Bab 4

1980 Kata
[Selasa, 03 Oktober,  Pukul 08.00,  Perumahan Gerilya-Kota B]   Okta Askan, kekasih Alcina yang telah berpangkat Letnan Dua di usianya yang masih 24 tahun itu, betah berdiri di ambang pintu rumah Alina. Dia masih menatap kekasihnya yang cantik, mungkin ingin memuaskan pandangannya. Siapa tahu ini terakhir kali dia melihat gadis itu. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaannya nanti di medan konflik. Dia tahu, sebagai seorang tentara, berteman dengan kematian adalah hal lumrah. Mungkin pada panggilan tugas ini malaikat maut akan membawanya. "Berhentilah menatapku." Alcina memukul pelan d**a bidang sang Letda. "Apa kau bisa malu juga? Ahh ... aku hampir lupa kau juga seorang wanita." Okta mendekatkan kepalanya ke telinga Alcina saat mengucapkan kalimat terakhir. "Sepertinya kau merindukan kakiku di tulang kering mu." Matanya kembali menyipit, tapi kali ini ada seringai nakal di sana. Okta langsung mengangkat kedua tangannya ke atas dan mundur selangkah dari hadapan Alcina, sambil tertawa kecil. "Aku hanya khawatir. Bagaimana jika pembunuh itu berkeliaran di sekitar sini dan membuatmu...." Alcina menempelkan telunjuknya di bibir Okta, menghentikan kalimat yang akan meluncur. "Aku akan baik-baik saja. Haris akan menyewa di rumah depan dan enam anak buahmu akan menyewa di kanan dan kiri rumah ini. Alarm darurat sudah terpasang di beberapa tempat, begitu pun CCTV yang terpasang di sudut rumah. Haris dan rekannya akan selalu mengawasiku. Apa lagi yang kau khawatirkan?" Okta meraih jemari Alcina dan mengelus punggung tangan gadis itu berulang kali, seolah tidak ingin meninggalkannya atau beranjak satu langkah pun darinya. "Aku selalu khawatir jika tidak di sampingmu. Berjanjilah kau akan selalu mengabariku apa pun yang terjadi?" Okta menunjukkan mata sendu, layaknya seorang anak kecil yang minta dibelikan mainan baru. "Hahaha... kau terdengar seperti Kakek. Bagaimana aku bisa mengabari jika kau berada di daerah konflik, Tuan Letda?" "Pokoknya kabari saja. Saat ada waktu senggang, ah tidak, saat apa pun pasti akan k****a pesanmu, juga akan kuangkat telepon darimu." "Baiklah, baiklah, Tuan Letda Okta yang tercinta, sekarang saatnya pergi, atau Jendral besar akan mengirimmu lebih jauh dariku." Okta menghela napas kemudian memeluk Alcina sebelum benar-benar menghilang dengan mobilnya. *** [Pukul 10.00, Universitas]   Ini hari pertama Alcina melakukan penyelidikan. Setidaknya begitulah yang dia tekankan dalam benak. 'Penyelidikan', sungguh tidak sesuai dengan jurusannya. Jika saja kematian Alina tidak ditutupi, sudah tentu tugas ini akan lebih mudah dilakukan oleh ahlinya, polisi misalnya. Sialnya, atas perintah ayahnya yang bahkan telah menghilangkan Alina dari daftar keluarga, maka kematiannya harus ditutupi. Tidak, tidak, saat hidup pun kelahiran Alina telah dirahasiakan oleh sang jendral besar itu. Mati, hilang, musnah, dan sinonim lain yang menggambarkan ketiadaan, itulah makna Alina. Maka tidak heran jika kematian Alina harus tetap rahasia. Alcina sangat yakin ada alasan lain sampai ayahnya harus merahasiakan Alina dari dunia, dan mengubah Alina Calista menjadi Alina Harvey merupakan pertanyaan terbesarnya hingga detik ini. Alcina mengembuskan napas ketika bercermin. Dia sudah menyihir dirinya agar semirip mungkin dengan sang kakak. Walaupun fisik sama persis, tapi penampilan mereka sangat berbeda. Anggaplah Alina si cantik yang feminin dengan tutur lembutnya, sedangkan Alcina si tomboy dengan tutur kasarnya. Bahkan u*****n dan makian tidak pernah absen menemani setiap kali gadis itu marah. Anehnya, dia selalu ingin marah. Hasil didikan jendral besar itu membuatnya menjadi kuat dan sedikit kasar, bukannya disiplin seperti tentara pada umumnya. Sang jendral sendiri bingung, kenapa anaknya jadi pembangkang seperti itu. Beginilah sekarang penampilan Alcina. Rambut pirang sebahu yang digerai dengan kep bunga di rambut sebelah kanan, make up tipis dengan lipstik warna pink-nya yang cocok dengan bibir tipis, atasan kemeja warna putih dengan rok biru sedikit di atas lutut. Ransel kecil berwarna cokelat serta heels berwarna senada. Buku besar bertuliskan 'Sastra' tidak lupa digenggamnya. Setelah diantar oleh Haris, Alcina melangkah linglung ke pelataran kampus. Mencoba mencari letak Fakultas Sastra. Dia melihat denah di mading dekat pintu masuk. Seperti memahaminya hanya dengan sekali baca, Alcina langsung berjalan dengan percaya diri. Sekarang Alcina berdiri di depan kelas Alina. Menarik napas dan berjalan kikuk, dia kemudian mengetuk pintu sebanyak tiga kali, dan berjalan perlahan memasuki kelas. Semua mata memandangnya. Tidak terkecuali dosen yang sedang mencoba menerangkan materi. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara jatuh yang keras. Seorang lelaki yang duduk di paling belakang terjatuh dari kursinya dengan ekspresi terkejut, saat melihat Alcina di depan pintu. "Bagaimana bisa kau—" Ucapan pemuda tampan berkemeja biru gelap itu tidak berlanjut karena orang itu seperti sangat terkejut. Iris cokelatnya seperti akan hampir keluar dari tempat, tangannya gemetar menunjuk Alcina, dan tanpa sadar dia telah mencuri perhatian setiap orang dengan teriakan barusan. Alcina menebak kalimat berikutnya yang kira-kira akan sesuai dengan ekspresi terkejut pemuda itu, misalnya 'bagaimana bisa kau masih hidup?' atau mungkin 'bagaimana bisa kau ada di sini?' Apapun itu, pemuda berkulit sawo matang itu telah ditandai oleh Alcina sebagai 'tersangka pertama'. "Ada apa, Derry?" Suara dosen yang pelan, menarik semua perhatian mahasiswa kembali ke depan. Pria yang dipanggil Derry oleh sang dosen hanya bisa menggeleng kuat dan duduk kembali di tempatnya. Alcina tidak menyiakan kesempatan itu untuk duduk di samping Derry yang kebetulan kursi di sebelahnya kosong. Setelah mengangguk dan tersenyum pada sang dosen, Alcina berjalan ke arahnya. Setiap langkah yang diambil Alcina, menambah bulir keringat yang keluar dari dahi Derry. Matanya tidak berhenti menatap ragu-ragu manik biru cerah Alcina. Sekarang si adik kembar telah menambah seringai di bibirnya, yang spesial ditujukan untuk Derry. Alcina sebenarnya cukup tegang dengan suasana kelas saat ini karena tidak ada yang tersenyum kepadanya. Jika menelisik sikap ramah Alina, sudah pasti dia akan mendapat perhatian dari teman sekelas, dan seharusnya mereka menanyakan kabar Alcina yang tidak tampak selama 2 minggu ini, kan? Alcina mencoba memutar otaknya, mencari alasan suasana tegang saat ini. Dia melihat sang dosen sekilas, mungkin dosen itu sangat tegas, atau mungkin Alina tidak pernah dianggap di kelas ini? Apakah Alina mengalami pembulian di sini? Menyingkirkan semua asumsi di kepala untuk sementara, Alcina kemudian fokus memerhatikan Derry yang duduk di sebelahnya dengan gelisah. Wajah oval, lengan atletis, kira-kira tinggi 172 cm dan tatapannya yang tidak pernah lepas dari manik Alcina. Semua ciri Derry sudah dicatat bungsu Calista itu dalam benaknya. Alcina berpikir keras kalimat apa yang pantas dia ucapkan pertama kali, yang akan langsung membuka rahasia Derry. Setelah berpikir cukup lama, inilah yang dia katakan, "Apa kabar Derry? Aku harap tidurmu nyenyak 2 minggu ini,” ditambah seulas senyum manis. Mata Derry membulat dan tangannya sedikit gemetar. "Bapak permisi karena waktu telah habis. Kalian bisa melanjutkan tugas di rumah dan kirim ke e-mail Bapak," kata dosen di depan kelas. Semua mahasiswa bersorak, dan kelas mulai ribut setelah dosen itu melangkah keluar. Sementara di pojok belakang sana, Derry dan Alcina masih saling menyelidiki. "Kau mengancamku? Aku tidak melakukannya. Mereka ... mereka yang..." Alcina yang sebenarnya sangat bingung dengan racauan Derry, tapi dia tetap mempertahankan air mukanya yang tenang, dan memasang senyuman yang tidak pernah pudar dari bibir. Dia juga berpikir keras agar tetap menjadi Alina dan bisa mendapat bukti, terlebih setelah pertanyaan kabar itu malah dijawab dengan aneh oleh Derry. Tentu saja Alcina sangat curiga dengan sikap Derry, dia tapi tetap harus menunggu apa yang coba dikatakan pemuda itu. Ketika tidak ada kata yang kunjung keluar dari mulut Derry, Alcina mengambil alih percakapan demi mencegah pemuda tersebut melarikan diri.  Alcina berujar, "Benarkah? Lalu kenapa kau begitu takut, Derry?" Sempat tersentak dengan kalimat Alcina barusan, Derry seketika menoleh ke sebelahnya. Mungkin dia tidak menduga kalimat itu akan meluncur dari bibir Alcina. Jadi, dia memerhatikan gadis di sebelahnya dengan detail. Wajah, mata dan keningnya. Setelah puas, dia mengembuskan napas yang sedari tadi dia tahan, kemudian memberi seringai, dan menatap Alcina sambil menopang dagu di meja. Perubahan sikap Derry yang menjadi lebih santai itu jelas membuat Alcina amat terkejut. Dia hampir saja menunjukkan semua ekspresi gugup di wajahnya andai tak segera  mencengkeram erat roknya. Mengembuskan napas pelan-pelan, dia berusaha lebih tenang dan memikirkan kesalahannya. Mungkinkah Alina akan memeberi reaksi berbeda jika bertemu dengan Derry? Dia ingat sekarang, sikapnya yang dengan santai menyapa Derry bukanlah reaksi korban selamat saat bertemu pembunuhnya. Kakaknya mungkin tidak akan bersikap seberani tadi, bahkan dengan menatap langsung iris cokelat Derry. Rasanya Alcina ingin memaki kebodohannya sekarang juga. Tapi tunggu dulu, itu kalau didasarkan derry si pembunuh dan Alina adalah korban, kan? Kalau bukan dia pelakunya, bagaimana? Sayangnya, ketika Alcina sudah berhasil memperoleh kesimpulan itu, Derry menghilangkan seringainya yang menyebalkan itu dan beralih menanyakan, “Benarkah kau Alina Harvey?” Alcina semakin mencengkeram erat roknya di bawah meja, berusaha semampunya agar tidak mengumpat pada pria yang menatap tajam dirinya saat ini. "Tentu saja. Apa menurutmu ada orang lain yang memiliki wajah sepertiku?" "Entahlah, mungkin kau punya saudara kembar atau semacamnya?" Penekanan kalimat Derry pada kata saudara kembar, memacu detak jantung Alcina. Gadis itu mulai berkeringat dingin. Ekspresi di wajahnya hampir saja berubah jika dia tidak mengingat tujuannya. "Tidak. Kau tidak mengenalku dengan baik ternyata." Derry terkikik pelan, sedikit merapikan rambut bagian atasnya. "Tentu saja aku mengenalnya dengan baik, karena itulah aku katakan kau bukan Alina. Apa mungkin kau ... Alcina?" Wajah Alcina kini semerah tomat. Dia tidak menyangka penyamarannya akan terbongkar hanya dalam waktu lima belas menit. Satu hal yang dia yakini setelah mendengar penuturan Derry; Alina sangat dekat dengan orang aneh bernama Derry ini. Jika tidak, dari mana Derry tahu kalau Alina punya saudara kembar? Alcina yakin, Alina bukanlah tipe gadis yang suka membicarakan dirinya pada setiap orang. Kalau begitu, mungkinkah Derry adalah pacar Alina? Asmusi demi asumsi memenuhi kepala Alcina, tanpa sadar dia telah mengeluarkan darah dari hidungnya. Derry yang melihatnya langsung mengambil tisu dan menengadahkan kepala gadis itu. "Kau ceroboh sekali, Sina." Alcina hanya pasrah. Dia tidak mengerti dengan perubahan sikap Derry. Beberapa saat lalu pemuda itu seperti ketakutan melihatnya, kemudian dia membongkar penyamaran Alcina dan seakan mengancam, tapi sekarang malah menolongnya. Mungkinkah Derry sedang mempermainkannya? Derry tersenyum kecil melihat Alcina yang menautkan alis seolah berpikir keras. "Jangan khawatir, aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Jadi katakan, apa yang terjadi dengan Alina? Kenapa kau harus menggantikannya?" Mendengar itu, Alcina segera menepis tangan Derry dari dahinya. Dia pikir pemuda itu sedang mengejeknya. Instingnya berkata kalau Derry adalah pembunuh Alina. Setelah merapikan buku yang belum sempat dia baca, Alcina berkata, “Itu bukan urusanmu.” Gadis yang sudah kehilangan kesabarannya itu lantas melangkah keluar kelas. Dia memerhatikan sekitarnya ketika melalui gerombolan mahasiswa yang asik dengan kesibukan masing-masing. Alcina sungguh tidak memahami Alina. Bagaimana mungkin tidak ada yang menanyakan kabarnya, bahkan tidak ada yang tersenyum atau menatapnya? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan Alina? Mengapa sang kakak tidak memiliki teman? Apa hubungan Alina dengan Derry? Saat sedang berpikir, ponsel Alcina berdering. Panggilan dari Haris. "Apa semua baik-baik saja?" tanya bariton khas dari seberang telepon. "Tidak. Aku ketahuan. Bisa kau cari tahu tentang seseorang?" Alcina berjalan di koridor, mengabaikan warga kampus yang lalu-lalang di sekitarnya. "Siapa yang ingin kau cari tahu?" "Aku tidak tahu nama lengkapnya. Dia pria berkulit sawo matang dengan mata berwarna cokelat, tinggi kira-kira 172 cm, atletis, nama panggilannya Derry. Dia mengenal kakak dan dia tahu namaku." "Itu mengesankan. Bukankah Alina tipe yang pendiam?" "Yah, aku tahu. Kakak bukan gadis penggosip yang suka mengumbar jati dirinya. Kalau itu dia lakukan, maka papa akan membunuhnya." "Yah, baiklah. Aku akan mencari tahu si Derry ini." "Terima kasih, Haris. Apa Papa menghubungimu?" Alcina berhenti tepat di taman depan kolam ikan yang hanya menyisakan bunga teratai di atasnya. Dia memperhatikan pergerakan dua ekor ikan di sana sembari menunggu jawaban dari seberang. "Yah, sebenarnya aku baru saja menerima panggilannya. Jendral memintaku untuk menghentikanmu, dan membawamu pulang dengan paksa." "Apa yang kau katakan?" Alcina memilih duduk di rerumputan dekat kolam, tangan kanannya mencabut rumput teki tanpa dia sadari. "Menurutmu apa? Tentu saja aku menolak. Karena itu, aku bekerja sendiri sekarang. Anak buah Okta yang menyewa di kanan kiri rumah telah dipanggil mundur oleh Kepala polisi berkat koneksi ayahmu itu." Alcina tersenyum kecil, terkesan kecewa. "Aku tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Aku mohon jangan beritahu Okta. Aku tidak ingin membuatnya khawatir." "Tentu saja. Kau pikir sudah berapa lama aku mengenalmu? Aku tahu kau akan mengatakan itu. Jangan khawatir, aku saja sudah cukup untuk melindungimu." "Terima kasih, Haris. Kau selalu bisa diandalkan." "Itu bukan masalah. JAngan terlalu sungkan." "Baiklah, aku akan sering-sering memanfaatkanmu mulai sekarang." "Hahaha... Sialan!" Alcina tersenyum kecil. "Aku ingin pulang sekarang karena tidak bisa mencari petunjuk lagi di sini. Bisa kau jemput aku sekarang?" Alcina bangkit, membersihkan roknya dari rerumputan yang menempel, kemudian berjalan kembali ke tempat awal dia masuk. "Tentu saja. Tunggu aku di sana." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN