Difa langsung mendorong tubuh tegap pria di depannya, segera ia menghapus jejak basah di bibirnya lalu menatap kesal pada pria yang hingga detik ini masih berstatus suaminya itu.
Dimas terkekeh kecil melihat kekesalan Difa, "Kenapa di hapus jika beberapa detik lalu kamu menikmatinya sayang. "
Difa berdiri dari duduknya lalu keluar dari lingkup meja kerjanya, ia tak mau terjebak situasi seperti yang baru saja terjadi.
"Tolong jaga sikapmu Dimas, kita memang masih suami istri, tapi itu tak akan lama lagi,karena aku akan segera mengajukan perceraian ke pengadilan nanti. "
Dimas mengetatkan rahangnya saat mendengar apa yang Difa ucapkan padanya, "Ajukan saja, tapi aku tak akan pernah mengucapkan talak padamu, sampai mati aku tak akan pernah menceraikanmu. "
Difa yang tadinya berdiri memunggungi Dimas langsung berbalik,Menatap kesal pada pria itu.
"Sebenarnya apa maumu Difa? Aku sudah meminta maaf padamu, tapi kenapa kamu tetap keras kepala?Aku hanya ingin kesempatan, KESEMPATAN..."Ujar Dimas sambil menunjukan jari telunjuknya.
Difa bingung harus menjawab apa, tangan yang tadi ia lipat di depan dadanya langsung ia turunkan.Dimas mendekat lalu menahan bahu Difa.
"Apa kesalahanku terlalu Fatal?Sudah aku jelaskan yang sebenarnya terjadi padamu, tak ada pernikahan di antara kami, itu hanya pemalsuan untuk..."
Difa melepas tangan Dimas dari bahunya,"Mungkin benar kalian bisa pura-pura menikah lalu apa hasil tes DNA itu salah? Kalian melakukan tes itu di rumah sakit keluargaku, semua sudah terbukti kalau kau melakukan sendiri tes itu. " Ujar Difa begitu tegas.
"Tes... DNA... " Lirih Dimas, "Kau tahu?"Tanya Dimas tak percaya,ia mundur ke belakang beberapa langkah.
Difa tersenyum kecut, "Kamu kira hanya soal pernikahan hmm? Bahkan bukan hanya soal hubunganmu dengan anak itu, tapi dari caramu mengambil keputusan yang tak melibatkanku, kamu...."Tunjuk Difa pada d**a Dimas, "Kamu menyepelekan perasaanku. " Desis Difa menaham emosinya.
Sesaat Dimas tertegun, kemudian ia menggeleng, "Tidak kamu salah paham, bukan seperti itu maksudku. "
"Cukup Dimas, keluarlah, aku tetap pada keputusanku, kita akan bercerai."
Dimas menggeleng, "Tidak... aku... "
Dering ponsel Difa menarik perhatian wanita itu sekaligus menghentikan ucapan Dimas.Difa mengambil ponsel di dalam tas kerjanya lalu ia menatap Dimas sesaat sebelum ia mengangkat panggilan yang masuk di nomor ponselnya.
"Iya bun..."Jawab Difa,"APA... " Pekik Difa sambil menutup mulutnya, "Iya bun, Difa langsung ke rumah sakit sekarang."
"Ada apa?" Tanya Dimas saat Difa menutup panggilan di ponselnya, namun Difa tak menjawabnya, ia terlalu sibuk mengambil kunci mobilnya dengan gemetar.
Tanpa menjawab pertanyaan Dimas, wanita itu langsung berjalan cepat keluar ruangannya, Dimas yang penasaran dengan apa yang terjadi langsung mengikuti Difa keluar ruangan.
"Nuna, batalkan semua janjiku hari ini, jika Juna kemari katakan kalau aku ke rumah sakit."
"Baik bu. " Jawab Nuna bingung melipat ekspresi panik atasannya dan juga ekspresi bingung pria yang ada di belakangnya.
.
.
Beberapa saat kemudian Difa sampai di parkiran kantornya, segera ia membuka pintu mobilnya namun tiba-tiba ada yang menahan lengannya.
"Dimas, aku buru-buru."Ujar Difa.
"Aku tahu, tapi kamu tidak bisa berkendara dengan panik seperti itu."
Ujar Dimas.
"Ikut aku, biar aku antar."Ucap Dimas sambil menarik Difa menuju mobilnya dan memaksa Difa untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Dimas, aku bisa sendiri. "
Dimas tak mempedulikan Difa, ia langsung memutari mobilnya menuju pintu samping.
"Dimas, aku.. "
Dimas benar-benar tak mempedulikan protes Difa, segera ia melajukan mobilnya meninggalkan area perusahaan milik istrinya itu.
"Rumah sakit mana? "Tanya Dimas tanpa mengalihkan fokusnya pada jalanan.
Difa menghela nafasnya, "Rumah Sakit Kakek."Ucapnya pasrah.
Sekitar 20 menit kemudian mobil Dimas tiba di rumah sakit itu, tanpa menunggu Difa langsung keluar dari mobil Dimas, sementara Dimas menuju parkiran untuk memarkirkan mobilnya.
Difa telah sampai depan ruang IGD, ia melihat ada bundanya yang tengah duduk menunggu di depan ruangan itu bersama Mondi.
"Bunda..."Panggil Difa dan bunda Sifa langsung berdiri menyambut kedatangan putrinya.
"Difa..."Ucap bunda Sifa langsung memeluk putrinya.
"Apa yang terjadi bun, dan bagaimana keadaannya?"
Bunda Sifa menghela nafasnya, "Dia tadi kejang-kejang, bunda panik sekali. "
"Ke.. kejang, bagaimana bisa?
Bukankah tadi pagi dia sudah sehat?"
Bunda menggeleng, "Bunda juga tidak tahu, tadi setelah kamu berangkat, dia kembali ke kamarmu, dia tiduran lagi, pas bunda masuk ke kamarmu bunda lihat dia menggigil, pas bunda cek dia demam lagi, baru saja bunda ambil minum untuk dia minum obatnya dia sudah kejang. "
"Orang tua Jesy... " Panggil dokter.
Difa dan bunda Sifa langsung menghampiri dokter itu.
"Bagaimana keadaannya dok? "Tanya Difa cemas.
Dokter itu tersenyum, "Dia sudah stabil, tidak usah khawatir, nanti setelah infusnya habis, kalian bisa membawanya pulang. "
"Apa anda yakin dokter, tak ada penyakit yang seriuskan? "Tanya bunda Sifa.
Dokter itu menggeleng, "Tidak apa yang terjadi masih wajar untuk anak seusianya, mereka hanya butuh perhatian khusus dari orang tuanya."
Difa dan bunda Sifa saling pandang, mereka bingung harus meresponnya seperti apa.
"Kalau begitu saya permisi,kalian bisa menemuinya. "
"Iya dok. "Ucap bunda Sifa,lalu ia melihat di arah koridor ada Dimas yang sedang berjalan ke arah mereka, "Dimas."Lirihnya.
Difa langsung menoleh lalu menghela nafasnya jengah. lebih baik ia langsung masuk untuk menemui Jesy.
"Dimas." Panggil bunda Sifa.
Dimas tersenyum tipis lalu menyalami wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu mertuanya, "Bunda apa kabar? "
"Bunda baik nak, kamu apa kabar? "
Dimas tersenyum,"Baik bunda. "Dimas langsung menatap pintu ruang IGD, "Siapa yang sakit bun?"Tanya Dimas penasaran.
"Owh itu, teman sekolah Farel,bunda mau ke dalam, kamu mau ikut. "
"Ah ya bunda." Baru saja Dimas akan melangkah sebelum Ponselnya bergetar menghentikan langkahnya.
Ia memberi isyarat pada mertuanya untuk mengangkat telepon terlebih dahulu.
Bunda Sifa mengangguk lalu masuk menemui Jesy dan Difa.
"Bagaimana?"Tanya bunda Sifa lirih.
"Dia tidur bun. " Difa membelai kepala Jesy lembut.Dalam hati Difa memikirkan kembali kata-kata dokter tadi, perhatian orang tua. Sungguh kasihan Jesy, dia menjadi korban keegoisan orang tuanya.
"Sayang. " Seru Dimas saat memasuki ruang IGD, dia baru saja menerima panggilan dari kantornya.
Difa memutar bola matanya malas untuk menanggapi panggilan sayang dari pria itu.
"Aku harus segera ke kantor."Ujar Dimas sambil memegang bahu Difa lalu menoleh pada ranjang di mana ada gadis kecil yang terbaring dengan mata terpejamnya.
"Cika... " Kaget Dimas melihat siapa yang tengah terbaring itu.
"Cika? " Beo Difa sedikit terkejut, ia menatap Dimas dan Jesy bergantian,"Dia.... Cika? " Tanyanya.
"Ya... " Jawab Dimas dingin,lalu ia melihat pada jam di tangannya, "Aku harus ke kantor, ada meeting. " Ucap Dimas lalu mengecup kening Difa yang masih tertegun, setelah itu Dimas menatap bunda Sifa yang juga terlihat bingung, "Dimas pamit bun. " Ujarnya berbalik meninggalkan mereka.
Sesaat kemudian Difa tersadar, segera ia mengejar Dimas, "Dimas tunggu. " Serunya.
Dimas menghentikan langkahnya lalu berbalik.
"Jadi, Jesy itu Cika? " Tanya Difa
membuat Alis Dimas saling bertaut.
"Jawab Dimas? Apa benar Jesy adalah Cika? " Tanya Difa menuntut jawaban.
Meski ragu harus merespon seperti apa, Dimas mengangguk memberikan jawabannya dengan yakin.
PLAKK...