BAB 1; Sangkar.
Alice merapatkan punggungnya pada ujung ranjang. Maniknya liar menatap pintu berukuruan besar yang tertutup rapat, sedang menunggu seseorang yang akan muncul dari balik sana. Tubuhnya menegang penuh antisipasi dengan jemari yang mencengkeram ujung seprai erat, berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan diri.
Alice tidak tahu di mana dirinya sekarang berada? Padahal, beberapa jam yang lalu dia masih bercengkerama dengan teman satu fakultasnya di kantin kampus. Tapi sekarang, dia sudah berada di tempat asing. Tempat yang bahkan muncul dibayangan terliarnya sekali pun tidak pernah.
Tempat ini didominasi dengan tembok menjulang bercat putih, tanpa ornamen atau lukisan dinding yang menggantung. Gorden di sisi kanan ranjang itu tertutup rapat, berwarna hitam laksana kegelapan. Kontras sekali dengan seluruh dinding dan almari besar disudut yang berwarna putih bersih.
Alice menggigit bibir bawahnya gelisah, jemarinya bergetar dengan suhu sedingin es. Dirinya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kenapa ia bisa sampai di tempat ini?
Suara derikan pintu membuatnya terkesiap, tanpa sadar semakin merapatkan tubuh ke ujung ranjang. Degupan jantungnya semakin meliar seiring dengan pintu yang mulai terbuka perlahan. Detik berlalu seperti bom waktu. Maniknya menatap awas, bersiap memekik jika saja seseorang yang datang itu membawa senjata tajam atau hendak melukainya.
Tapi, tidak. Yang ia lihat adalah kaki terbungkus celana piama hitam. Semakin ke atas, sebuah d**a bidang dengan balutan kain yang sama. Dan, ketika mata bulat Alice sampai pada wajah itu, ia menahan napas.
Bagaimana bisa ada sosok manusia se-tampan itu? Bahkan, Alice tidak pernah membayangkan akan bertemu jenis laki-laki yang sejatinya hanya bisa ia temui di layar kaca atau cover depan sebuah majalah. Alice tahu benar jika sosok yang kini berjalan tegap ke arahnya ini bukanlah aktor atau pun model karena wajahnya terlalu asing. Dan, pertanyaannya adalah... siapa?
Alice berkedip ketika laki-laki asing itu telah berdiri menjulang di samping rajang. Samar, Alice bisa menghindu aroma lemon segar bodywash dan pinus. Ia langsung merapat ke sisi berlawanan ketika pria itu menunduk.
Alice menelan ludah. Tiba-tiba saja, segala makian atau pun kata-kata penghakiman yang sudah ia susun di kepalanya buyar. Tenggorokannya terasa kering kerontang, otaknya beku. Apalagi, sepasang kelereng tajam itu masih menghunus tanpa penghalang. Pria asing ini terasa mendominasi, tinggi menjulang dengan aura dingin yang melingkupi seluruh tubuhnya.
Dan, Alice nyaris terjungkal ke sisi kiri ranjang saat pria itu mengulurkan tangan. Jantungnya berdentum-dentum. Ditatapnya segelas air putih yang tangan kekar itu sodorkan. Alice kembali menelan ludah susah payah. Kenapa ia ketakutan setengah mati? Seolah pria di depannya ini seorang dewa pencabut nyawa saja.
"Minum," kata laki-laki itu, tegas, dengan suara berat dan aksen latin nan kental.
Alice membasahi bibir bawahnya, mencoba mengeluarkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk berujar, tapi yang keluar hanya suara terbata dengan nada kerontang. "An... Anda... siapa? Kenapa saya bisa ada di sini?"
Pria itu tetap mengulurkan tangan. Maniknya mengunci kedua bola mata Alice tajam. Dia kembali berujar, kali ini terselip nada arogansi dan perintah mutlak. "Minumlah dulu."
Lagi-lagi Alice menelan ludah. Pelan,meski dengan tangan nyaris bergetar, ia tetap mengambil segelas air putih yang pria itu sodorkan. Kata-katanya terdengar seperti titah Sang Raja. Dan entah kenapa Alice tidak bisa menolak meski ia ingin. Alice mencoba menghilangkan pikiran buruk tentang kemungkinan jika air itu diracuni atau dia punya niat buruk setelah ini. Dari seteguk, hingga beberapa detik kemudian air dalam gelas itu tandas. Alice baru sadar jika dirinya benar-benar kehausan.
Pria asing itu kembali mengambil gelasnya dan menaruh benda bening itu ke atas nakas. Duduk di sisi ranjang, kini maniknya menyorot hangat.
"Jangan takut..." ujarnya, dengan nada nyaris berbisik. Alice sendiri merasa bulu kuduknya meremang. Bagaimana bisa dirinya tidak takut pada pria asing yang tidak ia kenal? Apalagi dengan dirinya yang kini bak seorang sandera? Siapa yang bisa menjamin tentang hal apa yang akan pria itu lakukan padanya?
Alice mengeratkan pegangannya pada ujung seprai. Membasahi bibir, ia mencoba untuk mengeluarkan suara, meski dengan nada sedikit bergetar. "Saya tidak mengenal Anda, Tuan. Bisakah saya pergi dari sini? Saya ingin pulang."
"Tidak!" pria itu menjawab kelewat cepat. Rahangnya mengeras, bibirnya membentuk garis lurus. Alice menegang melihat perubahan ekspresi itu.
Sebenarnya~ makhluk semacam apa yang berada di hadapannya kini?
"Anda tidak berhak mengatur saya!" entah keberanian dari mana, tapi suara itu berhasil lolos dari bibirnya. Jiwa pemberontak yang sedari tadi terkurung ketakutan kini perlahan muncul ke permukaan.
"Tentu saja aku berhak. Kamu adalah milikku, sejak dulu, Alice. Dan sekarang aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hakku."
Alice terkesiap saat pria itu merangkak perlahan, nyaris seperti macan kumbang yang hendak menerkam buruan. Kelerang pekat Alice langsung bergulir panik, mencari setitik celah untuk menyelamatkan diri. Tidak kehabisan cara, Alice melemparkan bantal untuk mengalau pria itu mendekat. Dan, dengan sisa tenaga yang dirinya miliki, ia melompat menuruni ranjang. Nyaris terhuyung saat kakinya tidak mampu menahan keseimbangan.
Alice tahu, di tempat ini, nyaris tidak ada celah untuk bisa kabur. Harapan satu-satunya yang bisa ia jangkau adalah pintu bercat pucat yang kini masih terpasang kunci. Entah pria itu memang sengaja tidak mengambilnya atau apa, Alice tidak tahu. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana cara keluar dari pintu itu secepat mungkin.
Tangan Alice hampir meraih ujung knop itu. Tapi, tarikan kuat di pinggangnya membuat ia menjerit panik. Alice berontak sekuat tenaga, tangan-tangan mungilnya memukul apapun yang bisa ia raih. Tapi, hal itu hanya berlangsung beberapa menit karena kini, energinya terkuras habis. Lengan-lengan besar itu langsung membopongnya dalam satu sentakan. Alice meringis pasrah. Yang ia tahu saat ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Menyentuh kasur, Alice hanya diam ketika pria asing itu menaikkan selimut. Napasnya terengah-engah. Percuma saja jika Alice ingin melarikan diri sekarang. Dia harus menyusun strategi, pelan-pelan agar dirinya bisa keluar dari tempat ini tanpa takut ketahuan.
Alice bisa merasakan jika kini, seluruh tubuhnya mendadak lemah. Ia nyaris memejamkan mata saat suara berat beraksen latin itu berbisik lirih di telingnya,
"Namaku adalah Levin. Mikhail Levin. Ingat itu baik-baik dalam kepalamu. Dan kau, sebentar lagi akan menjadi calon ibu dari anak-anakku."
***