Bab 7

1117 Kata
[Pukul 11.30, Super Mall (SM), Kota B]  "Sial, yang mana orangnya ?" Alcina mengumpat kepada orang di seberang telepon. Dia bingung karena tempat ini cukup ramai. Apalagi akhir pekan, pengunjung didominasi oleh pasangan muda-mudi. "Aku lagi mencari tahu, Na. Lima belas menit lalu, dia mematikan ponselnya dan aku kehilangan jejak." Atas pertimbangan Albert, akhirnya mereka merekrut Rei sebagai anggota tim penyelidikan mereka, dan Haris meyakinkan bahwa Rei bisa dipercaya. Dia menjamin atas nyawanya. Alcina memutuskan menyetujui dan menceritakan masalah sebenanrnya kepada Rei. "Oke, terakhir kali kau lihat dia di mana?" Alcina mengamati keadaan yang ramai di depannya. "Kurang lebih lima meter dari tempatmu sekarang." Alcina mengedarkan pandangan. Sekarang dia berdiri di depan D'Cost Seafood Resto. lima meter ke depan adalah Rani Busana (RB). Kalau ke kiri, maka pria itu bisa berada di depan Strawberry kosmetik. Tapi itu, kan lima belas menit yang lalu. Apa saat ini dia masih di sana? Terlihat dua pasang muda-mudi di depan strawberry kosmetik, sementara di dalam toko ada tiga remaja perempuan dan dua pria–yang satu sedang memilih lipstick, seorang lagi sedang memilih bando. Tampaknya bukan strawberry kosmetik, karena tidak ada tanda-tanda kalau pria di sana sedang menunggu kekasihnya. Kemudian Alcina menoleh kembali ke bagian RB. Di luar tampak beberapa orang yang diduga kumpulan satu keluarga, sementara bagian dalamnya tidak bisa terlihat. Toko itu cukup luas dan bagian dalam juga sedikit tertutup baju-baju dan akseseoris dari luar. Alcina memilih ke RB. "Baiklah, Rei. Hubungi aku jika kau berhasil menemukannya." Telepon terputus. Tepat setelahnya, panggilan masuk baru. Alcina berhenti melangkah dan menjawab panggilan. Sekarang dia berdiri di depan toko yang menjual ponsel berbagai merk. "Ada apa, Dillon?" tanya Alcina ke Dillon di seberang telepon. "Apa yang kau lakukan di sana? "Apa maksudmu?" "Kenapa kau berdiri di sana? Derry akan melihatmu. Pergilah!" teriak Dillon dari seberang telepon. Belum sempat Alcina mencerna maksud Dillon, dia telah melihat Derry berjalan ke arahnya. Pria itu mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang. Refleks, Alcina membalik badan dan berpura-pura membeli ponsel. Dia baru bernapas lega setelah Derry melewatinya. "Apa yang dia lakukan di sini?" tanya Alcina ke Dillon, setelah dia menenangkan diri. "Aku tidak tahu, sejak kita bergerak, dia memang sudah berada di sini. Aku khawatir dia sungguh pacar Alina." "Aku lebih mengkhawatirkan Albert. Dia tidak muncul juga setelah izin ke toilet." "Benarkah? Jadi, kau bagaimana? Perlukah aku meminta Haris menemanimu?" "Tidak usah. Kalian harus tetap mengawasi Derry. Jika hanya satu yang mengikuti, dia akan lolos, sama seperti saat Haris membuntutinya." "Baiklah. Jaga dirimu." Alcina mengangguk saat melihat Dillon melewatinya. Sesuai rencana, Dillon dan Haris yang memiliki pengalaman di lapangan akan mengawasi Derry. Sementara Alcina dan Albert akan menemui si pacar. Albert akan sedikit menjaga jarak dari Alcina agar tidak membuat curiga, tapi tampaknya mereka justru bertemu di situasi yang tidak terduga. Siapa sangka jika Derry juga akan ke sini hari ini, bertepatan dengan lokasi si pacar yang tadi diberitahu oleh Rei. Telah lima belas menit komunikasi Alcina dengan Albert terputus. Yang lebih mengejutkan, Rei kehilangan jejak si pacar sejak lima belas menit lalu. Apakah mereka sudah ketahuan? Dia sempat merasa khawatir, tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Apa pun yang terjadi, dia harus bertemu si pacar, dengan, atau tanpa Albert. Lokasi terakhir yang dituju si pacar adalah area ini, maka Alcina berkesimpulan kalau tempat yang biasa dijadikan arena pertemuan Alina dan pacarnya adalah Super Mall. Alcina menarik napas dalam saat masuk ke dalam toko RB. Dia berpura-pura memilih baju yang akan dibeli sambil mengawasi sekitar. Ada dua pasang muda-mudi yang sedang memilih kemeja, ada pasangan tua yang sedang memilih jaket, dan ada beberapa remaja putri yang melihat koleksi gaun. Dia kemudian melihat seorang pria yang mengedarkan pandangan ke sana kemari seperti sedang menunggu seseorang, matanya tidak henti melihat jam di pergelangan kiri. Pria itu berjalan mondar-mandir dengan sedikit gelisah. Wajahnya cukup tampan, dia memiliki mata biru seperti milik Alcina, hidung mancung dan tubuh tinggi atletis. Alcina berjalan ke arahnya tapi tidak menegur pria itu. Dia takut salah orang, jadi memutuskan untuk menunggu reaksi pria itu. Saat mendapat senyuman dari pria itu, Alcina pikir dia orangnya. Selera kakaknya memang tidak pernah buruk. "Maaf aku—" Kalimat Alcina terputus saat pria yang tadi tersenyum malah berjalan melewatinya. "Kenapa kau lama sekali?" Pria itu berbicara kepada seorang gadis cantik. Ternyata dia tersenyum kepada gadis di belakang Alcina. Alcina berdecak sebal. Dia merasa frustrasi karena menemukan pacar Alina tidak semudah perkiraannya. "Kau cantik hari ini." Alcina menelan ludah saat tiba-tiba saja seseorang berbisik tepat di telinganya. Dia ingin sekali membalik tubuhnya sekarang, tapi entah mengapa rasanya sulit. Gadis itu menatap lurus ke cermin di hadapannya yang menampilkan penampilan si pacar. Meski pria itu memakai masker, Alcina sangat yakin bahwa pria di belakangnya ini pastilah si pacar. Melihat dari mata cokelatnya yang seolah tersenyum, sangat jelas ditujukan untuk Alcina melalui cermin di hadapan mereka. Pria itu cukup tinggi, mungkin sekitar 175 cm. Alcina pikir pria ini cukup menawan dengan tubuh atletisnya yang seperti sengaja dia tonjolkan melalui kemeja pas badan. Pria ini juga memakai hoodie biru gelap dengan resleting yang dibiarkan terbuka, menampilkan kemeja abu-abu berliris putih di dalamnya. Setelah diam beberapa detik, pria bermasker itu meletakkan tangan kanannya di pundak Alcina dan sedikit menekan. Sulit mengartikan tatapan pria itu sekarang. Ada kerinduan, amarah, mungkin juga kesedihan, entahlah. "Aku merindukanmu." Alcina diam saja, bahkan tidak tersenyum. Dia sangat gugup. Sebelum dia membalas ucapan si pacar kakaknya, pria itu sudah lebih dulu berkomentar hal lain. "Ada beberapa polisi yang mencariku, dan sepertinya tadi ada yang mengikutimu. Aku melumpuhkan orang itu di toilet. Jangan memarahiku karena melakukan ini tanpa izinmu. Aku hanya ingin melindungimu." Alcina bingung dan terkejut. Seseorang yang dia maksud mengikuti Alcina, apakah Albert? Artinya Albert dalam kondisi yang tidak baik saat ini? Apa maksudnya polisi mencarinya? Pacar sang kakak bukan orang baik-baik? Sudah berapa lama sebenarnya orang ini mengawasinya? Di antara banyak pertanyaan yang menari di benaknya, Alcina harus memutuskan dalam waktu cepat, apakah dia akan mengikuti pria ini atau menyelamatkan Albert? Jika pergi dari sini sekarang, dia akan kehilangan kesempatan bagus untuk mencari tahu tentang si pacar. Kalau mengikuti si pacar, entah akan bagaimana nasib Albert. Apapun keputusannya, saat ini dia harus merespon pria di belakangnya demi menghindari kecurigaan. "Aku tidak marah. Terima kasih." Alcina tersenyum kecil, sebisanya meniru tingkah kakaknya yang lembut, manis dan lugu. Meskipun Alcina begitu mencurigai orang di belakangnya itu, instingnya justru mengatakan pria ini bukan pembunuhnya. Pria itu kemudian menarik tangan Alcina dan menautkan jemari mereka. Alcina hanya menurut saja dan menyamakan langkah dengan pria di sampingnya. Alcina fokus memerhatikan pria yang menggenggam tangannya. Dia merekam semua yang tampak dari si pacar; mata bulat sedikit besar denga iris sewarna cokelat gelap, tangannya lembut dan hangat, jemarinya panjang dan ramping, cara pria ini menautkan jemari, berjalan, menoleh ke sekitar dengan tatapan bak elang mengawasi mangsa, aroma parfum citrus, bentuk bahu lebar, dan jangan lupakan mata yang seolah tersenyum ketika menatap Alcina, seolah mengatakan ‘kau aman bersamaku’ itu. Jelas, pria ini ingin melindunginya. Alcina bisa merasakan itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN