Apakah benar yang dikatakan Lauren tempo hari?
Agatha seharusnya sudah tidak perlu terlalu mengejar satu pria seperti yang dia lakukan terhadap suaminya!
Tapi Boy itu suaminya! Salahkah jika Agatha ingin diperhatikan? Salahkah jika dia membutuhkan kasih sayang suaminya?
Terlepas dari apa pun rencana yang ada di kepala Agatha, nyatanya dia memang terlalu agresif mengejar suaminya. Bagaimana jika pria itu pindah hati ke perempuan lain?
*
Lampu sorot menyala ke satu titik dengan layar putih yang menjadi latar belakang. Tiang-tiang dari peralatan fotografi terpasang dengan tepat pada tempatnya. Sementara semua orang di sana sedang sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing.
Penata rias merapikan wajah model mereka yang akan tampil mengenakan topeng kali ini. Ditambah dengan beberapa properti berupa set alat masak yang hendak dipromosikan dalam proses pemotretan sekarang.
“Oke, ayo kita mulai!” ujar seseorang yang berdiri di balik kamera.
Blower pun menyala. Angin berembus dari sana dan meniup ke arah sang model. Rambutnya yang tergerai, berkibar dengan anggun dan cantik.
Cahaya diatur agar bisa menunjukkan pesona keindahan sang model dengan pas.
‘Klik!’
‘Klik!’
‘Klik!’
Berulang kali kamera membingkai kecantikan sang model.
“Oke! Satu pose terakhir! Berikan yang terbaik, Lady!”
‘Klik! Klik!’
“Oke!” Fotografer tersebut bersorak setelah mendapatkan gambar yang ia inginkan.
Lauren bergegas untuk menghampiri bosnya sambil membawakan selimut. Pundak mulus dari sang model itu sejak tadi terasa dingin karena tertiup udara dari blower.
“Rambutku bagus, kan?” tanya Lady Aga.
“Iya, masih bagus! Bu, hati-hati, Pak Boy sama sekretarisnya lihat,” bisik Lauren sambil mendekat.
Agatha pun melirik ke arah yang dimaksud. Dia tersenyum simpul melihat ada suaminya di sana, Lauren tidak bohong.
“Kemarikan itu!” pinta Agatha pada salah seorang asisten yang membantu saat pemotretan.
“Ini, Lady?”
Agatha mengangguk, dia menunjuk pada salah satu wajan anti lengket yang baru saja berfoto dengannya tadi.
Lauren segera mengambil benda yang dimaksud, lalu dia berikan pada sang bos yang sedang menjadi Lady Aga tersebut.
“Iya, sini!” jawabnya yang sedang duduk di salah satu kursi.
“Mau buat apa, Bu?” tanya Lauren.
Agatha diam saja sambil melihat-lihat pada benda tersebut.
“Benda ini dibuat dari beberapa lapis keramik, aku jadi penasaran seberapa bagus dia untuk memasak tanpa menimbulkan lengket walau kita memasak tidak menggunakan minyak.” Tiba-tiba Agatha membicarakan kualitas produk yang ia pegang.
“Anda bisa membuktikan kualitasnya, saya merancang sendiri setiap lapisan dalam produk kali ini. Bahkan saya juga telah menguji coba produk itu dengan tangan ini berulang kali! Anda bisa percaya atau tidak!” sahut seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri.
Agatha menoleh, dia tetap mengenakan topeng, lalu menunjukkan senyum segaris dari bibir cantiknya. “Benarkah?” Suaranya kini menjadi sangat lembut.
Melihat ada CEO datang secara langsung dan mengajak bosnya bicara, Lauren pun pamit undur diri. Tapi sebelum itu, ia mengambil terlebih dahulu selimut kecil yang baru saja digunakan untuk menutup tubuh Agatha.
“Anda bisa coba sendiri!” timpal Boy yang matanya tak bisa lepas dari pesona misterius sang Lady.
“Kalau Pak Boy sudah pernah mencoba produk ini, maka itu artinya ... Pak Boy juga memasaknya sendiri? Benar begitu?” Lady Aga bertanya.
“Emmm, tidak banyak masakan yang bisa saya buat! Tapi jika Anda ingin melihat kualitas produk ini secara langsung, maka saya akan mengundang Anda secara pribadi. Saya akan memasak menggunakan produk-produk milik saya.”
Ucapan Boy tampak terdengar serius.
“Benarkah? Saya tidak pernah berpikir, kalau Pak Boy mau memasak untuk orang lain!” ucap Agatha, dia mencoba mengulik sisi lain dari suaminya yang selama ini belum pernah ia tahu.
“Saya mengundang Anda, saya akan berusaha untuk membuat makanan yang terbaik!”
Jawaban dari Boy benar-benar membuat Agatha berdebar.
Apakah seperti ini rasanya diperhatikan oleh orang yang dicintai?
Begitulah pertanyaan dalam hati Agatha menari-nari. Semakin lama dia pikirkan, Agatha memang tak pernah mendapat perhatian dari seorang Boy!
Tapi hari ini, dia merasakannya.
“Kamu ... mau memasak untukku?” tanya Agatha yang sedang tersenyum. Di balik topengnya, dia menyembunyikan pipi yang memerah.
Saking salah tingkahnya di level tertinggi, Agatha lupa memakai panggilan formal pada lawan bicaranya.
“Emmmm ... kam ... mu ...?” Boy mengulang bagaimana Lady Aga memanggilnya. Yang jelas, sepertinya pria tersebut juga merasakan hal yang sama.
“Ah, maaf! Maksud saya ....”
“Jika ingin lebih santai, aku lebih suka memanggilmu dengan cara seperti ini ...,” timpal Boy lagi.
Dua manusia tersebut berhadapan dengan posisi yang semakin dekat. Seakan ada magnet yang menarik satu sama lain, suasana membuat mereka terbang hingga lupa akan daratan.
“Apa kau keberatan?” tanya Boy untuk memperjelas.
Agatha tak dapat mengondisikan perasaannya, ia tak bisa bicara karena lidahnya kelu, dan pita suaranya seakan terikat. Sehingga perempuan itu pun hanya mengangguk untuk memberikan jawaban.
‘Tap!’
‘Tap!’
Satu per satu lampu di studio dimatikan, asisten menyisakan lampu tengah yang menyorot ke arah dua manusia sedang berbincang di sana.
Agatha berbalik, dia membelakangi Boy. Dia tersenyum, lalu melangkahkan kaki untuk meninggalkan pria tersebut.
“Aku akan mengirimkan detail waktu dan lokasinya nanti!” ujar Boy sekali lagi.
Sambil menyembunyikan wajah, Agatha tersenyum. “Lihat, aku tidak mengejarnya! Tapi dia yang mengejarku!”
Dalam hati Agatha berbunga-bunga dan merasakan sebuah kemenangan. Pada akhirnya, Boy pun memberikan dia perhatian yang selama ini dia cari.
“Bu Agatha,” panggil Lauren sambil berbisik. Asisten dari Agatha tersebut sudah membawa segala perlengkapan milik bosnya.
“Heh! Sssssst! Jangan berisik! Nanti dia dengar,” ucap Agatha.
Lauren memberikan jaket untuk Agatha agar dipakai. “Mobil kita sudah di depan!” ujarnya sambil menunjuk ke arah pintu utama studio.
Agatha mengulum senyum sambil berjalan ke luar menuju tempat mobilnya.
“Ayo, Bu! Kita ada janji untuk review makanan dari toko online itu! Mereka minta file-nya besok!” omel Lauren yang mengatur jadwal untuk Agatha dan selalu memastikan agar bosnya itu tidak terlambat.
Namun, sang artis sosial media itu hanya tersenyum-senyum.
Lauren langsung membukakan pintu dan meminta Agatha untuk segera masuk.
Ketika asisten berambut panjang yang selalu diikat bak buntut kuda itu meributkan pasal jadwal mepet mereka. Agatha yang masuk mobil malah langsung meributkan pasal cermin dan cushion baru miliknya.
“Ah, akhirnya bisa lepas topeng juga! Untuk cushion ini tidak nempel di topeng! Garis bibirku harus flawless dan bagus!” ucapnya sambil melihat ke arah cermin.
Lauren mengembuskan napas dengan kesal, tapi sudah tidak ada waktu. Dia menyalakan mesin mobil dan segera bertolak dari tempat tersebut.
Agatha yang sudah terbiasa berdandan dalam mobil, tak terpengaruh dengan guncangan-guncangan yang dibuat karena Lauren sedikit ugal-ugalan.
Namun, ia mendadak histeris.
“Ren ... Boy, Ren ....” Agatha menunjukkan ponselnya ke jok depan tempat Lauren sedang mengemudi.
‘Ciiiit!’ Karena terkejut, asisten dari Agatha tersebut langsung menghentikan mobil ke tepi jalan.
“Ada apa, sih, Bu?”
“Boy ... dia benar-benar mengajak aku bertemu! Lihat dia benar-benar kirim pesan lokasi dan waktunya!” Agatha histeris lagi.
Lauren mengembuskan napas untuk sabar.
“Aku bilang apa, Ren! Suatu saat, Boy pasti akan memberi perhatian padaku!” ucap Agatha.
Namun kemudian, Lauren pun mengatakan sesuatu yang mematahkan kebahagiaan Agatha saat itu juga.
“Itu ... Pak Boy, ngajak Bu Agatha apa ngajak Lady Aga? Jangan salah paham, Bu! Pak Boy belum tahu siapa Lady Aga!”
Agatha terdiam, dia juga tahu tanpa Lauren jabarkan.
Tapi entah kenapa, kepalanya memberi pengelakan sendiri dan terus memberikan dopamin untuk melambungkan perasaannya.
Yang jelas, Agatha ingin diperhatikan oleh suaminya.
Dan kini dia mendapatkannya!
Walau harus menjadi orang lain ....