Bagi Shadira, telepon umum merupakan suatu benda yang asing. Selain karena sebelumnya ia tidak pernah terpikir untuk menggunakannya, ia juga tidak pernah butuh karena sudah mempunyai alat komunikasi sendiri berupa ponsel yang dapat digunakan kapan pun dia mau. Kalau pun ponselnya sedang tidak ada pulsa, ia hanya perlu pulang ke rumah dan menggunakan telepon rumah yang selalu stand by dua puluh empat jam di sana.
Namun, ada pengecualian untuk hari ini. Dengan sangat terpaksa Shadira harus menggunakan telepon umum, akibat ponselnya yang disita oleh Rean. Jika ingin pulang ke rumah untuk menggunakan telepon rumah, itu hanya akan buang-buang waktu karena dari sekolah menuju rumah jaraknya tidaklah dekat. Maka dari itu, telepon umum yang berada di pinggir jalan dekat sekolah menjadi pilihan Shadira untuk menghubungi seseorang yang sedang dibutuhkannya saat ini.
Untuk yang pertama kalinya seumur hidup, Shadira memasukkan sejumlah uang receh ke dalam lubang uang di telepon. Kemudian, ia menekan sederet nomor telepon yang telah dihafalnya luar kepala. Ia tempelkan gagang telepon berwarna hitam itu ke telinga, menunggu panggilannya disambut oleh orang yang ada di seberang sana.
Pada deringan kelima, panggilannya diterima. Suara berat khas laki-laki langsung terdengar olehnya.
"Ta, ini gue Shadira," kata Shadira tanpa berucap halo sebelumnya.
"Oh, Dira. Kenapa? Telepon pake nomor siapa?"
Shadira mendengus pelan mendapati pertanyaan tersebut. Mengingatkan Shadira akan nasib ponselnya yang sekarang ada di tangan orang lain.
"Pake telepon umum. Udah, jangan banyak tanya dulu, Ta, entar duit di teleponnya abis," ujar Shadira dalam satu tarikan nafas. "Lo sekarang ada di markas?"
"Iya, baru aja pulang sekolah. Kenapa?"
"Bagus deh. Gue mau ke sana, perlu bantuan lo."
Terdengar suara tawa di seberang sana. "Tumben. Bantuan apa?"
"Entar aja gue ceritain di sana," jawab Shadira. "Tunggu gue aja."
"Lo sekarang di mana? Mau gue jemput nggak?"
"Masih di deket sekolah. Nggak usah, gampang gue mah."
"Oke."
Setelah mendapat jawaban itu, Shadira segera mengakhiri panggilan, mengembalikan gagang telepon ke tempatnya semula. Dihelanya nafas pelan sebelum keluar dari dalam bilik telepon umum tersebut.
Keadaan jalanan di hadapannya sekarang terbilang tidak terlalu ramai. Arus macet karena pulang sekolah sudah berlalu, menyisakan jalanan yang lancar dilalui oleh berbagai macam kendaraan.
Shadira menyelipkan sejumput rambut ungunya yang tergerai ke belakang telinga. Ditariknya kedua tali tas ranselnya sambil berjalan menuju ujung jalan, tempat di mana ia bisa mendapatkan angkutan umum. Tujuannya sekarang adalah markas yang disebutkannya kepada lawan bicaranya di telepon tadi. Dan untuk mencapai tempat itu, Shadira perlu naik satu angkutan umum dari sekolah.
Shadira menggerutu pelan di sepanjang perjalanan singkatnya menuju ujung jalan. Ia merutuki dirinya yang sudah sangat mengantuk namun tidak bisa langsung pulang ke rumah karena harus menepati ucapannya tadi pagi guna memperbaiki ponsel milik Rean sepulang sekolah.
Yang dihubungi Shadira lewat telepon umum tadi pun merupakan temannya yang mempunyai banyak kenalan. Shadira yakin, temannya itu dapat membantunya untuk mencari orang yang bisa memperbaiki ponsel Rean dengan cepat dan murah. Semakin cepat ponsel Rean benar, semakin cepat pula ponsel Shadira kembali, dan semakin cepat pula urusan mereka selesai.
Berurusan dengan Rean benar-benar membuat Shadira pusing. Laki-laki itu sangatlah menyebalkan. Bahkan mengingat wajahnya tanpa sengaja saja berhasil membuat Shadira menghentakkan kaki. Kejadian tadi pagi kembali terlintas di benaknya, kembali mengingatkan Shadira betapa menyebalkan dan brengseknya sosok Rean. Untung saja sikap brengseknya hanya bertahan di pagi itu saja. Karena di jam-jam pelajaran berikutnya yang mereka habiskan duduk bersebelahan, mereka saling mengabaikan, dan itu jauh lebih baik.
Ah, tapi tetap saja. Walaupun mereka saling mengabaikan, kehadiran Rean tetap membuat Shadira jengah, dan menimbulkan niat untuk bolos kelas. Mungkin nanti, di lain hari, niat itu akan terealisasikan.
"Ojek, Neng?"
Shadira sedikit tersentak ketika seorang tukang ojek tiba-tiba mampir di hadapannya dan menawarkan jasa. Awalnya Shadira ingin mengiyakan tawaran tersebut karena angkutan umum yang ditunggu tak kunjung datang.
Namun, melihat perawakan tukang ojek itu yang terlihat menyeramkan seperti preman, Shadira pun mengurungkan niat dan menggelengkan kepala. Ia teringat pesan mamanya yang senantiasa menyuruhnya untuk berhati-hati dalam menerima tawaran dari orang asing.
"Enggak, Pak. Saya nunggu angkot," ujar Shadira sembari tersenyum tipis pada tukang ojek tersebut.
Mendapati tolakan itu, bukannya segera pergi, tukang ojek itu malah menstandarkan motornya. "Udah, naik ojek aja, Neng. Lama kalo nunggu angkot," bujuknya.
Shadira kembali menggeleng. "Enggak, Pak."
Setelah mengatakan itu, ia berjalan beberapa langkah menjauh. Tetapi, tukang ojek itu belum beranjak dari tempatnya. Shadira bahkan bisa merasakan kalau tukang ojek tadi sedang memerhatikannya. Dan tentu saja hal itu membuatnya risih.
Shadira mengeluarkan ponsel Rean yang ada di saku seragamnya dan berpura-pura menyibukkan diri memainkan ponsel, meskipun ia masih seratus persen menyadari kalau ponsel tersebut rusak dan mati total.
Sepuluh menit berlalu.
Tukang ojek itu masih diam di tempatnya, begitu pula dengan Shadira. Dalam hati Shadira mulai berharap angkutan umumnya segera datang. Bukannya ingin berprasangka buruk kepada tukang ojek itu atau apa, hanya saja, perasaannya jadi tidak enak karena kehadiran sang tukang ojek. Terlebih, trotoar tempatnya sekarang cukup sepi, tidak ada lagi siswa dari sekolahnya yang lewat, karena memang jam pulang sekolah sudah berlalu sekitar satu jam yang lalu.
Shadira kembali merutuk dalam hati sambil memerhatikan layar ponsel Rean yang retak-retak akibat ulahnya sendiri.
Saat Shadira sibuk dengan pikirannya, ia jadi tidak menyadari kalau tukang ojek tadi sudah menyalakan motornya kembali dan siap melaju pergi. Sayangnya, Shadira baru sadar begitu tukang ojek tersebut mengendarai motor melewatinya dengan cepat, bersamaan dengan ponsel Rean di genggamannya yang dirampas dalam hitungan detik.
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti dan Shadira mematung di tempat dengan satu tangan kosong yang terangkat. Kemudian sesaat setelahnya, ia tersadar. Ditatapnya motor tukang ojek perampas ponsel Rean yang telah melaju cukup jauh dari tempatnya berdiri.
Menyadari apa yang telah terjadi, sepasang mata Shadira langsung melotot lebar dan ia menjerit histeris.
"JAMBRET!!!"
***
Telah merusak ponsel milik Rean tanpa sengaja, itu merupakan sebuah masalah. Menghilangkan ponsel Rean juga tanpa sengaja, itu namanya bencana.
Shadira langsung terduduk lemas begitu ia sampai di depan tempat tujuan awalnya, sebuah ruko tiga lantai. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan sebuah keajaiban baginya bisa sampai ke tempat ini setelah shock berat dengan apa yang telah terjadi kepadanya berpuluh-puluh menit yang lalu.
"Mati gue," gumam Shadira pada diri sendiri, persis seperti orang gila. Ditambah dirinya yang mengacak-acak rambut dengan frustasi semakin mendukung penampilannya untuk terlihat seperti orang gila. Untung saja Shadira masih mengenakan seragam hingga hal itu bisa menjadi bukti fisik kalau Shadira tidak gila.
Belum. Mungkin sebentar lagi. Untuk sekarang, Shadira masih bisa dianggap sebagai seorang siswa SMA yang sedang stress.
"Lah, Mbak Dira! Ngapain duduk-duduk di lantai?"
Shadira segera mendongak begitu seseorang yang ia kenal datang menghampirinya.
"Mamat," lirih Shadira, menyebut nama panggilan laki-laki berwajah Jawa yang sekarang berjongkok di hadapannya sambil menatap bingung.
"Kamu kenapa, Mbak?" Tanya laki-laki bernama Mamat itu dengan logat bicaranya yang khas. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Sakit?"
Shadira menggeleng pelan. Ekspresinya benar-benar seperti orang ling-lung, membuat Mamat langsung kasihan. Laki-laki yang mengenakan celana jins robek-robek itu pun segera mengajak Shadira untuk berdiri.
"Masuk dulu Mbak, kayaknya Mbak'e butuh Mas Bos," ujar Mamat sembari menuntun Shadira masuk ke dalam ruko yang sebenarnya merupakan warnet sekaligus rental PS.
Suasana warnet yang hiruk pikuk karena sedang ramai-ramainya tidak dirasakan oleh Shadira sama sekali. Pikirannya terlalu kalut untuk sekadar menyadari segerombolan anak yang masih mengenakan seragam sekolah sedang berteriak-teriak satu sama lain karena sibuk dengan apapun itu permainan yang dimainkan oleh mereka.
Shadira yang juga biasanya tidak suka berdekatan dengan Mamat karena bau badan laki-laki itu yang tidak enak pun kali ini diam saja ketika Mamat merangkulnya, hingga Mamat terheran-heran dan dalam hati meyakini kalau cewek kesayangan bosnya ini benar-benar sedang kesambet. Paling tidak, kesenggol jin atau setan yang tidak sengaja lewat.
Mamat membawa Shadira naik ke lantai dua, tempat di mana rental PS berada. Dan di lantai itu pula, terdapat sebuah ruangan yang disekat terpisah dari ruangan rental PS.
Tiga kali Mamat mengetuk pintu ruangan itu sebelum membukanya. Begitu pintu terbuka dan keduanya masuk ke dalam ruangan bernuansa hitam putih itu, seorang laki-laki yang setahun lebih tua dari Shadira langsung mendongak. Rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya langsung ia padamkan begitu Shadira melangkah memasuki ruangan.
"Eh, Dir. Akhirnya lo sampe juga," ujar laki-laki itu riang kepada Shadira yang masih kacau. Laki-laki tersebut belum menyadari kekacauan Shadira.
Mamat pun mendudukkan Shadira di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Saya tinggal dulu ya, Bos," katanya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Shadira bersama laki-laki yang dipanggilnya bos.
Laki-laki itu pun beranjak meninggalkan meja kerjanya, berpindah untuk duduk di atas sofa di sebelah Shadira. Ia tersenyum lebar kepada perempuan yang sekarang berada di sebelahnya.
"Jadi, lo butuh bantuan apa?"
Tanpa disangka, ketika Shadira menatapnya, sepasang mata perempuan itu sudah berkaca-kaca, siap untuk meledakkan luapan air mata yang hanya butuh sedikit pemicu untuk pecah.
"Dira, lo kenapa?" Laki-laki itu bertanya cemas.
Dan pertanyaan itu sudah cukup untuk menjadi pemicunya. "Genta," rengek Shadira, menyebut nama laki-laki tersebut sebelum banjir air mata.
***
Butuh waktu dua puluh menit, dua mangkuk mie rebus, dan segelas besar es teh manis untuk membuat tangisan Shadira reda dan jiwa perempuan itu kembali tenang.
Selama itu pula, Genta hanya menunggu dengan sabar. Menepuk-nepuk punggung Shadira ketika perempuan itu tersedu-sedu, memanggilkan Mamat supaya memasakkan mie rebus untuk Shadira, dan memerhatikan perempuan itu makan dengan tenang. Semua itu dilakukan Genta tanpa mengatakan apapun. Ia sudah cukup mengenal Shadira untuk paham kalau perempuan itu tidak perlu kata-kata untuk menenangkannya ketika sedang menangis seperti tadi.
"Jadi, lo kenapa?" Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan Genta kepada Shadira, tepat setelah Shadira meletakkan gelas es tehnya ke atas meja.
Shadira menepuk-nepuk perutnya yang kekenyangan, lalu bersendawa kecil sebelum beralih menatap Genta. "Gue abis dijambret."
Spontan kedua mata Genta membelalak kaget mendengar penuturan Shadira. Laki-laki yang rambutnya berjambul itu mengerjap beberapa kali sebelum kedua tangannya ia tangkupkan di kedua pipi Shadira. Perasaan panik langsung menyergapnya dan ia segera memeriksa keadaan fisik Shadira dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Lo nggak apa-apa kan?" Suara Genta sudah berubah panik, like benar-benar panik.
Shadira berdecak sebal. Ia memundurkan kepalanya ke belakang agar terbebas dari kedua tangan Genta. Disusutnya ingus yang tersisa sebelum menjawab. "I'm physically fine. Tapi nasib gue, not fine at all. Yang dijambret bukan barang gue tapi hape orang."
Genta melipat kedua kakinya hingga ia sekarang duduk bersila di atas sofa. Ditatapnya Shadira dengan kedua alis yang bertautan. "Coba ceritain kronologisnya."
Dan sesuai permintaan Genta, cerita pun langsung mengalir lancar dari bibir Shadira. Ia menceritakan semuanya kepada Genta, mulai dari latar belakang pertemuannya dengan Rean yang menyebabkannya merusak ponsel laki-laki itu hingga bagaimana ponselnya bisa dijambret oleh tukang ojek tadi. Ia juga menceritakan alasan awalnya datang kemari.
Menceritakan itu semua nyaris membuat Shadira menangis lagi. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana caranya mengganti ponsel Rean yang terakhir diketahui Shadira harganya lebih dari sepuluh juta rupiah.
"Gimana dong, Ta? Hape dia hape mahal, mahal banget malah," ujar Shadira lesu. "Gue mana punya duit buat beli hape harga segitu. Kalo gue minta ke ortu, bisa-bisa gue dibuang ke kolong jembatan."
Genta ingin tertawa geli mendengar statement tentang kolong jembatan, namun ia juga prihatin dengan Shadira hingga menghilangkan niatnya untuk tertawa.
"Yaudah, lo jujur aja ke dia kalo hapenya dijambret. Mungkin dia bisa ngerti dan ngasih lo keringanan?" Saran Genta.
"Hah, mimpi aja gue mau dikasih keringanan sama cowok b******k itu," keluh Shadira sambil menjambak rambutnya sendiri. "Mustahil, Ta! Yang ada gue malah dimarahin sama dia dan hape gue nggak akan dibalikin."
"Huh, pantes semalem gue teleponin nggak aktif-aktif," gumam Genta, out of topic. Namun, Shadira tidak menggubrisnya.
"Gue harus gimana, Ta? Harus gimana? Harus gimana? Mau nangis lagi tau nggak," kata Shadira histeris.
Genta nampak berpikir sebentar. Ia mengetukkan jari telunjuknya di dagu, sementara arah pandangannya tertuju pada jaket kulit warna hitam yang tergantung di belakang pintu ruangan. Saat ia kembali melirik Shadira, perempuan itu sudah meringkuk di ujung sofa.
"Ikut gue, Dir," ujar Genta ketika ia bangkit dari duduknya.
Shadira kembali menegakkan tubuh dan menatap Genta dengan kening berkerut. "Ikut ke mana?"
"Kita beli hape baru, buat gantiin hape yang dijambret itu. Pake duit gue."
Mendengar pernyataan santai yang keluar dari mulut Genta, Shadira tersedak air ludahnya sendiri dan jadi batuk-batuk. Ia menatap Genta dengan tatapan horror, seolah-olah laki-laki yang telah dikenalnya lama itu merupakan seonggok makhluk asing yang datang dari dimensi lain.
"Lo gila ya?"
"Enggak, gue serius," jawab Genta. Ekspresinya benar-benar menunjukkan kalau dia tidak bercanda. "Gue mau bantuin lo, Dira."
"Nggak gitu juga kali, Ta. Masa iya lo mau ngeluarin duit sepuluh juta gitu aja demi gue? Mabu ya lo?"
Genta malah menggaruk tengkuknya karena merasa bingung. Dia kan niat membantu karena memang Shadira butuh bantuan. Kenapa dirinya jadi dimarahi?
"Udah, duduk lagi," perintah Shadira galak.
Genta pun segera menurut dan kembali duduk di tempatnya tadi, di sebelah Shadira.
"Gue datengin lo bukan buat minta bantuan yang kayak gini, Ta," keluh Shadira.
"Ya, sori. Gue cuma nggak mau aja urusan lo sama cowok itu tambah panjang."
Shadira menghela nafas panjang. Sungguh, itu adalah hal yang benar-benar diinginkan Shadira, segera menyelesaikan urusannya dengan Rean dan ponselnya. Jika ponsel itu tadi tidak dijambret, mungkin sekarang ponsel itu sedang dalam proses perbaikan.
Sayang, takdir berkata lain, harapan tadi akan tetap bertahan menjadi sebuah ungkapan seandainya.
Niat hati ingin cepat menyelesaikan masalah, kenyataan malah memberinya sebuah masalah baru yang akan semakin memperpanjang buntut masalah sebelumnya.
Shadira pusing tujuh keliling, tahu kalau permasalahannya dengan Rean tidak akan selesai dalam waktu dekat. Dihelanya nafas panjang dan ia sandarkan kepalanya di atas bahu Genta yang memang sudah sering menjadi tempatnya bersandar.
"Bantuin gue mikir, Ta."
Genta ikut menghela nafas dalam, ikut berpusing ria bersama Shadira. Ditepuk-tepuknya kepala Shadira yang dihiasi rambut berwarna ungu, yang sebenarnya baru dilihat oleh Genta namun belum sempat ia bahas.
"Iya, Dir. Ini gue lagi mikir."