Seorang gadis kecil duduk seorang diri di bangku taman sekolahnya. Hari ini adalah hari pertamanya sekolah di sebuah sekolah dasar. Dia berusia 6,5 tahun, duduk di kelas satu.
Gadis kecil itu memandang sendu pada apa yang dilihatnya tak jauh dari hadapannya. Salah satu temannya baru saja datang diantar seorang laki-laki dewasa menggunakan motornya.
Gadis kecil itu ikut tersenyum saat temannya terlihat melambaikan tangannya pada si pria dewasa, tangannya tanpa ia sadari turut melambai pada orang yang sama.
"Jesyca ...!" seru seorang anak laki-laki yang menghampirinya. Tak mendapat respon dari yang ia panggil anak itu lalu menepuk bahunya.
"Eh... El ...," ucap gadis kecil yang dipanggil Jesy.
"Kamu lihat apa? " tanya anak laki-laki bernama El sambil melihat ke arah yang tadi dilihat oleh temannya itu.
Jesy menggeleng. "Enggak El, bukan apa-apa," jawabnya dengan suara lembut.
"Ya udah, ayo masuk kelas, sebentar lagi bel masuk, kemarin kamu kenapa tidak berangkat, kenapa?" tanya El.
Jesy turun dari bangku taman depan sekolah barunya. "Kemalin Jesy sakit, jadi balu hali ini bisa belangkat."
Anak laki-laki bernama El itu tertawa. "Jesy Jesy, sekarang kamu sudah kelas satu SD, mau sampai kapan kamu belum bisa ngomong R hmmm? Kapan kamu akan memanggil namaku dengan benar?"
"Elllll.... Jesy sebel diledekin ya ...." Jesyca kesal, gadis kecil itu melipat tangan di depan d**a, bibirnya mengerucut dengan mata yang melirik tajam.
"Hahaha ... ya udah ayo masuk kelas, aku sudah memilih tempat duduk buatmu, tepat di depanku, jadi kamu harus kasih contekan ya sama aku, kata om aku sekolah SD itu susah jadi kita harus nyontek."
"Nyontek, contekan, itu apa El?" tanya Jesyca tak mengerti.
El mengedikan bahunya "Aku juga nggak tahu, nanti aku tanya deh sama om aku."
"Ya sudah, ayo ...."
Jesyca dan El sudah saling mengenal sejak 2 tahun lalu, mereka sekolah di taman kanak-kanak yang sama, El selalu suka bermain bersama Jesy karena El suka dengan wajah bule Jesy yang menurut El cantik seperti boneka barbie dengan bola mata abu-abu juga rambut yang kecoklatan.
***
Jesy baru saja sampai di rumahnya, ia sangat malas turun dari mobil yang menjemputnya, masuk ke rumah sama saja, hanya sepi yang ia rasakan.
"Non cantik sudah sampai Non," ujar supir pribadi Jesy yang bernama Budi.
"Pak Budi, kapan Papa pulang?" tanya Jesy.
Supir bernama Budi itu hanya bisa menggaruk kepalanya, pria paruh baya itu bingung harus menjawab apa.
"Pak Budi enggak bisa jawab ya?" Dengan malas Jesy pun turun dari mobilnya. Dia
melangkah pelan masuk ke dalam rumah, di sana dia sudah disambut riang oleh seorang wanita.
"Hai Jesy ... sayang ... sini Mama peluk dulu."
Jesy menghela nafasnya lalu hanya tersenyum dan pasrah menerima pelukan itu.
"Kamu capek ya sayang?"
Gadis kecil itu mengangguk pelan. "Sedikit, Jesy ke kamal dulu," pamitnya sambil berlalu meninggalkan wanita yang menyebut dirinya mama.
Jesy masuk ke kamarnya yang bernuansa serba merah muda. Dia langsung menjatuhkan tubuh kecilnya ke atas ranjang. "Cika lindu Papa."
"Non ... mau makan dulu atau bobo siang?" tanya seorang wanita berseragam merah muda dan putih itu, dia pengasuh Jesyca yang bernama Nani.
"Jesy mau bobo siang dulu mba, Mba Nani nanti bangunin jam 2 ya! Jesy mau ngeljain PL nanti."
"Iya Non, oh ya itu kata mama–“
"Udah ya mba, Jesy capek." Dengan cepat Jesyca menyela ucapan pengasuhnya.
"Tapi Non–“
"Mba ... Jesy cuma mau papa ...." Akhirnya pecah sudah tangis Jesy, ia tak tahan untuk tak menangis ia rindu papanya, melihat ada banyak teman-teman barunya yang sekolah diantar papanya membuat ia semakin merindukan sosok laki-laki yang biasa dipanggil papa olehnya.
Nani menjadi serba salah, mengetahui kebiasaan anak majikannya yang akan semakin menjadi tangisnya jika didekati, maka Nani memilih untuk keluar kamar nona kecilnya itu.
Jesyca menangis. "Cika lindu Papa, kapan Papa pulang ...?"
**
Seorang pria tengah duduk di kursi kerjanya, di hadapannya ada setumpuk berkas yang harus ia kerjakan. Sudah satu tahun ia kembali dan sudah setahun pula perusahaan yang ia ambil alih berkembang semakin pesat di tangannya.
Tiga tahun lalu ia berjuang meneruskan perusahaan papanya yang di ambang kehancuran, tanpa persiapan ia dipaksa mengambil alih perusahaan yang hampir bangkrut dalam semalam, hingga mengakibatkan papanya mengalami serangan jantung dan struk hingga kini.
Pria yang ia panggil papa kini hanya bisa duduk di kursi roda di negaranya sana. Dan sekarang ia terpaksa pergi meninggalkan papanya karena ia rasa sudah waktunya ia harus mengejar kembali kehidupannya.
Pintu ruangan dibuka, pria itu melirik ke arah pintu. Dilihatnya ada Rio, sahabat sekaligus wakilnya, seorang pria keturunan indo arab itu melangkah mendekat padanya.
"Bagaimana?" tanya pria itu tak sabar.
"Kau selalu bisa mengandalkanku Bung," jawab Rio.
"Jadi benar jika DP Architects miliknya?"
"Ya ... 100 % aku yakin."
Pria yang duduk di balik meja kerja itu tersenyum penuh kepuasan. "Bagus, apa kau bisa jamin dia mengambil proyek kita?"
"Yakinlah, perusahaannya masih baru, tentu dia tak akan menyia-nyiakan tawaran dari perusahaan besar kita, ya meski di sini nama perusahaanmu masih baru, tapi di negaramu siapa yang tidak mengenal Max-L Corporation."
"Bagus, aku mau dia yang menangani proyek ini, dan pastikan dia tak tahu jika aku pemilik perusahaan ini."
"Siap ... tapi ...," ujar Rio yang terlihat ragu.
Pria itu langsung melirik sahabatnya. "Kenapa?"
Pria berkulit sawo matang dengan wajah ke arab-araban itu menghela nafasnya. "Jika kau mau mengejarnya kembali, lalu bagaimana dengan Ginaya?"
"Apa? Aku tak memiliki hubungan apapun dengan wanita itu, lagi pula aku sudah menikah."
Rio menggeleng. "Kita sama-sama tahu bagaimana Ginaya membantumu setahun ini."
"Membantu apa?"
"Ya mengambil alih perusahaan ini, dan juga mengurus–“
"Cukup Rio, aku tak ada perasaan apapun pada wanita itu, jangan memaksaku, lagi pula dia tahu statusku dan aku tak pernah memintanya ikut campur urusanku di luar tugas pekerjaannya." Pria di balik meja kerja itu tampak mulai marah.
Rio menggelengkan kepalanya. "Aku kasihan padanya."
"Kalau begitu kau saja yang bersamanya, nikahi dia."
"Gila kau, aku sudah bertunangan," ujar Rio.
"Huh, baru tunangan, dan sudah lebih dari 3 tahun tanpa ada kemajuan, kau kira Rena tulus padamu? Jika ia tulus, dia sudah mau kau nikahi sejak lama."
"Cukup, aku pusing ...!" Rio berdiri lalu keluar dari ruangan sahabatnya yang sialnya kini menjadi atasannya.
Kini, sahabat Rio itu langsung mengambil bingkai foto di depannya. Mengusap lembut foto seorang wanita cantik yang hingga saat ini masih berstatus istrinya dan tak akan ia rubah sampai kapanpun.
Dia tahu semua salahnya. Andai dirinya tak disibukan untuk membangkitkan perusahaan sang ayah yang berada di ujung tanduk kehancuran, tentu sudah sejak awal ia akan mengejar cintanya dan menjelaskan semua yang terjadi, tapi sialnya setelah tiga tahun, dia baru bisa kembali dan akan ia pastikan istrinya itu kembali kedalam pelukannya.
"Akan kupastikan kita kembali bersama sayang, meski keluargamu masih membenciku atau berniat menghancurkanku sekali lagi, tapi saat ini kupastikan jika aku tak akan kalah dari mereka seperti papa."
Hingga kemudian sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel pribadinya, pria itu menghela napasnya, sungguh ia malas sekali mengangkat panggilan itu. Namun,ia tetap harus mengangkatnya jika tak ingin ponselnya terus saja berdering.
"Hallo ...," jawabnya dengan nada suara yang cukup datar.
"Untuk apa kalian aku gaji jika menanganinya saja tak bisa hah!"
"Dengar, jika kalian masih mau bekerja, jangan pernah melapor hal tidak penting seperti ini lagi!"
Dengan kesal ia segera menutup panggilan itu. Pria itu mengepalkan tangannya, giginya saling bertaut menahan geram teringat kebodohannya di masa lalu.