ditata dengan tak sabaran.
“Ada banyak panggilan.”
Panggilan?
Aku segera menghampiri Mamak. Ia tak boleh tahu Mas Yus-lah yang semalam terus menghubungi anaknya ini. Mamak tak boleh banyak pikiran. Bisa-bisa, penyakitnya bertambah parah. Melihat Mamak tersiksa karena batuk saja aku tak sanggup, apalagi melihatnya kesakitan karena penyakit ganas. Sungguh tak sanggup menyaksikannya.
“Itu dari temanku, Mak. Berikan padaku.”
Mamak meletakkan HP ke atas tumpukan kertas. Lalu berkata, “Kamu sembahyang subuh dulu, Nduk, mamak akan buatkan kamu wedang jahe. Kamu ijin saja hari ini. Selain sepertinya akan turun hujan, ada yang ingin Mamak bicarakan." Lirihnya. Pupil matanya menatapku khawatir.
“Hari ini tanggal merah, Mak.”
Mamak terlihat lega. Ia pasti tak tega membiarkan anak gadisnya mengajar dengan kondisi seperti ini.
“Kamu cepat sembahyang, Nduk. Nanti, ada yang ingin Mamak bicarakan.”
Aku segera menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian, aku sudah duduk tak nyaman di ruang tamu berhadapan dengan Aldri dan orangtuanya. Bapak dan Mamak duduk di sampingku.
Kupikir, Mamak hendak membicarakan perihal penyakitnya. Ternyata dugaanku salah besar. Pembicaraan ini mengenai rencana pernikahanku dan Aldri.
“Kamu pucat sekali,” ucap Aldri sepeninggal orangtua kami. Pernikahan akan dilangsungkan sepuluh hari lagi. Aku memilih tak mengatakan apa pun saat rembukan tadi karena khawatir penolakanku akan berdampak pada kesehatan Mamak.
“Aku gak papa.”
“Aku akan memeriksamu.” Aldri memandangku. Wajahnya tampak cemas.
Kutarik napas panjang. “Aku gak papa. Aku hanya ngantuk karena semalam gak bisa tidur. Aku sudah minum wedang jahe.”
Aldri mencondongkan tubuh mendekat lalu menempelkan telapak tangannya ke keningku. “Panas, kamu harus minum obat. Aku akan pulang sebentar untuk mengambil o—“
“Gak usah,” potongku cepat.
Aldri menatap tepat ke manik mataku. “Katakan terus terang, apa kamu gak suka dengan rencana pernikahan kita?”
Aku yakin sekali ia sudah tahu jawabannya. Kalau saja Mamak tak sakit parah, pasti sudah kujawab pertanyaannya tanpa ragu. Tapi kini ... aku menarik napas dan balas memandang Aldri.
“Apa aku gak menarik? Apa aku gak tampan?”
Aku membisu.
“Apa kamu gak ingin memberiku kesempatan? Aku akan buktikan, kamu akan balas mencintaiku.”
Aku mengembuskan napas. “Diam.”
“Aku ingin memastikannya, Nona. Apa kamu mau nikah denganku?”
Kubawa pandangan keluar. Dua burung merpati tengah mondar-mandir di dalam sangkarnya. Nun jauh di sana, langit kelabu pucat. Rintik-rintik hujan mulai turun perlahan. Lalu menyerentak dengan jeda lebih cepat. Angin mendesis. Dedaunan warna oranye melayang turun. Angin dingin berembus masuk. Aku bersedekap.
“Nona.”
Sengaja kuhindari tatapan Aldri. Aku memilih memperhatikan gelas-gelas kopi yang tinggal sedikit di atas meja.
Tangan Aldri terulur. Tatapannya penuh harap. Di belakangnya duduk, Bapak berdiri mematung. Bapak pasti tengah memikirkan Mamak. Mamak yang mungkin sebentar lagi ....
Kugigit bibir kuat. Lalu menggerakkan tangan yang sedikit gemetar ini ke arah tangan Aldri, menyentuhnya. Jemari Aldri langsung membungkus tanganku. Menggenggamnya erat.
Aku menarik napas. “Aku gak enak badan. Aku ingin tidur.”
Aldri membebaskan tanganku. Dengan senyum terkembang di bibir, ia mengangguk. Aku lekas berdiri, lalu membanting tubuh ke kasur sambil menangis.
Di luar, hujan turun deras. Petir dan guntur bersahutan. Aku meletakkan kedua tangan di d**a lalu bergumam sekadar untuk menenangkan perasaan. “Hujan, hujanlah yang deras. Guntur, menggelegarlah yang keras”
Kalau perlu dengan sangat keras, agar aku bisa menangis sepuasnya tanpa ada yang mendengar.
*Komentari dulu baru lanjut yaaaa Teman