Diffa Ayu Pradipta

1179 Kata
Seorang wanita baru saja menutup ponselnya, dia memiringkan kepalanya memikirkan sesuatu. "Kenapa sayang?" Wanita itu menolah. "Tidak tahu Bun, tadi ada yang telepon tapi tidak ada suaranya." "Ya sudah, lebih baik kamu tidur ini sudah malam." "Iya bun, Difa ke kamar dulu ya." Wanita itu bernama Difa Ayu Pradipta, seorang arsitect muda, putri pasangan Daffa Pradipta dan Sifa Ayu Darmawan. "Difa kenapa Bun?" tanya Raffa yang menghampiri sang bunda. "Hmm, tidak apa? Mana Cellin?" "Sudah tidur tadi sama Siena, Bunda gak apa kan kami menginap di sini? " Sifa tersenyum. "Tidak apa sayang, bunda sudah baik-baik saja, kehadiran cucu-cucu bunda dan kalian adalah obat termanjur yang bunda miliki." Raffa dan Bunda Sifa menoleh, lalu mendapati Difa kembali ke ruang keluarga. "Bun." "Ada apa Fa?" tanya Raffa heran, begitupun bunda Sifa yang tampak mengerutkan keningnya. Difa menggeleng. "Mau tidur sama Bunda, mumpung ayah tidak di rumah." Sifa tersenyum melihat mode merajuk putrinya. "Makanya tidur di sini kenapa harus di apartemen?" "Lebih dekat dengan kantor Difa Bun." "Oh ya Fa, bagaimana perkembangan kantor barumu?" tanya Raffa pada adiknya. Difa tersenyum antusias. "Abang tahu, kami baru saja menerima kontrak besar untuk pembangunan resort di Kepulauan seribu." "Oh ya? Bagus itu, tapi ingat membangun Resort berbeda konsepnya dengan membangun perumahan." Difa tersenyum lalu mengangguk. "Iya Abang, perusahaan itu inginkan konsep resort seperti di Hawai." Raffa mengangguk. "Bagus itu, jangan sungkan meminta bantuan Abang nanti." "Iya Abang, pasti. Awalnya Difa ragu Bang karena perusahaan ini baru di Indonesia tapi Difa dengar di Eropa sana, perusahaan ini maju pesat dalam 3 tahun terakhir ini." "Oh ya, apa nama perusahaannya?" tanya Raffa penasaran. "Mm, MaxL Corporation kalau di Eropa, di sini Maxl grup, baru satu tahun berdiri di sini, tadinya namanya HanumJaya atau apa aku lupa." Raffa mengusap dagunya mendengar penjelasan Difa, ia tersenyum tipis. "Bagus, kamu harus tangani itu baik-baik." "Iya Bang." Difa menatap bundanya. "ayo Bun kita tidur!" Bunda Sifa tersenyum lalu membelai rambut putrinya. "Tentu sayang, ayo!" Bunda Sifa menatapa putranya. "Kami tidur dulu Raff. " "Iya Bun." Setelah kepergian Difa dan bundanya, Raffa menunduk lalu tersenyum. "Dia sudah siap dan kalian harus menyelesaikan masalah kalian dengan baik, meskipun tak ada yang memberatkan hubungan kalian, bagaimanapun adikku butuh status yang jelas," ucap Raffa lirih. Sementara itu di kamar, Difa tidur sambil memeluk sang bunda mereka masih saling bercerita. "Bun, apa yang Bunda lakukan kalau Bunda merindukan ayah?" "Bunda akan memandang wajah putra putri bunda, dan sekarang karena kalian juga menjauh, punya kehidupan masing-masing maka bunda akan menatap foto kalian mengingat semua masa indah yang telah kita lewati." Difa tersenyum. "Kenapa Bunda tidak membenci ayah saat dulu ayah berkhianat?" Bunda Sifa menghela nafasnya, dia tahu apa yang selalu mengganggu pikiran putrinya selama ini. "Dengar sayang, Bunda tahu, meski bibirmu selalu mengatakan membencinya tapi hatimu masih mencintainya." Difa menggeleng. "Tidak Bunda salah, hatiku juga membencinya." Bunda Sifa menghela nafasnya, ini sudah kesekian kalinya mereka membicarakan hal ini. "Baiklah, lalu apa yang akan kamu lalukan sekarang?Jika kamu begitu membencinya maka bercerailah!" ujar Bunda Sifa. "Tentu aku akan melakukannya nanti." "Nanti kapan sayang?" tanya Bunda Sifa. "Nanti jika, jika kami bertemu maka aku akan meminta buku nikah kami dan aku yang akan mengajukan cerai darinya." "Itu hanya alasanmu saja sayang? Meski buku nikah asli ada di tangannya tetap saja kamu bisa meminta salinannya di KUA dan mengurus perceraianmu di pengadilan agama!" Bunda Sifa menghela napasnya panjang mengingat nasib pernikahan putri satu-satunya. "Bunda ... tidur yuk." Bunda Sifa tersenyum, putrinya selalu seperti itu, dia yakin jika Difa memang masih mencintai pria berstatus suaminya itu. Dia pernah berada di posisi Difa, memang berat menerima kenyataan tapi dulu, Daffa kekeh membuktikan cintanya, tidak seperti menantunya yang menghilang sejak itu. Mungkin itulah yang memberatkan putrinya, Difa adalah wanita yang selalu mengandalkan logika, dia selalu menimbang baik buruknya dan dia butuh penjelasan, tapi pria itu tak pernah datang untuk memberi penjelasan. Sementara lain dengan yang ada di fikiran Difa, kini dia mati-matian menahan rasa sesak di hatinya, ia tak ingin membuat bundanya khawatir pada keadaannya. 'Andai kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini Dimas, aku membencimu tapi aku juga merindukanmu.' Difa membangun. Sebelum ia benar-benar membawa dirinya ke dalam mimpi, mimpi yang selalu sama sejak 2,5 tahun lalu, saat dia harus kehilangan putrinya. Pagi hari Difa sudah rapi dengan pakaian kantornya, dia segera turun ke meja makan dan tersenyum melihat betapa ramainya kediaman ayah bundanya pagi ini. "Hua ...." Tangis seorang balita cantik berusia 1,5 tahun di meja makan. "Astaga Sean, apa yang kamu lakukan pada adikmu?" protes Siena, istri Raffa, ibu si kembar. Ya Raffa dan Siena di karuniai anak kembar laki-laki dan perempuan, sungguh beruntung. Tapi meskipun begitu, kebahagiaan mereka juga tak mudah mereka dapatkan, ada penantian panjang wanita itu hingga akhirnya bisa bersanding dengan pria yang ia cintai, dan Raffa memang pantas dicintai. Difa tersenyum kecut mengingat pria yang dulu ia cintai, lalu apakah kisah cintanya akan berakhir bahagia seperti kisah cinta Raffa dan Siena? Ah lebih baik jangan bandingkan kisahnya dengan kisah cinta mereka, karena Raffa tak pernah berkhianat dalam keadaan sadar. Mungkin berkaca pada kisah orang tuanya adalah pilihan tepat, tapi bagaimanapun tetap berbeda, Ayahnya tahu kesalahannya dan berjuang demi sang bunda tidak seperti Dimas yang menghilang. 'Heh mungkin dia sudah bahagia dengan pilihannya.' "Astaga Sean, mau sampai kapan kamu usil pada adikmu." Siena terlihat kesal pada putranya yang memang sangat nakal pada sudari kembarnya. "Huaaa ... papii ...." Tangis Celline pecah lagi, dari tadi Sean terus saja merebut sendok makan milik Celline. "Sayang cucu nenek jangan menangis, ada nenek di sini," ucap Bunda Sifa mencoba menenangkan cucu perempuan satu-satunya. Sementara Siena tengah membersihkan kepala Sean dari cereal yang bocah itu siramkan pada kepalanya sendiri. "Kenapa sih ribut-ribut pagi-pagi juga," ujar Raffa yang baru datang ke meja makan bersama Farel putra pertamanya yang baru kelas satu sekolah dasar. "Lihatlah Sean, Abang lihat kekacauan yang Sean lakukan," kesal Siena. "Sean sudah papi bilang kalau pagi-pagi jangan buat mamimu kesal atau dia akan menjadi singa sepanjang hari." "Abang ...!" seru Siena bertambah kesal dengan godaan Raffa. "Raffa juga jangan menambahi kekesalan istrimu, kamu tidak tahu betapa lelahnya mengurus dua balita sekaligus!" tegur Bunda Sifa menasihati putranya. "Iya Bun," ucap Raffa mendekati istrinya lalu mengecup kening Siena. "maafin aku sayang." Lalu Raffa menatap putranya yang tengah tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya. "No sayang, papi sudah rapi harus ke kantor, nanti siang papi pulang cepat kita main sama-sama oke." "Huaaa ... papi huaaaa ...." "Mami bisakah El bawa dua bekal?" tanya Farel antusias. "Iya sayang, minta tolong bibi ya, mami lagi membersihkan adikmu dulu," jawab Siena. "oh Sean sepertinya kamu harus mandi lagi." Siena menggendong Sean dan membawanya ke kamar. "Maaf Bang, Abang urus Farel ya." "Iya sayang tak apa." Difa di ujung tangga menghapus airmatanya, sedari tadi dia memperhatikan drama pagi sebuah keluarga, sebuah impiannya dulu yang telah hilang bersama harapannya. "Kamu kenapa Dif?" tanya Siena saat akan melewati Difa. "Gak apa Na, aku baik-baik saja." "Ah ya maaf ya Dif, aku harus mengurus Sean." "Ya silahkan, Sean jangan nakal ya!" ucap Difa mencubit pipi gembil Sean. Lalu Difa mendekat ke maja makan untuk sarapan karena ada meeting pagi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN