“Ren, kayaknya kita belum pernah mukbang ya di restoran papaku ini!” ujar Agatha sambil melihat ke buku menu.
“Hmmm!” Lauren mengangguk-angguk sambil serius membaca daftar makanan tersebut.
Mereka berdua berada di salah satu cabang restoran milik keluarga Joseph Liem. Setelah melakukan prosesi pemakaman, Agatha dan Lauren langsung menuju ke pusat dari sumber harta kekayaan keluarga Joseph Liem.
“Heh, Lauren, kamu lihat apa, sih?” tegur Agatha pada asistennya.
“Saya ... sedang baca menu, cari makanan!”
“Buat apa?”
“Bukannya mau pesan makanan?” tanya Lauren dengan wajah polos.
“Kita mau pulang lagi, Ren! Di sini jangan lama-lama.”
Kalau bukan super tega, bukan Agatha namanya. Mungkin jeritan cacing dalam perut Lauren masih kurang keras untuk meyakinkan Agatha kalau dia ini sedang lapar.
“Tapi, Bu ... kita tadi ... habis dari pemakaman, terus ikut proses kremasi juga. Itu ... lama, loh, Bu!” ujar Lauren secara halus. Dia tidak ingin mengatakan secara langsung kalau dirinya lapar.
Agatha malah berbalik sambil mengusap rambutnya seperti biasa. Perempuan itu mengeluarkan ponsel, lalu membuat panggilan video kepada suaminya.
‘Tuuut ... tuuut ... tuuut!’
Panggilan masih belum tersambung.
Melihat sang bos mengabaikan keinginannya, Lauren pun merasa masa bodoh dan dia langsung menuju ke area prasmanan rumah makan tersebut.
“Mamam tuh video call! Mending cari ati sapi, daripada makan ati!” umpat Lauren yang kesal pada Agatha.
“Ish, enggak diangkat! Sedang apa orang ini?” Agatha berusaha menelepon lagi untuk yang kedua kalinya.
Dia berusaha untuk sabar sambil menunggu panggilannya mendapat jawaban. Walau ia tak sadar, kalau asistennya tidak ada di tempat.
“Kira-kira ... bekal yang aku bawakan tadi, dimakan, enggak, ya, sama Boy?” Mendadak Agatha khawatir.
“Jangan-jangan ... dia malah membuangnya?” pikir Agatha menjadi kesal sendiri.
Dia kembali melihat ke arah ponsel dan ternyata Boy masih tak menjawab.
“Boy, angkat, dong! Seenggaknya kasih tahu aku, itu bekalnya dimakan apa, enggak?” gerutu Agatha sambil duduk di meja restoran tanpa memesan apa pun.
“Bu, maaf, mau makan apa?” tanya seorang pelayan pada Agatha.
Spontan perempuan tersebut langsung melihat ke arah sang pelayan.
“Makan ...? Aku ....” Agatha berniat menolak.
“Ya, Bu, mau makan apa? Mau pesan atau mau mengambil prasmanan saja?” tanya sang pelayan sekali lagi.
Tadinya Agatha mau memesan apa saja untuk formalitas, tapi tiba-tiba dia melihat ada Lauren yang berdiri di area prasmanan sedang mengambil lauk. “Apa Lauren mengambilkan makanan untukku?”
“Oh, itu, asisten saya sudah mengambil makanan. Dia ... pesan dadaa ayam kayaknya!” jawab Agatha sambil menunjuk pada Lauren.
“Oh, baiklah kalau begitu! Jika ibu butuh sesuatu, panggil saya atau pelayan yang lain, ya! Saya permisi!” ucap sang pelayan dengan ramah.
Agatha cukup terkesima oleh kesopanan pegawai di restoran milik mendiang papanya ini.
Hingga ia tak sadar, jika panggilannya sebenarnya sudah tersambung sejak tadi.
“Ah, kau ini tidak jelas! Tahu aku orang sibuk!” gerutu Boy yang kemudian langsung mengakhiri panggilan video tersebut.
“Loh, Boy! Boy! Kok dimatiin, sih? Tadi aku lagi ngobrol sama pelayan! Aduh ... bagaimana ini? Telepon lagi, lah! Boy ... angkat, dong ...!” Agatha merasakan sesal karena melewatkan momen barusan saat suaminya mengangkat telepon.
“Ada apa, Bu? Kok, wajahnya kusut begitu!” ujar Lauren sambil menyimpan piring di atas meja dan duduk berhadapan dengan Agatha.
Wajah Agatha lesu, panggilan video yang selanjutnya, langsung ditolak begitu saja oleh sang suami. “Ah, dia ini!” gerutu Agatha lagi.
“Ditolak lagi sama Pak Boy?” tanya Lauren dengan lantang. Dia sudah sering melihat momen seperti ini.
Agatha tak menjawab pertanyaan Boy, dia hanya tampak sangat kesal seperti itu.
“Bu ..., kenapa, sih? Segitunya sama Pak Boy! Kalau dia acuh, balas acuhkan saja! Jangan malah dikejar terus!” Lauren memberikan nasihat pada bosnya sendiri.
Mendengar hal tersebut, Agatha termenung.
Lauren dapat melihat wajah-wajah penuh penyesalan dari sang bos di depannya. Dia pun memberanikan diri untuk berkata lagi. “Jadi perempuan harus jual mahal! Nanti yang ada laki-laki malah ilfil kalau kita terlalu mengejar seperti itu!”
Agatha terlihat seperti sedang meresapi apa yang dikatakan oleh Lauren. Dia benar-benar diam sambil menatap ke depan, ke arah sang asisten. Seakan dia benar-benar merenungkan apa yang ia dengar.
“Padahal Bu Agatha itu cantik, seksi, pintar, apalagi sekarang Bu Agatha sudah kaya raya. Kekayaan sampai triliunan, punya restoran ratusan cabang di seluruh Indonesia, loh! Sudah enggak pantas kalau Bu Agatha mengejar laki-laki!” Kalimat yang diucapkan oleh Lauren semakin lama semakin panjang. Dia melihat tatapan Agatha yang kosong ke arahnya, membuat Lauren sanga percaya jika sekarang bos perempuannya ini sedang diliputi kesedihan dan juga penyesalan.
“Bu Agatha! Benar, kan, apa yang aku bilang?” Lauren berusaha mengonfirmasi pada Agatha.
“Bu Agatha! Hey!” Lauren melambaikan tangan di depan wajah Agatha.
“Lauren ...,” timpal Agatha sambil memanggil nama asistennya terlebih dahulu.
“Iya ...? Bu Agatha dengar saya, kan?” tanya Lauren. Ia tak mau jika sejak tadi sebenarnya bicara sendiri.
Agatha masih menatap lurus dan kosong pada Lauren. Lalu ia pun berkata, “Ren ... jadi ... kamu cuma ambil satu piring saja nasinya?”
Lauren spontan melihat pada piring makan yang ia gunakan.
“Aku kira, kau mengantre prasmanan itu untukku!” ungkap Agatha dengan polos.
Sementara itu, Lauren menelan ludah. Apa yang ia khawatirkan, memang benar terjadi.
Agatha sejak tadi sebenarnya hanya memperhatikan alas makan Lauren, alih-alih mendengar nasihat dari perempuan muda tersebut.
“Haah ... Bu Agatha!” Lauren mengembuskan napas penuh kesal. Tapi semua seakan tak ada guna. “Dasar Youtuber mukbang, isi otaknya makanan melulu! Padahal tadi dia sendiri yang bilang enggak mau makan!”
**
Setelah mengisi perut yang didahului oleh sedikit drama, Agatha dan Lauren pun berpisah karena mereka hendak menuju ke rumah masing-masing.
Dalam perjalanan, Agatha sebenarnya memikirkan apa yang dikatakan oleh Lauren tadi. "Apa aku terlalu agresif mengejar Boy?" Tapi berulang kali pula dia mencoba menepis pemikiran tersebut.
"Aku punya rencanaku sendiri kepada Boy! Ini tak boleh gagal!" gumam Agatha lagi.
Hingga akhirnya ia sadar, jika hari sudah semakin larut dan Agatha berlari menuju ke rumah tempat tinggal dirinya bersama Boy. Seharusnya, Boy belum pulang jika melihat dari jam saat itu.
“Besok kita bersiap, ya!” tutur Agatha memperingatkan sang asisten.
“Ya, Bu! Tenang saja! Saya selalu lebih pagi,” timpal perempuan yang mengenakan celana jeans dan baju ketat berbahan rajut warna coklat tua.
Agatha pun masuk rumahnya lebih dulu. Yang jelas jangan sampai Boy tahu pasal tentang Lauren dan juga pekerjaannya yang menjadi pemengaruh sosial media.
Perempuan itu berjalan jinjit sedikit seperti sedang mengendap sambil mengangkat kedua sepatunya. Sampai akhirnya, Agatha berjingkat karena suara dari seseorang yang menanyakan sesuatu.
“Dari mana kamu .... Hah ...?”