10

1501 Kata
Setelah menandaskan sarapan, aku dan Tari melangkah santai menelusuri jalanan yang sunyi, hanya sesekali terdengar kicau burung. Di kiri kanan setapak jalan yang kami lalui, tumbuh pepohonan karet nyaris gundul. Hamparan daun oranye terang dan kecokelatan pertanda daun telah mengering terhampar menutupi tanah, sesekali bergemerisik terinjak kaki kami. Mulanya, hendak kukendarai motor. Tapi, Tari memaksa berjalan kaki lewat jalan terobosan. “Maaf, ya? Aku sudah merepotkanmu. Maafkan aku, ya?" Tari menoleh, menatapku dengan wajah bersalah. “Gak papa. Kita kan teman. Aku juga sering merepotkanmu, kan?” Tari mengangguk cepat. “Eeeeeem, itu sangat banyak. Kamu banyak merepotkanku, Na, sungguh. Tapi, aku senang-senang saja, kok,” sahutnya dengan wajah riang. Aku salut dengan suasana hatinya yang cepat sekali berubah. Ah, andai aku bisa sepertinya, yang selalu bisa melupakan sesuatu dengan cepat. Atau ... Tari hanya sengaja menyembunyikan kesedihannya dariku? Baru saja aku hendak bertanya apa ia baik-baik saja, terdengar bunyi rating patah. Aku dan Tari refleks menatap sekeliling. Sepi. Tak seorang pun tampak. Aku dan Tari kembali melanjutkan langkah. Tiba-tiba, seorang cowok berpostur tinggi mengenakan kaus kuning mencolok keluar dari balik pohon karet lumayan besar. Lelaki berkulit putih bersih itu terus mengikis jarak sambil tersenyum lebar. Diulurkannya seikat bunga mawar yang tadi disembunyikan di belakang tubuhnya pada Tari. Aku mengernyit, lalu memandangnya lekat karena merasa tak asing. Iya, benar. Lelaki di hadapan kami ini memang teman Aldri. Iswanto. Kucondongkan tubuh mendekat lalu berbisik ke telinga Tari. "Dia?" tanyaku. Tari menyenggol bahuku. Sahutnya, “Bukan dia.” Lalu, ia tersenyum kecil pada Iswanto. Wajah putih sahabatku ini merona malu. Jelas saja itu membuatku sangsi pada ucapannya barusan. Apalagi, saat melihat Tari begitu salah tingkah karena tatapan Iswanto terus berpijak ke wajah ayunya yang bersemu merah. “Bohong,” ujarku. Tari tak membalas. Ia melangkah maju kemudian meraih bunga dari tangan Iswanto. “Terima kasih,” ucapnya. Iswanto mengangguk kecil, lalu menatapku. “Bagaimana kabar tunanganmu?” “Kalian sudah saling kenal?” Tari menatapku dan Iswanto bergantian. “Kekasihnya yang memperkenalkan kami. Nona, boleh aku antar Tari ke sekolah? Sebenarnya, aku sudah buntuti Tari sejak dia keluar dari rumahnya." Tari menatap Iswanto dengan kening berkerut. Tanpa menungguku menyahut, Iswanto segera menarik tangan Tari. Sahabatku itu berjalan sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Kusungging senyum kecil pada Tari sambil melambaikan tangan. “Gak apa-apa, nikmati sa-jaaa!” teriakku. Iswanto menoleh, lalu mengacungkan ibu jarinya ke udara dan tersenyum kecil. *** Jantungku berdetak sangat kencang, keringat dingin membasahi wajah juga telapak tanganku saat beradu tatap dengan kepala sekolah. Tak jauh dariku berdiri, guru-guru terlihat iba. Sementara Nina, tak henti tersenyum mengejek. Kutarik napas panjang. Jangan risau, Nona. Jangan grogi. Juga tak boleh tegang. Kataku dalam hati terus menyemangati diri sendiri. “Maafkan saya, Pak." Lalu, kuberi Nina tatapan sebal. “Apa ucapan saya waktu itu belum jelas?” Pak Herman menatapku dengan wajah dingin. “Bagaimana mungkin seorang pendidik begitu kasar, ya?” Suara Nina. Ia tersenyum penuh ejekan. Aku melengos, mengalihkan pandang dari senyum juga tatapannya yang begitu mencemooh. Aku ingin sekali menimpali ucapan Nina dengan perkataan tak kalah ketus, karena murid itu begitu kurangajar. Mengataiku tidak laku-laku karena galak! Namun, aku memilih mengurungkan niat. Tak penting Nina mau berprasangka baik maupun jelek padaku. “Nona gak sepenuhnya salah, Pak. Murid itulah yang salah." Kuembuskan napas lega saat melihat Tari melangkah masuk dengan wajah riang gembira. Mungkin, telah terjadi sesuatu yang baik antara ia dan Iswanto. Tari mendekat, digenggamnya tanganku erat. “Namanya juga anak kecil!” Tegas sang kepala sekolah. Sepasang mata tajamnya mengintaiku dari balik kaca mata tebalnya. Beliau selalu saja kaku dan tampak mengerikan. “Saya minta maaf," ucapku lirih, menggerakkan tangan untuk menyeka peluh di wajah. “Saya minta maaf, saya janji mengulanginya lagi. Maafkan saya.” Terdengar kekehan kecil. Aku langsung menatap Nina. Ia melengos, tatapannya berlama-lama pada sang kepala sekolah seolah bilang, cepat suruh dia pulang saja, Pak! Beralih dari Nina, kutatap guru-guru yang duduk diam di kursinya sambil membuka-buka buku cetak tebal seolah tak mendengar apa pun. Aku berharap, bel masuk segera berdentang agar semua guru langsung hengkang dari ruangan ini. Tatapanku terpacak ke jam besar di dinding di dekat pintu, aku mendesah kecewa. Masih lama. “Silakan keluar." Tubuhku lunglai seketika. Tiba-tiba menjadi panas dingin dan lemas bagai tak bertulang. Apa yang harus kukatakan pada Bapak dan Mamak jika tiap hari anaknya ini mendekam di rumah karena belum mendapat pekerjaan? Hening. Kutatap Tari yang kini menunduk. Ia tampak amat sedih. Telapak tangannya yang menggenggam tanganku berkeringat. Aku mengembuskan napas, mencoba menguatkan hati. “Baiklah,” kataku menyerah dengan suara tercekik. Sungguh, aku ingin menangis rasanya. Apalagi, saat mendapati bibir Pak Herman melekuk senyum sinis. Apa mungkin ia sedang mengejekku? Kutatap Nina. Kali ini, ia tak bereaksi. Dan itu, jadi membuatku seperti kucing kecil kelaparan di tengah hujan yang mengguyur deras. Apa jangan-jangan ... semua guru tengah mengasihaniku? Teng! Teng! Teng! Bel akhirnya berdentang. Rekan-rekan seprofesi serentak berdiri. Termasuk Pak Herman dan Nina. Ini tak seperti biasanya. Biasanya, saat bel berdentang, pasti mereka akan berlama-lama menyiapkan bahan pengajaran. Sekarang? Apa mereka benar-benar begitu mengasihaniku? Termasuk ... Nina? “Silakan keluar. Bawa buku-buku Anda.” Kusentak napas, lalu menggigit bibir kuat mencoba menahan kesal yang menggigit d**a. Aku sungguh kecewa, juga merasa marah mengingat kesalahanku yang sebenarnya cukup beralasan. Kuangkat wajah, memberanikan diri menantang tatapan si kepala sekolah. Lama-lama, aku tak tahan juga. Kuhentakkan kaki ke lantai lalu berteriak lantang. “Iya! AKU AKAN PERGI! Ingat baik-baik, ya, aku tak sudi ngajar di sini lagi walaupun kamu memintanya puluhan kali!” Tudingku ke arah wajahnya. Sekelebat keterkejutan tampak di mata si Bengis—aku memanggilnya Bengis saja mulai sekarang—tapi tidak lama. Ia menyungging senyum geli kemudian menggelengkan kepala. Mungkin pikirnya, buat apa meladeniku? Terserahlah, aku pun tak sudi berlama-lama menjadi orang yang mendadak asing di sini. Kulepas genggaman Tari lalu membalikkan badan, melangkah cepat menuju pintu. Saat tiba di ambang pintu, si Bengis berkata, “Tapi maksud saya bukan begitu. Saya menyuruh Anda keluar untuk mengajar. Bukankah saya mengatakan agar Anda keluar membawa buku?” A-pa? Spontan kubalikkan tubuh, menatap Pak Herman sekian detik. Tak jauh darinya, Nina menahan tawa. “Jadi maksudnya ....” Tenggorokanku terasa tercekat. Apa yang telah kukatakan tadi? Ya, Tuhan .... “Jadi Anda tidak ingin mengajar lagi? Sungguh disayangkan. Padahal, kami semua sudah mendiskusikannya kemarin agar memberi Anda kesempatan." Keringat dingin meluncur pelan dari kening, jatuh perlahan membasahi hidungku. Kutatap sekeliling. Nina, dia begitu menyebalkan sekali, terus tersenyum geli. Sementara Tari menggeleng kecil, seolah mengatakan bahwa ia tak tahu apa-apa mengenai kemarin. “Tapi semua terserah pada Anda!" ucap Pak Herman tegas. Kutelan ludah. “Saya ... minta maaf. Tadi ... saya begitu emosi,” jawabku susah payah. “Silakan buat surat pernyataan bahwa Anda tidak akan mengulangi hal serupa." Langsung kuanggukkan kepala. Tubuhku mendadak ringan bagai kapas. Aku segera menuju meja, menyiapkan bahan pengajaran lalu melangkah ringan menuju kelas tiga. Mengucap salam, kemudian masuk dengan senyum terkembang lebar. "Assalamualaikum. Pagi murid-murid ...." "Pagi, Buuu," sahut anak didikku nyaris kompak. Kuenyakkan p****t di kursi. Sekilas, kutatap Amirul yang hanya diam menunduk, membuatku tiba-tiba merasa iba. Mungkin, benar yang dikatakan kepala sekolah, Amirul masih anak-anak. Hanya saja, waktu itu aku sedang sangat kesal. Tanpa membuang waktu, lekas kumulai pelajaran. Setelah mengamati angka demi angka di buku cetak yang akan kutulis di papan tulis kemudian menjelaskan, aku pun berdiri. Tapi .... Tunggu, kenapa pantatku mendadak terasa berat? Aku, yang telah diposisi antara berdiri dan duduk, akhirnya menoleh ke belakang. Aku membelalak kaget mendapati kursi menempel ketat di androk. Aku kembali duduk, melayangkan pandangan kesal pada seluruh murid, mengintai mereka satu-persatu bak harimau kelaparan. Perasaan kesal, kian merangkak mencapai ubun-ubunku saat semua murid, benar-benar semuanya, kini tampak menahan tawa. Bahkan, ada yang terpingkal-pingkal di kursinya. Duh Gusti Allah ... bagaimana caranya bersikap sabar hari ini? Braaaak! Tanganku spontan menggebrak meja. Ternyata, amarahlah yang lebih merajai hati, mendidih-didih di dalam d**a. Bergejolak. Braaak! Kembali tanganku menggebrak meja. Saking kerasnya, sampai telapak tangan memerah dan berdenyut sakit. Tatapanku nyalang mengintai semua murid yang kini menunduk, terlihat amat ketakutan. Tapi suara tawa masih terdengar sesekali. “Ulah siapa?” tanyaku setelah dengan susah payah memisahkan kursi dari androk. Kini berjalan mondar-mandir di depan kelas. Semua murid mendadak bungkam. Lenyap bising tawa yang tadi susul-menyusul, lenyap pula bisik-bisik. Ruang kelas mendadak lengang, hanya terkadang terdengar timbul tenggelam suara Nina yang tengah mengajar di kelas sebelah. Karena tak satu pun mengaku, akhirnya kujatuhkan hukuman pada semua murid. “Kalian semua, ayo semuanya, berdiri! Keluar dan berlari-lari di lapangan sepuluh putaran!” Aku memberi titah. Tak satu pun murid mencoba melawan. Dengan langkah perlahan, mereka ke luar kelas, langsung berlari kecil mengitari lapangan yang tak begitu luas. Terik matahari yang menyengat meski sekarang masih jam 10 pagi, kurasa cukup untuk membuat mereka jera. Sambil terus mengawasi, aku duduk di bawah pohon akasia. “Ada apa lagi?” Pak Herman, dengan wajah tegas yang dipenuhi rasa penasaran melangkah menghampiriku. Aku berdiri, lalu membalikkan badan untuk memberi tahu perihal androkku. Pak Herman langsung menggeleng, tampak seperti ingin tertawa, tapi tidak tertawa. Ia akhirnya pergi menjauh dengan satu tangan membekap mulut. Aku mengembuskan napas kesal. *Yuuk baca juga Nikah Dengan Kakak Ipar yang akan membuatmu sedih, kesal, juga senyum sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN