Perasaan tabu

1064 Kata
Amara pamit keluar pagi-pagi buta. Ia berencana menemui temannya di Tebet, untuk mencarikan pekerjaan sementara. Pram sempat berusaha melarang, tapi gadis itu tetap pada pendiriannya. Gawat juga kalau ia tetap di sana. Ny Rose bisa sewaktu-waktu datang dan memergokinya. "Pakai ponsel ini, Pastikan tetap menyala atau aku akan mencarimu," kata Pram menyodorkan sebuah handpone mahal pada Amara. Aneh, bukan? Kalau Amara jadi Pram, ia tidak akan memberi ijn keluar , terlebih membawa barang. Bagaimana kalau Amara kabur? "Jangan coba-coba pergi dariku. Kalau itu terjadi, ayahmu akan kulaporkan pada polisi. Kita masih punya sangkutan hutang, ingat itu." Pram menatap Amara serius. Lebih tepatnya itu adalah bentuk kekhawatiran sesama manusia. Bukan ancaman seorang rentenir. "Ba-baiklah. Aku akan menghubungimu setelah urusanku selesai. Lagipula Om juga buru-buru, kan? Aku bsa naik bus dari halte nanti." Amara menurunkan suaranya segan. "Ini, pakai dengan baik. Jangan menyusahkan temanmu karena tidak bawa uang. Oh ya, itu nanti kutambahkan di tagihanmu." Amara menatap kecut pada lembaran uang ratusan ribu di atas meja. Total ada lima lembar. Jangankan bus eksekutif, Amara bisa naik taksi ke Tebet. Sebenarnya ia memang murah hati atau bego? Batin Amara cepat-cepat mengantongi uang itu ke dalam saku jeansnya. Selang satu jam setelah diturunkan di halte terdekat, Amara termenung lama di bangku tunggu. Ia sesekali menatap ponsel yang dipinjamkan Pram padanya tadi. Kalau dijual kira-kira laku berapa? Sepuluh juta? Atau kurang dari itu? Gumam Amara mencoba mengusir pikiran jahatnya jauh-jauh. Pram terlalu baik dan ia tidak mau kehilangan tempatnya bergantung. Sebisa mungkin, Amara ingin tetap bertahan di dekat Pram, meski menjadi pembantu sekalipun. --- Rumah kontrakan milik Lita, teman kerja Amara di Tebet, nampak sepi. Tidak ada sepeda motor yang biasanya terparkir di depan teras. Situasinya cukup aneh mengingat mereka sempat berkirim pesan. "Lit, kamu di mana? Aku udah nyampe, nih," kata Amara lewat sambungan telepon. Ia memilih berdiri agak jauh dari gang. Lingkungan itu terlalu sepi karena sebagian rumah rencananya akan secepatnya digusur. Hanya Lita dan tiga orang lain yang bertahan. "Aku di sini! Di belakang kamu!" pekik Lita melambaikan tangannya dari kejauhan. Amara menoleh kemudian mendekat sembari mematikan sambungan telepone itu kesal. Alih-alih menanyakan kabar, Lita justru tertarik dengan ponsel yang dipakai Amara. Tapi meski begitu, gadis itu tidak mengatakan apapun selain menawari Amara makan bakso di pinggir jalan. "Aku dengar kamu dapat sugar daddy," kata Lita mengaduk kuah baksonya pelan. Ia agak jengkel sebenarnya karena Amara pernah menolak bekerja di bar. Sekarang ia sendiri malah memiliki sugar daddy. Munafik, bukan? Batin Lita diam-diam muak pada temannya itu. "Dia bukan sugar daddy atau om-om m***m. Aku hanya sedang beruntung karena dibantu,"gumam Amara tersenyum kecut. Hidupnya sekarang lebih menyedihkan dari cabe-cabean. Ia merasa dikekang seprti anak kecil, itupun oleh orang asing. "Lalu ada apa menemuiku? Keadaanku sedang sulit, jadi tidak bisa membantumu," kata Lita mencoba untuk berterus terang. Sepeninggalan Amara dari rumah makan,Lita ikut-ikutan keluar. "Tenang saja, aku ke sini bukan untuk pinjam uang, kok. Cuma siapa tahu kamu punya infomasi lowongan kerja." "Mana ada? Aku saja balik ke bar. Tahu sendiri, kan? Uang lebih cepat didapat dari sana. Memangnya kamu mau?" Lita tersenyum sinis, menatap kuah bakso di mangkoknya malas. Gara-gara itu juga, Lita tidak tinggal dengan orang tuanya lagi. Karakternya memang sudah tercemar dengan pergaulan malam. "Lupakan. Kamu tahu sendiri kalau aku tidak terbiasa dengan hal seperti itu." Amara menyela lalu mulai menyantap baksonya hingga tandas. Kalau bertemu Lita tidak membuahkan hasil, Amara berencana menghubungi temannya yang lain. "Tentang sugar daddymu, bisa nggak kalau kenalkan juga padaku?" Amara langsung mendengkus, tak suka. "Aku kan sudah bilang tadi, dia bukan orang seperti itu." "Omong kosong. Pasti dia hanya tidak suka padamu." Lita yakin kalau semua pria pasti ilfil melihat tampilan kucel Amara. Jadi wajar kalau gadis itu tidak disentuh sama sekali. Pokoknya berbeda jauh dengannya yang banyak mengeluarkan uang untuk perawatan kulit. Daripada sakit hati, Amara merasa kecewa dengan sahabatnya itu. Mereka pernah melalui banyak masa sulit bersama. Tapi keadaan rupanya merubah segala hal. Sia-sia mereka bertemu untuk bicara hal seperti itu. "Lit, aku cabut, ya? Mau coba keliling, siapa tahu dapat kerjaan," pamit Amara tiba-tiba berdiri, berniat membayar baksonya. Di saat yang sama, Lita kembali melirik ponsel yang berada di saku celana Amara.Pasti dalam tiga gerakan saja, benda itu bisa dirampas dengan mudah. Tapi bukan Amara namanya kalau sampai kecolongan. Ia tahu kalau ponsel Pram tengah diincar. Jadi di saat Lita bersiap menjulurkan tangan, Amara lebih dulu mencengkeram lengan gadis itu. Teriakan kencang Lita langsung menarik perhatian semua orang. Terlebih di pusat keramaian seperti itu, keributan kecil saja bisa mendorong orang lain untuk ikut campur. "Ada apa Mbak? Dia pelakor ya?" tanya seorang ibu yang sedang makan dengan teman-temannya. Suaranya terdengar antusias, mungkin tipe-tipe penggosip. Amara langsung menggeleng, memberi isyarat agar Lita cepat-cepat berdiri dan bicara di tempat lain. Tapi bukannya bersyukur karena Amara tidak memperpanjang masalah, Lita malah berbalik menyerang. "Dia mengambil ponselku. Kembalikan! Kembalikan ponselku!" teriak Lita kencang. Amara melotot tak percaya, posisinya seketika langsung terpojok. Dilihat sekilas saja, penampilan Lita lebih meyakinkan. Seorang bapak-bapak bahkan ikut maju, menengahi keadaan itu. Situasi akan berakhir gawat kalau mereka tidak segera dipisah. Terlebih untuk Amara yang mungkin saja jadi bulan-bulanan orang. "Ayo ikut ke kantor polisi. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari sini." Seorang bapak bertubuh tinggi mengapit lengan Lita juga Amara keluar dari warung bakso itu. Keduanya tidak menyangka, pertemuan yang seharusnya menyenangkan, terpaksa berakhir buruk di kantor polisi. Tapi segalanya sudah terlanjur. Amara hanya takut situasi itu akan melibatkan Pram dalam masalah tidak penting. "Kalau ponsel ini bukan milik kalian, lalu punya siapa?" tanya bapak yang menyeret mereka. Ia ternyata seorang polisi dan langsung bertindak untuk menginterogasi. Teman polisi lain ikut mendekat, menatap Lita dan Amara penuh kecurigaan, "Seseorang meminjamkannya padaku." Amara menunduk, tidak percaya diri. "Omong kosong." Lita mendengkus tak terima. "Lit, apa aku punya salah sama kamu?" Akhirnya kesabaran Amara habis juga. Ia bingung karena selama ini, mereka tidak pernah terlibat masalah. "Pake ngeles lagi. Mana ada teman yang mau minjemin ponsel seharga puluhan juta? Nyolong dia Pak!" Lita menunjuk wajah terkejut Amara sambil cengengesan. "Lalu kenapa tadi kamu malah mengaku ini ponselmu?" tanya polisi itu telak. Lita dan Amara berakhir bungkam, sama-sama kebingungan. "Sudah. Biar nanti pemiliknya saja yang bicara. Dia sudah dihubungi dan menuju kemari." Mata Amara membola, berharap kalau itu hanya gertakan si polisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN